Kamis, 29 Januari 2015

SEVENTH SON (2015) REVIEW : The New (Failed) Universe


Menjadi salah satu proyek mega besar, Seventh Son adalah film yang diangkat novel yang tak seberapa populer, The Spook’s Apprentice. Film ini memiliki mega budget dengan garis bawah, bahwa film ini sering mengalami banyak sekali hambatan dalam proses produksi. Legendary Pictures yang membawahi ini pun sempat putus asa untuk melanjutkan film ini yang akan membuat biaya semakin bengkak. Alhasil, film ini pun mengalami pergeseran tanggal tayang di tahun 2014. Tetapi, akhirnya mengalami kemunduran lagi dan rilis di awal 2015.


Seventh Son ditangani oleh sutradara rusia, Sergei Bodrov. Filmnya pernah mendapat nominasi Oscars dalam Best Foreign Language Film lewat film Mongol. Tetapi meski pernah mendapat nominasi, Jika sebuah film m emiliki proses yang terhambat dalam pembuatannya, tentu bukan sesuatu yang dapat dibanggakan. Ingatlah kita di film yang dinaungi oleh Universal Pictures, 47 Ronin. Film ini pun mengalami nasib yang serupa dalam proses filmnya. 


Seventh Son terlalu memiliki ambisi yang sangat besar untuk mengenalkan penontonnya bahwa Seventh Son memiliki universe-nya sendiri yang lebih besar. Bagaimana perjalanan kisah dari Thomas Ward (Ben Barnes) yang mengetahui dirinya adalah anak ketujuh yang dapat menyelamatkan dunia dari serangan penyihir jahat, Mother Malkin (Julianne Moore). Penyihir jahat itu pernah ditangkap oleh Gregory (Jeff Bridges) tetapi berhasil kabur dan melakukan balas dendam.

Gregory yang pernah memiliki murid dan tewas di tangan Malkin, akhirnya mencari Thomas Ward untuk menghentikan aksi balas dendam Malkin. Mereka berdua melakukan perjalanan menuju kastil milik Mother Malkin dan menghentikan rencananya sebelum bulan darah terlihat di langit malam. Di dalam perjalanannya, Gregory dan Thomas memiliki kesulitan. Terlebih, Thomas Ward yang belum benar-benar siap untuk mengemban tugas mulianya.

Di dalam perjalanan itulah, Seventh Son mulai mempergerakkan seluruh cerita intinya. Tetapi, Sergei Bodrov seperti terlalu ambisius untuk mengenalkan kepada penontonnya tentang bagaimana dunia dari The Spook’s Apprentice. Alhasil, Sergei Bodrov pun terlalu sibuk untuk memperbesar cakupan dunia fiktif karangan Joseph Delaney tanpa memerdulikan bagaimana cerita itu dapat mempersuasi penontonnya untuk sekedar bertahan menatap layar. 


Film pun terlalu riuh oleh tambahan karakter yang tak terlalu tahu lakonnya sendiri. Semua karakter terlalu muncul ke permukaan, tanpa adanya isi yang pas untuk memperdalam ceritanya yang dapat mempererat ceritanya. Hanya dalam sajian 100 menit, Seventh Son terasa terlalu longgar dan dipenuhi dengan CGI-vaganza yang sama sekali kehilangan jiwanya. Visual Effect megah itu tak menonjolkan sesuatu atau mengagumkan penontonnya dan terlihat masih mentah.

Segala kementahan itu pun tak hanya terlihat dari visual effect, juga adanya naskah yang juga masih mentah dalam mengadaptasi setiap halaman di dalam buku The Spook’s Apprentice. Seventh Son berjalan sangat tertatih untuk menuturkan setiap kisah Thomas Ward saat mengemban misi dibalut dengan humor-humor yang kurang segar. Jatuhnya, Seventh Son malah menjadi tontonan yang terlalu berusaha keras menjadi film fantasi yang sangat baik tetapi malah gagal dan jatuh terlalu dalam.

Sergei Bodrov pun terlihat sangat lelah dalam mengarahkan proyek film ini yang tak kunjung selesai. Terlihat di dalam penceritaannya yang sangat berantakan, juga tidak ada satu turning point yang bisa meleburkan emosi penontonnya. Penonton akan kesusahan mencari apa yang ditonjolkan di dalam film Seventh Son ini, pengalaman sinematik seperti apa yang didapatkan saat 100 menit Seventh Son terputar di layar perak besar. 


Bahkan, dukungan dari aktor dan aktris papan atas Hollywood pun tak bisa menyelamatkan bagaimana tipisnya 100 menit milik Seventh Son. Jeff Bridges tampil sangat minimalis memerankan sosok Gregory dan Julianne Moore tak dapat menunjukkan performa aktingnya yang luar biasa. Mereka pun sudah terlihat lelah dalam menuntaskan misi mereka di dalam proyek film ini. Dan, Seventh Son akan menjadi sebuah borok yang besar dalam perjalanan karir dari Julianne Moore ataupun Jeff Bridges.

DI dalam 100 menit ini, terlihat benar Seventh Son adalah proyek film yang melelahkan. Segala emosi itu terapung di segala bentuk bidang di film ini, baik teknis, cerita, ataupun penyutradaraannya sendiri dari Sergei Bodrov. Perjalanan Thomas Ward dan Gregory dalam 100 menit Seventh Son akan menjadi sebuah perjalanan yang sangat panjang, penuh rintangan, dan berliku. Pun, akan melelahkan bagi sebagian orang sehingga layar telepon genggam akan lebih menarik daripada film itu sendiri. 

Sabtu, 17 Januari 2015

DI BALIK 98 (2015) REVIEW : Keterbatasan Dunia Fiktif dalam Setting Nyata


Para pelakon di bidang akting merambah keahlian mereka di dunia balik layar perfilman memang sedang menjadi tren. Mereka mencoba untuk mengarahkan film mereka sendiri, meskipun beberapa masih ada yang mencoba keahlian mereka lewat film pendek. Reza Rahadian, Acha Septriasa, Ladya Cheryl, dan Lukman Sardi awalnya juga memulai debut mereka lewat film pendek. Lukman Sardi memberanikan diri untuk mengasah lagi kemampuannya dalam mengarahkan sebuah film panjang yang di rilis di bioskop.
 
Lewat production house, MNC Pictures, yang diproduseri oleh Affandi Abdul Rachman, Lukman Sardi mengarahkan film dengan tema tragedi 98. Isu yang memiliki interpretasi luas dan menjadi salah satu tragedi yang menjadi sejarah transisi negara Indonesia. Lukman Sardi menggambarkan kejadian bersejarah itu lewat filmnya berjudul Di Balik 98. Film ini memiliki nama-nama terkenal seperti Chelsea Islan, Boy William, dan masih banyak nama-nama lainnya. 


Di Balik 98 adalah universe fiktif milik Lukman Sardi yang menggunakan latar belakang kejadian 98. Di mana memiliki banyak karakter untuk menjalankan beberapa cerita tematis untuk setiap karakternya. Di mana Diana (Chelsea Islan), seorang aktivis di Universitas Trisakti yang sangat melawan keotoritasan Soeharto pada saat itu. Diana adalah adik dari seorang Tentara bernama Bagus (Donny Alamsyah) dan pegawai dapur Istana bernama Salma (Ririn Ekawati). 

Di dalam rumah, pendapat mereka pun saling berlawanan. Diana pun mempunyai teman laki-laki bernama Daniel (Boy William). Daniel adalah lelaki keturunan tiongkok yang hidup bersama ayah dan adiknya. Etnis tiongkok yang sangat terancam di tragedi 98 ini tentu memengaruhi kehidupan Daniel dan keluarganya. Juga ada Ayah dan Anak gelandangan yang hidup kesusahan saat tragedi itu berlangsung. 


Menggabungkan tema cinta, keluarga, dan politik dengan setting tahun 1998 bukanlah perkara mudah. Tema tragedi 98 ini pun adalah sebuah tema yang sangat besar, perlu ketrampilan yang sangat baik untuk menyampaikan pesannya dengan baik kepada penontonnya. Tentu, Lukman Sardi mengemban tugas berat apalagi ini adalah debut pertamanya di layar lebar. Pintarnya, Lukman Sardi menggunakan sebuah cerita fiktif agar tak salah langkah di dalam pengarahannya.

Lukman Sardi ingin menyampaikan sebuah film dengan berbagai sudut pandang ras atau etnis dan kelas sosial saat tragedi 98 ini berlangsung. Sebuah pemikiran yang hebat dan besar meski jika salah sedikit, ini akan menjadi bumerang hebat bagi filmnya. Di Balik 98 adalah film dengan pemikiran hebat dan besar yang dijadikan dasar dalam menjalankan ceritanya. Tetapi, treatment yang masih belum sempurna ini membuat pemikiran hebat ini terhambat.

Untuk deliver sebuah cerita, apalagi dengan karakter yang sangat banyak butuh detil arahan yang baik. Sebagai debutan, Lukman Sardi masih perlu mengasah lagi kemampuannya dalam menyampaikan cerita dengan baik. Di Balik 98 memang memiliki cerita yang sederhana, tapi dengan catatan untuk setiap karakternya. Terbuai oleh kesederhanaan cerita, film ini tak sadar bahwa akan memiliki kompleksitas apalagi ada beberapa karakter yang saling berhubungan. 


Di sinilah salah satu sisi negatif dari Di Balik 98, bagaimana semua cerita sederhana di film ini pun tidak bisa membuat penontonnya untuk bertahan. Cara bertuturnya pun tersendat-sendat di dalam durasinya yang hanya 95 menit. Akhirnya, Di Balik 98 pun memiliki tempo cerita yang melambat saat durasinya semakin bertambah. Di sini terlihat bagaimana Lukman Sardi sangat berhati-hati saat mengarahkan filmnya. 

Tetapi, kehati-hatian sang sutradara harus mengorbankan suasana hati penonton yang tak pernah diajak naik. Penonton yang tak pernah menjamani era 98 tersebut pun tak pernah tahu bagaimana tegang, riuh, dan takutnya zaman itu. Meskipun hal-hal tersebut ditampilkan dengan nyata lewat adegan-adegannya, tetapi adegan tersebut pun kosong, tak memiliki nyawa atau suasana sebesar penggambaran adegan mereka. 


Film ini mempunyai banyak sekali karakter saat menggerakkan cerita. Tetapi, ruang untuk bergerak itu sangat sempit. Banyak sekali karakter yang akhirnya tidak memiliki tujuan yang jelas atau hanya tampil sebagai formalitas. Semua karakter pun tidak dapat bergerak bebas, banyak sekali cerita yang terasa belum selesai atau malah belum tersampaikan. Maka, tujuan Lukman Sardi untuk akhirnya menggabungkan beberapa tema cinta, politik, dan keluarga pun akhirnya gagal di dalam film perdananya ini.

Beruntung, Lukman Sardi masih sadar dalam memberikan detil-detil kecil dalam production value-nya di film ini. Beberapa cameo dari tokoh-tokoh besar, tempat-tempat yang digarap sama dengan zamannya, sehingga Di Balik 98 masih dapat digolongkan sebagai sebuah film yang masih digarap serius oleh sineasnya. Meskipun minim tragedi bersejarah karena Lukman Sardi memang memfokuskan ke dunia fiktif buatan dirinya sendiri. 


Sebagai debutan, Lukman Sardi sudah memiliki bakat untuk mengarahkan sebuah film. Karena beberapa hal teknis membuat Di Balik 98 masih dikategorikan sebuah film yang digarap secara serius. Namun, Lukman Sardi perlu untuk mengasah kemampuannya lagi dalam bidang penyutradaraannya. Lukman masih terlihat kesusahan untuk menyampaikan pesannya kepada penonton lewat karakter-karakter fiktifnya dengan setting tahun 98 yang notabene masih susah untuk diolah. 

Jumat, 16 Januari 2015

HIJAB (2015) REVIEW : Instagram Phenomenon on Big Screen


Instagram memunculkan banyak sekali fenomena di dalam barisan linimasanya. Mulai dari foto fashion, food, dan landscape dijadikan sebuah tren di masing-masing akun sebagai basis foto mereka. Juga,  para pebisnis online shop yang mulai menggunakan media sosial berbasis foto ini untuk menunjukkan barang dagangannya. Belum lagi fenomena OOTD atau Outfit Of The Day, saling berbagi apa yang sedang dipakai juga menjadi sesuatu yang sedang booming dilakukan oleh para pengguna instagram.

Munculnya fenomena-fenomena di bidang fashion di sebuah sosial media yang semakin berkembang ini, memunculkan sebuah ide bagi Hanung Bramantyo untuk menelurkan karya terbaru. Hijab, karya terbaru milik Hanung Bramantyo ini pun dibantu oleh sang istri, Zaskia Adya Mecca dalam pembuatan filmnya. Hijab menjadi salah satu fashion yang sedang digandrungi di mayoritas penduduk Indonesia. Munculnya kelompok-kelompok pecinta dan pengguna Hijab atau Hijabers ditargetkan untuk menjadi pangsa film ini. 


Dengan banyaknya fenomena mulai fashion, hijab, OOTD, hingga bisnis online, Hijab menggunakan hal-hal itu untuk basis cerita di filmnya. Menceritakan empat orang sahabat, Sari (Zaskia Adya Mecca), Bia (Carissa Puteri), Tata (Tika Bravani) dan Anin (Natasha Rizki). Sari adalah seorang istri dari Gamal (Mike Lucock), arab kolot yang menjalani hidupnya berdasarkan syariat islam yang benar. Tata, Seorang istri dari fotografer jurnalis, Ujul (Ananda Omesh). Bia, istri seorang artis sinetron terkenal bernama Mat Nur (Nino Fernandez).

Anin, masih sendiri dan belum siap berkomitmen jauh tetapi sudah menjalin hubungan dengan sutradara kontroversial bernama Chaky (Dion Wiyoko). Sari, Bia, dan Tata ingin tidak selalu bergantung dengan suaminya, mereka ingin memiliki penghasilan sendiri. Akhirnya mereka bertiga memutuskan untuk membuat usaha yang tidak membuat mereka repot dan Anin membantu mereka. Usaha kecil-kecilan lewat online shop ini pun menghasilkan sesuatu. Meski, mereka bertiga harus berbohong dengan suami mereka sendiri. 


Dengan judul Hijab, mungkin memiliki kesan terlalu religius dan menawarkan sesuatu yang dramatisir, nyatanya tidak. Hanung Bramantyo sendiri menegaskan bahwa Hijab akan dibuat menjadi sebuah film komedi yang segar. Hanung Bramantyo dan film komedi? Oh, jangan salah. Film komedi adalah awal mula Hanung Bramantyo menitih karir. Jomblo, Catatan Akhir Sekolah, dan yang paling laris adalah Get Married. Semuanya ber-genre komedi dan di genre tersebut, Hanung Bramantyo bisa menghasilkan sesuatu yang maksimal.

Lewat trailer yang dirilis, Hijab memiliki premis cerita yang menarik. Ada sesuatu yang berbeda yang dijanjikan oleh Hanung Bramantyo di dalam film terbarunya ini. Hijab pun mengingatkan penontonnya dengan film-film Hanung Bramantyo sebelumnya dan para penonton sudah rindu akan ‘Hanung yang dulu’. Benar saja, eksekusi di 90 menit film Hijab ini sama seperti apa yang ditawarkan oleh trailernya. Hijab adalah sebuah film yang sangat segar dan menyenangkan untuk diikuti.

Tidak ada yang berlebihan di dalam film Hijab ini semua diatur dengan porsi yang sangat pas. Tidak ada air mata palsu yang diekspos terlalu sering dengan iringan scoring yang serba grande dan over used. Meski konflik di dalam film ini bisa dibilang cukup kompleks, tetapi film ini memiliki cara untuk mengemas filmnya agar semuanya terlihat sederhana. Hijab pun menjadi sajian yang segar dan guyonan yang tak luput mengundang tawa penontonnya. 


Sindiran-sindirian tajam dengan balutan komedi juga menjadi senjata andalan dari film Hijab. Sekali lagi isu wanita dan agama masih menjadi poin penting di film ini.. Bagaimana seorang wanita yang berakhir hanya menjadi seorang Ibu Rumah Tangga biasa yang sebelumnya memiliki karir yang bersinar sesaat setelah menikah. Semua digambarkan kepada karakter Sari, Bia, dan Tata sebagai representasinya. Belum lagi, bagaimana syariat Islam mampu beradaptasi dengan zaman yang sudah mulai modern ini.

Ada isu agama, terutama agama Islam yang memang sudah mutlak, tidak bisa diganggu gugat. Di film ini pun ditunjukkan bagaimana pada akhirnya syariat Islam yang mutlak itu pun bisa beradaptasi di era globalisasi ini. Bagaimana kewajiban seorang wanita untuk berjilbab atau berhijab di dalam ajaran Islam akhirnya bisa menggunakan jilbab atau hijab tersebut menjadi sebuah fashion, menjadi sebuah tren yang akhirnya mengundang orang untuk ramai-ramai mulai menggunakannya.

Juga masih ada beberapa sindiran di industri perfilman dan curhatan dari seorang sutradara itu sendiri. Hanung yang sering disebut sutradara kontroversial direpresentasikan lewat karya-karya milik karakter Chaky. Juga, adanya kritik dengan film-film non-komersil yang dianggap memiliki kualitas yang lebih baik daripada film komersil. Tetapi, semua sindiran dengan isu yang berbeda itu dikemas lewat komedi yang sangat menyenangkan. 


Meskipun porsi komedi yang terlalu dominan di awal film ini, terkadang terjebak dengan komedi slapstick lengkap dengan musik yang komikal ini membuat beberapa bagian film ini terkesan tersendat-sendat. Akhirnya setelah beberapa menit filmnya, Hijab tahu bagaimana ritme dan tempo dari filmnya. Tak hanya melulu komedi, ada drama persahabatan yang memiliki turning point untuk filmnya. Meski masih terselip satu scoring khas yang grande saat film ini memiliki turning point.

Film Hijab pun didukung dengan teknis yang sangat baik di bagian Director of Photography-nya. Hijab yang mengusung tren dari sosial media, Instagram pun memiliki gambar yang sangat indah layaknya foto-foto miliki seleb instagram. Faozan Rizal berhasil mengadaptasi gambar-gambar ala Seleb Instagram ke sebuah gambar bergerak dengan komposisi yang sangat bagus. Sehingga, gambar-gambar di film ini bisa memanjakan mata penontonnya. 


Jangan lupakan para ensemble cast di film ini yang seperti bermain dengan sangat baik untuk menghidupkan film ini yang memiliki dialog yang dinamis. Zaskia Adya, Carissa Puteri, Tika Bravani, dan Natasha Rizky berhasil memiliki chemistry untuk meyakinkan penontonnya bahwa mereka bersahabat. Juga dengan barisan para suami seperti Mike Lucock, Nino Fernandez, Ananda Omesh, dan Dion Wiyoko yang berhasil membaur dengan suasana di film ini. Semua tampil tanpa beban dan lupa mereka sedang di depan kamera. Belum lagi special appearance mulai Sophia Latjuba, Jajang C. Noer, hingga seleb instagram fenomenal Dijahyellow ikut hadir untuk meramaikan film ini. 


Untuk melepas rindu dengan Hanung Bramantyo yang dulu, Hijab adalah karya miliknya yang sangat menyenangkan. Mengangkat fenomena fashion, outfit of the day, dan online shop lewat media sosial berbasis foto, Instagram, dengan kemasan yang menyenangkan. Film komedi dengan sindiran-sindiran tajam dengan isu-isu yang berat dan didukung dengan sinematografi indah milik Faozan Rizal ini berhasil menjadi salah satu karya terbaik milik Hanung Bramantyo.  

ANANTA (2018) REVIEW : Kisah Manis Yang Tak Biasa

  Setelah terus-terusan menjadi ratu drama dari Screenplay Films, Michelle Ziudith akhirnya memiliki kesempatan untuk mengeksplor dirinya di...