Senin, 23 November 2015

NAY (2015) REVIEW : Monolog Tentang Perempuan


Road movie menjadi salah satu pendekatan baru dari para sineas baik lokal maupun luar untuk mengantarkan ceritanya. Biasanya, ada beberapa idealisme yang disampaikan oleh beberapa sineas lewat medium audio visual. Setelah itu, lewat road movie karakter-karakter yang ada di dalam filmnya mengalami kontemplasi terhadap apa yang terjadi dalam hidupnya lewat beberapa konflik yang mereka temukan di sepanjang perjalanan.

Dengan pendekatan genre ini, dianggap cukup efektif untuk memberikan renungan kepada penontonnya dengan apa yang terjadi di sekitar. Dan di tahun ini, Road Movie diangkat oleh Djenar Maesa Ayu dalam film terbarunya berjudul Nay. Film ini hanya mengambil satu tempat setting dan menjadikan satu orang sebagai karakter utama filmnya. Hal ini jelas menjadi salah satu hal yang baru di perfilman Indonesia karena memiliki kesulitan yang cukup besar untuk mengolahnya menjadi presentasi yang kuat.

Melalui Sha Ine Febriyanti sebagai pemeran utama, Djenar Maesa Ayu mencoba untuk memberikan sebuah pertunjukan teater monolog ke dalam sebuah layar lebar. Dengan presentasi yang sederhana, Djenar Maesa Ayu berusaha untuk melayangkan sebuah problematika posisi perempuan dalam kehidupan sehari-hari terlebih di negara Indonesia. Hanya berbekal satu plot yang sangat dekat dengan sosok perempuan, tetapi berusaha diulik lebih dalam lagi oleh Djenar Maesa Ayu. Sehingga, film Nay memiliki dampak yang besar dan efektif untuk menyinggung dinamika sosial yang ada.


Seorang model yang sedang naik daun bernama Nay (Sha Ine Febriyanti) tengah dirundung masalah yang bisa membuat beberapa poin penting dalam hidupnya hancur. Nay mengetahui bahwa dia sedang mengandung seorang janin di dalam perutnya. Masa kandungan di dalam perut Naysudah berumur 11 minggu dan ini adalah hasil hubungan intim dengan pacarnya bernama Ben (Paul Agusta). Setelah mengetahui hal tersebut, Nay memutuskan untuk pergi menemui Ben.

Di tengah perjalanannya menuju rumah Ben, Nay mengalami banyak masalah. Ben menunjukkan sikap yang tak enak ketika mereka sedang berbicara lewat telepon. Dengan adanya hal ini, dia pun mencoba untuk berdiskusi dengan temannya, Ajeng (Cinta Ramlan) dengan maksud akan menemukan solusi akan masalah yang dia hadapi. Sayangnya, Nay pun tak sepenuhnya menemukan solusi yang tepat dan semakin dilema. Selama diperjalanan pun dia merenung dan mencoba intropeksi diri akan masa lalu yang Nayalami. 


Film Nay memang tak bisa dipungkiri akan dibanding-bandingkan dengan film yang dibintangi oleh Tom Hardy yaitu Locke. Secara konsep besar, film Naymemang memiliki kemiripan yang lumayan besar. Hanya saja, apa yang diusung sebagai konflik di dalam filmnya jelas memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Nay mengulik sisi yang lebih dalam terhadap konflik utama di dalam filmnya. Tak hanya memberikan pengaruh besar dalam menonton, tetapi juga menjadi bahan kontemplasi yang kuat bagi penontonnya.

Berbekal problematika yang masih menjadi tabu di dalam budaya milik Indonesia, film yang diarahkan oleh Djenar Maesa Ayu ini berhasil berkembang menjadi sebuah film yang tak biasa. Lewat film ini, Djenar Maesa Ayu ingin sekali lagi memberikan nasihat lewat medium audio visual untuk perempuan yang masih merasa dirinya termarjinalkan oleh beberapa pihak. Sehingga, film Nayadalah sebuah surat terbuka berisi opini yang dilayangkan kepada publik tentang keberadaan wanita yang masih tak juga dianggap sejajar. 


Berbekal satu karakter utama yang juga hanya satu-satunya yang ada di depan layar, jelas bukan sesuatu yang mudah untuk membuat film Nay memiliki presentasi yang kuat. Karakter-karakter yang lain hanya tampil lewat voice over yang tak tampak fisik, tetapi Djenar Maesa Ayu mampu menghadirkan karakter pendukung itu terasa nyata. Penuh dengan dialog yang jakarta-sentris tetapi Djenar Maesa Ayu masih bisa mencari kesamaan atribut yang dia tempelkan di dalam filmnya agar bisa relevan dengan kehidupan penontonnya.

Djenar Maesa Ayu mendobrak paradigma tentang perempuan yang masih terbayang tentang dogma-dogma budaya yang sangat kaku diberlakukan kepadanya. Terlebih, di negara Indonesia yang masih memuja dan menjunjung tinggi akan idealisme patriarki. Bagaimana perempuan harus berperilaku, bagaimana keperawanan masih dianggap sebagai patokan penilaian akan kepribadian seorang perempuan secara keseluruhan. Dan anggapan-anggapan kolot tentang ketangguhan wanita yang bisa mengambil keputusan akan hidupnya yang masih dianggap tabu.

Juga, bagaimana film Naymengangkat tentang isu standar ganda yang sering digunakan oleh orang-orang dalam menilai sesuatu. Bagaimana seseorang tak lagi kembali introspeksi terhadap dirinya kembali dan langsung menganggap perilaku seseorang itu tidak baik. Hal ini, juga digambarkan pada karakter Nay yang memiliki masalah psikis dan rekam jejak yang tak baik terhadap masa lalunya dengan ibunya. Jelas, Naymemiliki banyak sekali isu sosial relevan yang perlu dikritik. 


Tak hanya berkekuatan dalam isu-isu sosial yang mendapat kritik tajam dari Djenar Maesa Ayu sebagai konten yang dijual olehnya. Tetapi, Djenar Maesa Ayu juga memberikan pengarahan yang baik di dalam filmnya sehingga dengan presentasi dan dasar konflik yang sederhana pun bisa memberikan dampak yang luar biasa bagi penontonnya. Sehingga, film Nay ini berhasil menjadi sebuah medium untuk berkaca pada diri sendiri tentang keberadaan perempuan yang kadang masih dianggap tertinggal.

Meski mengambil banyak resiko di dalam genre-nya dan menjadikan film Naymenjadi karya yang memiliki pasar sendiri yang menikmatinya, Djenar Maesa Ayu patut diacungi jempol dalam mengarahkan karya terbarunya. Penuh dengan kritik terhadap isu sosial, ajaran budaya yang masih kaku, dan bagaimana kaum perempuan masih dianggap sebagai kaum marjinal. Sehingga, dengan film Nay, semua poin-poin itu dapat disampaikan layaknya sebuah surat terbuka kepada masyarakat secara luas. Terlebih, kepada masyarakat di negara yang menjunjung tinggi patriarki dan menganggap perempuan masih tak berdaya. 

 

Sabtu, 21 November 2015

BADOET (2015) REVIEW : Pembuktian Kembalinya Film Horor Indonesia


Mengembalikan kepercayaan penonton film Indonesia kepada genre horor bukanlah sesuatu yang mudah. Histori dari genre ini memang tak terlalu memiliki citra yang bagus, karena sineas Indonesia terlalu bermain eksperimental dengan terlalu sering mengumbar sensualitas di dalam filmnya. Penonton pun mulai memicingkan mata untuk mencicipi film horor Indonesia yang dirilis di bioskop. Tak semua sineas Indonesia menggunakan formula itu, akan tetapi mereka tetap terkena dampak yang sama dari penonton Indonesia.

Mulai dibangkitkan lagi dan dibersihkan kembali citra film horor Indonesia yang sudah mulai buruk. Beberapa sutradara Indonesia mencoba menggarap sebuah film horor yang reputasinya jauh dari kesan sensualitas. Salah satunya adalah Awi Suryadi yang berusaha membuat film horor terbaru di tahun ini. Badoet, film horor yang dia buat, mulai gencar dibicarakan dan mendapat sorotan dari beberapa cuplikan foto yang terlihat menjanjikan.

Kehausan penikmat film Indonesia terlebih untuk film horor memang sudah berada di titik puncak. Beberapa kali film horor Indonesia mencoba untuk berbeda tetapi belum bisa ada yang berhasil. Badoet memang belum bisa mencapai tingkatan sempurna dalam satu presentasi film horor Indonesia. Tetapi, i’tikad baik dari Awi Suryadi untuk memberikan satu teror yang kuat berhasil dia sampaikan lewat film Badoet miliknya. 


Badoet ber-setting di lingkungan rumah susun yang padat penduduk. Lingkungan di rumah susun itu terkenal aman dan nyaman. Hingga suatu ketika seorang anak kecil menemukan sebuah kotak musik di daerah pasar malam dekat rumah susun itu. Satu persatu anak kecil di sana meninggal dengan cara yang mengenaskan dan tak terduga. Kejadian ini mengusik Donald (Daniel Topan), mahasiswa semester akhir yang juga mengenali anak-anak di lingkungan rumah susun itu.

Donald tinggal dengan Farel (Christoffer Nelwan) yang juga masih saudara sepupu dengannya. Kejadian yang janggal ini secara tak langsung juga mengusik kehidupan mereka. Bersama dengan Kayla (Aurelie Moeremans), mereka mencoba mencari tahu apa yang terjadi dengan sebuah kotak musik di sana. Dan menemui ketiga anak kecil tersebut menggambar sosok Badut dengan wajah yang sama sebelum mereka meninggal satu persatu. 


Lewat film Badoet, Awi Suryadi berusaha untuk membangun lagi reputasi dari film horor yang sudah jatuh di perfilman Indonesia. Film yang diarahkan olehnya memang tak memiliki cerita dengan terobosan paling mutakhir. Tetap menggunakan formula usang yang selalu ada di setiap film-film horor. Sekumpulan anak muda yang tak tahu apa-apa tetapi ikut terperangkap dan mencari tahu apa yang sedang terjadi, formula itu akan selalu ada dan muncul di setiap film horor, baik lokal maupun luar.

Tetapi, Awi Suryadi pintar dalam mengolah dan membangun setiap tensi yang ada di dalam film Badoet. Selama 90 menit, Awi Suryadi berhasil meneror penontonnya dan mengusik ketenangan penontonnya lewat film Badoet. Film ini memang tak mengumbar penampakan dari makhluk suprantural dan momen yang mengagetkan meski tetap ada satu atau dua adegan. Tetapi, Badoet tampil lewat suasana horor yang mencekam dan hal ini sangat efektif untuk memberikan dampak yang lebih kuat kepada penontonnya.

Meski tetap, film ini masih tak bisa jauh dari kekurangan-kekurangan dalam pengembangan plot dan dialog yang tampil masih seadanya meskipun tak dalam taraf yang berlebihan. Karakter-karakter yang ada di sini masih tak memiliki alasan yang cukup kuat untuk hadir dan menyokong plotnya. Hanya saja, Awi Suryadi berusaha keras agar karakter-karakter yang ada di dalam filmnya bisa memberikan performa yang pas agar kekurangan dalam pengembangan cerita plot Badoet yang tak tampil kuat bisa tertutupi. 


Pun, tanpa terlalu fokus pada plot, Awi Suryadi mengalihkan kekuatannya pada penekanan atmosfir mencekam yang ada di dalamnya. Badoet sangat efektif memberikan mimpi buruk yang membekas cukup lama di dalam ingatan penontonnya. Meski tanpa penampakan yang berarti, Awi Suryadi berhasil menciptakan kengerian sendiri di dalam pikiran penontonnya. Sehingga, hal tersebut efektif untuk menciutkan nyali dan sesekali membuat penonton menutupi matanya saat menonton film ini.

Awi Suryadi berhasil mengangkat sebuah isu mimpi buruk dan fobia akan sosok badut yang dialami beberapa orang. Membangun sebuah alasan dari mimpi buruk seseorang yang takut akan sosok badut yang seharusnya memiliki tujuan untuk membuat tertawa bagi semua orang, bahkan anak kecil. Film ini layaknya sebuah antitesis yang dilayangkan kepada penontonnya untuk mematahkan kesepakatan penonton dalam menginterpretasi sosok badut.

Beberapa teknik pengambilan gambar yang dihadirkan di dalam film Badoet pun berhasil memperkuat atmosfir horornya yang mencekam. Sehingga, meski tetap menggunakan teknik pengambilan yang seperti umumnya film horor tetapi Awi Suryadi berhasil mengelabui penontonnya yang berusaha untuk menebak keberadaan sang makhluk suprantural itu. Dengan tata produksi jempolan, jelas Badoet bukanlah film horor yang dibuat asal-asalan. 


Meski tetap memiliki kekurangan di beberapa bagian, setidaknya Awi Suryadi masih memiliki i’tikad yang baik untuk membuat filmnya tak menjadi sebuah film horor yang murahan. Badoet memiliki kekuatan untuk mengusik ketenangan dan menganggu psikis penontonnya lewat atmosfir seram yang dihadirkan sangat kuat dan efektif di dalam 90 menit filmnya. Dengan alasan-alasan antitesis dan meng-inseminasi pemikiran lain tentang sosok badut, jelas Badoet bukan sembarang film horor. Awi Suryadi berhasil mengembalikan reputasi film horor dan menjadi salah satu film horor terbaik dalam beberapa dekade terakhir.

Rabu, 18 November 2015

SPECTRE (2015) REVIEW : Bond’s Back, The Charm Is Not.


Nama Bond memang sudah bukan lagi menjadi sebuah nama yang asing di berbagai belahan dunia. Bahkan nama James Bond sudah menjadi sebuah brand yang akan dinantikan oleh berbagai kalangan. Karakter yang dibuat oleh Ian Flemming ini pun sudah mendapatkan pasarnya yang besar ketika film-filmnya mulai dirilis secara luas dan Indonesia adalah salah satu target pasar besar dari film-film James Bond.
 
Pergantian pemain James Bond pun sudah sering terjadi di sepanjang filmnya hingga tahun 2015. Dan di 6 tahun terakhir, Daniel Craig dipilih menjadi pemeran James Bond dari film ke-20 hingga film yang terbaru di tahun 2015. Daniel Craig masih mendapat kepercayaan menjadi sosok agen rahasia bermata biru ternama di MI6 dalam film terbarunya berjudul Spectre. Film terbarunya ini tetap disutradarai oleh orang yang sama, Sam Mendes, yang pernah bertanggung jawab lewat Skyfall.

Berselang 3 tahun dari Skyfall, membuat Sam Mendes memiliki banyak waktu untuk merancang bagaimana Spectre akan berlangsung. Dengan mematok kualitas yang tinggi lewat Skyfall, jelas penonton akan menantikan benar Spectre sebagai proyek terbaru dari James Bond. Kekecewaan terlihat ketika poster-poster milik Spectre tak begitu mengundang minat penontonnya dan malah menurunkan ekspektasi sebagian orang. Dan ternyata benar, kualitas yang ditampilkan oleh Spectre adalah sebuah kekecewaan besar yang dirasakan saat menonton sebuah film mata-mata. 


Spectre melanjutkan lini waktu cerita dari Skyfall. Kali ini James Bond (Daniel Craig) memiliki misi baru untuk menangkap seorang bandar besar di meksiko. Tetapi, karena apa yang dilakukan James Bond kelewat batas malah membuat dirinya mendapat hukuman dari M (Ralph Fiennes). Ketika mendapat hukuman tersebut, keadaan MI6 ternyata sedang terancam. Ada seseorang yang ingin menghentikan operasi MI6 karena sudah dianggap terlalu konvensional dalam menjalankan misinya.

Hal tersebut membuat James Bond mencari tahu siapa yang merencanakan hal tersebut. James Bond menelusuri beberapa nama yang membuat dirinya terkoneksi dengan salah satu organisasi gelap bernama SPECTRE. Organisasi itu ternyata menggawangi musuh-musuh James Bond di misi-misi sebelumnya. Dia pun berusaha menemui Madeleine Swann (Lea Seydoux) yang disangka bisa membuat James Bond bisa mendekat ke organisasi SPECTRE itu. Ternyata, apa yang ditemukan oleh James Bond di dalam SPECTRE juga berhubungan dengan masa lalunya. 


Ketika Spectre sudah dirilis secara luas lewat berbagai pemutaran, respon dari berbagai kalangan memang tak terlalu bagus. Bahkan, Spectre cenderung memiliki respon yang buruk sebagai sebuah film James Bond. Melihat situasi itu, ada berbagai kesalahan yang dilakukan oleh Sam Mendes di film terbaru milik James Bond. Terlihat berbagai keambisiusan yang dilakukan oleh Sam Mendes untuk menyelipkan beberapa trivia tentang seluruh seri James Bond ke dalam film terbarunya, Spectre.

Bukan sesuatu yang salah untuk menyelipkan tribut terhadap film James Bond lawas ke dalam film terbarunya. Hanya saja, Sam Mendes terlihat terlalu asik untuk mengembalikan citra James Bond lawas di dalam film terbarunya sehingga melupakan bagaimana seharusnya dia mengarahkan sebuah film. Spectre benar-benar berjalan sangat tertatih untuk menyampaikan setiap plot cerita di dalam durasinya yang hingga 150 menit.

Dengan plot yang rumit dan sub plot yang bertebaran sangat banyak, durasi 150 menit sebenarnya bisa sangat efektif untuk menjalankan setiap ceritanya. Tetapi, Spectre terlihat begitu lelah dan malas untuk bertutur dengan subplot cerita yang banyak. Sehingga, tensi yang berusaha dibangun oleh Sam Mendes terlihat sangat susah untuk tampil dalam filmnya. Penonton pun tak dapat merasa terkoneksi dengan berbagai cerita yang hadir juga tak dapat bersimpati dengan karakter James Bond atau pun karakter yang lainnya. 


150 menit yang tampil di Spectre pun terkesan bertele-tele. Naskah yang ditulis ramai-ramai oleh John Logan, Neal Purvis, Robert Wade, dan Jez Butterworth seperti kebingungan untuk menjalankan pion-pion karakter ini akan dibawa ke mana. Berusaha untuk membuat James Bond memiliki development yang lebih di dalam filmnya, tetapi gagal ditampilkan di dalam filmnya. Sam Mendes terlihat berusaha keras untuk mengarahkan naskah yang ditulis oleh John Logan dan kawan-kawannya. Tetapi, tetap tak bisa menyelamatkan bagaimana presentasi akhir dari Spectre.

Satu jam pertama spectre benar-benar kehilangan arah dan tak tahu plot cerita mana yang akan diserang. Baru di paruh kedua, Spectre mulai setidaknya terfokus pada satu tujuan yang selama di satu jam pertama masih terkesan mengambang. Tetapi tetap saja, Spectre pun jatuh menjadi sebuah film drama melankolis dengan bumbu aksi sebagai sampingan. Setidaknya, Lea Seydoux mengangkat chemistry yang baik dengan Daniel Craig sehingga karakter James Bond tak terlihat malas untuk menjalankan misinya. 


Beruntung, Spectre masih dikaruniai penataan kamera yang cantik oleh Hoyte Van Hoytema. Penggunaan kamera 35 mm sebagai penguat setiap adegan dapat tampil sangat baik sehingga tak salah jika menggunakan format IMAX untuk film ini. Setidaknya dengan format itu, keindahan warna dan tata kamera dalam film Spectre dapat terlihat dengan sangat baik. Juga, adanya opening credit yang menampilkan lagu dari Sam Smith berjudul Writing On The Wall. Di mana, setidaknya opening credits itu menjadi poin tersendiri di dalam film Spectre.

Meski Sam Mendes masih bertanggung jawab atas Spectre setelah memberikan presentasi luar biasa dengan Skyfall, film terbaru James Bond ini malah mengalami penurunan kualitas secara drastis. Terlihat bagaimana Sam Mendes terlalu ambisius mengembalikan citra James Bond Lawas dan tribut terhadapnya. Sehingga, Sam Mendes melupakan bagaimana presentasi menyeluruh terhadap Spectre. Meskipun tak sepenuhnya Spectre tak bisa ditonton, hanya saja jelas ini akan mengecewakan penonton yang sudah antisipasi akan proyek James Bond terbaru.

Senin, 16 November 2015

THE LITTLE PRINCE (2015) REVIEW : Visionary De-Saint Exupery’s Adaptation By Osborne


Antoine De-Saint Exupery menjadi salah satu penulis perancis yang karyanya menjadi literatur klasik di berbagai belahan dunia. Karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa perancis diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia. The Little Prince pun menjadi salah satu literatur sastra dengan cerita anak-anak yang memiliki pengertian dalam tentang menjadi dewasa yang dapat diinterpretasi secara luas oleh semua orang yang membaca karyanya.
 
Dengan keberhasilan De-Saint Exupery membuat The Little Prince menjadi sumber literatur yang legendaris, menjadi kehormatan dan sambutan hangat bagi The Little Prince untuk dijadikan sebuah film. Tetapi, akan menjadi sebuah beban bagi yang mendapat kepercayaan itu ketika harus mengadaptasi karya legendaris dari De-Saint Exupery. Mark Osborne menjadi orang kepercayaan untuk mengarahkan bagaimana karya klasik milik De-Saint Exupery ini menjadi sebuah film bergerak.

Pendekatan yang dilakukan Mark Osborne dalam mengadaptasi The Little Prince milik Antoine De-Saint Exupery adalah membuat filmnya menjadi film animasi. Mungkin dengan tujuan bahwa The Little Prince kembali menjadi karya yang dapat dinikmati oleh lintas usia. Dengan menggunakan pendekatan animasi, Mark Osborne berhasil memiliki tujuan yang sama dengan konten dari literatur klasik milik Antoine De-Saint Exupery. Sehingga, kekhawatiran setiap orang ketika filmnya tak dapat menyamai tujuan dari karya klasiknya dapat ditampiskan. 


Seorang gadis kecil (Mackenzie Foy) yang terobsesi masuk ke sebuah akademi yang diidamkan oleh sang Ibu (Rachel McAdams). Ketika sang gadis kecil gagal, sang Ibu sudah menyiapkan rencana baru agar sang gadis kecil bisa masuk menjadi peserta didik baru dalam akademi tersebut. Sang Ibu memutuskan untuk pindah ke kompleks yang dekat dengan akademi tersebut. Mereka menjalani kehidupan baru di tempatnya yang baru.

Sang Ibu sudah menata jadwal dari sang gadis kecil dalam melakukan kegiatan sehari-harinya di papan rencana hidup. Sang gadis kecil dengan semangat mengikuti rencana yang disiapkan oleh sang Ibu. Di saat sang gadis kecil menjalankan rencana hidupnya, lingkungan baru di sekitar rumahnya tak mendukung. Seorang kakek tua (Jeff Bridges) terobsesi dengan kehidupannya bertemu dengan seorang pangeran kecil dan menganggu ketenangan Sang Ibu dan Gadis Kecil. Dia memperkenalkan sang Pangeran Kecil (Riley Osborne) yang ternyata membuat Sang Gadis Kecil mempertanyakan apa yang dia lakukan selama ini. 


Konten yang dimiliki oleh The Little Prince ini sudah memiliki konten yang luar biasa dan memiliki kedalaman cerita yang penuh makna. Sehingga, jika memiliki kesalahan dalam mengarahkan sumber klasiknya, bisa jadi filmnya tak dapat mencerminkan apa yang ingin disampaikan oleh De-Saint Exupery dalam bukunya. Sehingga, Mark Osborne berusaha kuat agar The Little Prince kembali menjadi sebuah cerita lintas generasi yang juga dapat disukai oleh penonton lintas generasi.

Mark Osborne pun mencoba untuk bermain di dalam zona yang dia kuasai. The Little Prince diangkat menjadi sebuah film animasi yang bisa juga bisa menjadi sebuah cerita dongeng untuk anak-anak yang menjadi poin penting dari sumber klasiknya. Alih-alih mengadaptasi secara harfiah isi bukunya ke dalam filmnya, Mark Osborne menjadikan kisah bukunya menjadi sebuah cerita sampingan dari karakter utamanya. Dengan caranya mengadaptasi, Mark Osborne memiliki tujuan yang sama dengan tujuan dari De-Saint Exupery dengan karya legendarisnya.

The Little Prince penuh dengan pemaknaan tentang fase tumbuh dari anak-anak menjadi orang dewasa. Banyak sekali kritik yang disampaikan kepada orang dewasa lewat buku milik De-Saint Exupery, dan Mark Osborne tahu bagaimana untuk tetap menghadirkan sindiran itu lewat film yang dia buat. Metode mengadaptasi dari Mark Osborne memang bisa dibilang berbeda dari konten aslinya, tetapi hasilnya film animasi The Little Prince memiliki kekuatan yang luar biasa sama dengan sumber klasiknya. 


The Little Prince memiliki konten yang berat jika dijadikan sebagai film yang ditujukan sebagai kepada anak kecil. Penuh metafora-metafora yang perlu penjelasan lebih yang harus dituturkan lebih detil jika disampaikan kepada anak-anak. Filmnya akan memiliki interpretasi yang berbeda di setiap generasi usia. Bisa jadi, setiap generasi akan mengambil kesimpulan yang berbeda ketika film ini berakhir. Akan susah dicerna bagi penonton anak-anak, tetapi akan terasa sentimentil untuk penonton dewasa yang sedang menemani mereka.

Hal itulah yang menjadi tujuan ketika De-Saint Exupery yang ingin disampaikan di dalam bukunya. Rangkuman cerita, tujuan, dan semangat yang sama ada di dalam film animasi yang diarahkan oleh Mark Osborne. Bagaimana pesan-pesan itu disampaikan oleh Mark Osborne tanpa harus melukai konten aslinya. Juga, diinterpretasi lebih luas oleh Mark Osborne untuk memberikan konklusi yang lebih jelas untuk dijadikan di dalam sebuah film. Diperindah dengan pesan simbolik lewat karakter, bentuk, dan warna yang juga secara tak langsung menjadi medium penyampaian pesan.

Pemilihan warna hitam putih yang lebih dominan, bentuk-bentuk setting tempat yang sama satu sama lain, menyampaikan pesan tentang generalisasi pikiran yang sangat relevan dengan apa yang ada di sekitar. Juga, The Little Prince menghadirkan pesan-pesan itu dengan momen-momen sentimentil yang dapat menampar penontonnya, terutama penonton dewasa. Hadirnya momen itu diperkuat dengan bagaimana musik yang digarap oleh Hans Zimmer yang sudah tak disangsikan lagi. Musik dan momen itu saling memperindah satu sama lain. 


Sebagai literatur klasik dengan konten yang berat, bukanlah hal yang mudah untuk mengadaptasi The Little Prince menjadi sebuah film. Mark Osborne menggunakan zona yang dia kuasai untuk menjadikan pendekatannya efektif dalam mengadaptasi karya legendaris milik Antoine De-Saint Exupery. Film animasi berdurasi 100 menit ini tak hanya bervisual menarik, tetapi juga menyelipkan pemikiran-pemikiran baru dan lain tentang fase pertumbuhan menjadi dewasa. Mark Osborne memiliki semangat dan tujuan yang sama dengan buku milik De-Saint Exupery sehingga tak melukai konten klasik yang ada. The Little Prince adalah Film Animasi dengan pemikiran dan visual yang indah. 

Minggu, 01 November 2015

GOOSEBUMPS (2015) REVIEW : New Takes From R.L. Stine Books


Menjadi salah satu penulis termahsur di eranya, R.L. Stine menuliskan cerita misteri pengantar tidur untuk anak-anak, Goosebumps. Karya milik R.L. Stine ini memiliki beberapa seri yang berbeda di setiap bukunya. Pun, buku milik R.L. Stine ini pernah diangkat menjadi sebuah serial televisi di tahun 1995. Karyanya yang tak pernah lekang oleh waktu ini dimanfaatkan oleh Sony Pictures untuk diangkat menjadi sebuah film layar lebar di tahun 2015 ini. 

Goosebumps diangkat menjadi sebuah gambar bergerak dengan durasi 100 menit dan diarahkan oleh Rob Letterman. Dibintangi oleh Jack Black, film Goosebumpspun menjadi sebuah film adaptasi yang berbeda. Goosebumps tak didasari atas cerita dari salah satu buku yang ditulis oleh R.L. Stine. Rob Letterman memutuskan untuk membuat Goosebumps sebagai sebuah tribut untuk karya R.L. Stine yang sudah menemani generasi 90an dan diperkenalkan kembali kepada generasi millenium.

Membuat cerita sendiri di atas buku-buku R.L. Stine bukan berarti malah membuat Goosebumps kehilangan charm-nya menjadi sebuah film yang menarik. Tak perlu terlalu ambisius untuk mengadaptasi salah satu cerita dari bukunya, bersama Darren Lenke sebagai penulis naskah, Goosebumps berubah dari cerita misteri menjadi sebuah cerita fantasi. Film arahan Rob Letterman ini pun tak disangka menjadi sebuah film  yang sangat menyenangkan untuk diikuti. 


Zach (Dylan Minnette) dan ibunya, Gale (Amy Ryan) baru saja pindah dari New York ke sebuah kota kecil. Dia masih berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, apalagi ketika kepindahannya tersebut dikarenakan sang Ayah yang meninggal dan Ibunya harus terus menjalani kehidupan agar bisa bertahan hidup. Di lingkungan rumahnya, dia bertemu dengan gadis bernama Hannah (Odeya Rush). Seorang gadis menyenangkan yang hidup terkekang karena ayahnya yang protektif. Hingga pada suatu malam, Zach mendengar suara teriakan minta tolong dari Hannah.

Zach langsung menelepon polisi untuk mendatangi rumah tetangga barunya itu. Polisi tak menemukan apapun dari apa yang dilaporkan oleh Zach. Merasa tak puas, Zach menyelinap sendiri ke rumah Hannah. Di sana, dia bertemu dengan Hannah dan menemukan tumpukan buku yang terkunci. Tak sengaja, Zach menjatuhkan buku tersebut dan ternyata sesosok monster keluar dari buku tersebut. Ternyata, buku tersebut adalah buku tulisan milik R.L. Stine (Jack Black), ayah Hannah. 


Keputusan yang menarik dilakukan oleh Rob Letterman untuk tidak berusaha mengadaptasi salah satu cerita dari buku Goosebumps. Memiliki resiko besar dengan bagaimana mengolah cerita di dalam film Goosebumps ini agar bisa menghadirkan sesuatu yang tak asal dan sama menariknya dengan karya-karya legendaris dari R.L. Stine. Memutuskan untuk menjadikan film Goosebumps menjadi sebuah film penuh dengan tribut dan nostalgia ini memang bisa menjadi senjata ampuh atau malah menjadi bumerang dari filmnya.

Nyatanya, film Goosebumps menjadi sebuah film fantasi keluarga yang bisa merangkul segala jenis usia yang ingin mendapatkan sensasi menonton yang menyenangkan. Goosebumpsmenyajikan cerita-cerita misteri dan makhluk-makhluk menyeramkan yang dibuat oleh R.L. Stine dengan pendekatan yang lebih kid-friendly. Sehingga, makhluk-makhluk menyeramkan tersebut bisa dikenalkan kembali kepada anak-anak di era millenium agar Goosebumps bisa menjadi sebuah kapsul waktu di berbagai zaman. 


Rob Letterman kali ini berhasil berkolaborasi dengan Jack Black. Setelah sebelumnya sempat gagal lewat Gullivers Travels, Goosebumps ini berhasil menjadi titik balik dari rekam jejak Rob Letterman sebagai sutradara. Rob Letterman berhasil menyajikan sebuah film fantasi petualangan yang mengasyikkan. Meskipun belum dalam taraf luar biasa, setidaknya Goosebumpsberhasil menjadi sebuah karya yang menonjol dan bisa menghibur penontonnya.

Komedi dan suasana kekeluargaan yang diusung di dalam film Goosebumps ini memang bisa menjadi kekuatan di dalam filmnya. Komedi yang tak terlalu slapstick, membuat Goosebumps bisa menjadi sajian yang menghibur. Meski ada beberapa formula bahan tawa yang usang di dalam filmnya yang beberapa kali tak tampil menghibur, tetapi naskah Darren Lenke tak terlalu banyak memberikan sorotan. Dia menyelipkan beberapa referensi bahan guyonan lewat beberapa kultur pop dan referensi horor ke dalam film arahan Rob Letterman. Sehingga, banyak sekali poin yang mengundang tawa penontonnya. 


Pun, suasana film Goosebumps yang berhasil menghadirkan nuansa gaya lama ala serial televisinya. Nuansa misteri tetapi tetap dikemas secara menyenangkan yang tampil begitu kental di dalam filmnya. Juga, Rob Letterman tak melupakan bagaimana tujuan dari karya R.L. Stine sebagai karya yang legendaris dan hal tersebut mampu tampil di dalam film arahannya. Sehingga, penonton yang pernah ada di era itu bisa merasakan kembali apa yang mereka rindukan.

Jelas, Goosebumps adalah sebuah kuda hitam dari beberapa pihak yang merasa pernah menyudutkan bahkan memandang sebelah mata film adaptasi ini. Film arahan dari Rob Letterman ini berhasil menyajikan kembali suasana nostalgia dan tribut terhadap karya dari R.L. Stine yang legendaris ini. Meskipun tanpa mengadaptasi salah satu cerita dari bukunya sebagai sumber. Goosebumps adalah sebuah film fantasi petualangan keluarga yang menyenangkan dan dapat merangkul segala jenis usia. Baik yang pernah tumbuh dengan R.L. Stine, maupun yang tidak. 

CRIMSON PEAK (2015) REVIEW : Enchanting Yet Powerful Gothic Romance


Menghadirkan sebuah film mencekam dengan mempedulikan detil-detil artistik adalah keahlian dari sutradara, Guillermo Del Toro. Dengan anugrahnya tersebut, Guillermo Del Toro bisa menjadikan sebuah film horor naik satu tingkat dibanding dengan film-film horor lainnya. Tak hanya dalam film-film horor, tetapi Guillermo Del Toro tetap bisa mengarahkan film-film fantasi lainnya dengan kekhasan gaya penyutradaraan darinya. 


Poin yang membuat Guillermo Del Toro menjadi salah satu sutradara yang menjanjikan adalah kinerjanya dalam film Pan’s Labyrinth. Dia berhasil menjadikan sebuah film yang penuh dengan makhluk-makhluk yang berdampak mimpi buruk ini menjadi sajian yang cantik. Sehingga, banyak penonton yang menantikan karya-karya dari sutradara asal Meksiko ini. Di tahun 2015 ini, Guillermo Del Toro menghasilkan karya terbarunya yang menggabungkan sebuah film romance dengan gaya gothic yang sangat khas dengannya.

Crimson Peak, proyek terbaru dari Guillermo Del Toro ini mengalami pengunduran jadwal rilis dari Juni ke Oktober. Dibintangi dari Mia Wasikowska, Tom Hiddleston, dan Jessica Chastain, Crimson Peak menjadi sebuah film romance dengan level yang baru lewat pengarahan luar biasa dari Guillermo Del Toro. Crimson Peak menyajikan sebuah film horor artistik yang memiliki kekuatan luar biasa dari pembangunan cerita, karakter, dan atmosfir yang mengagumkan. 


Edith Cushing (Mia Wasikowska), anak dari Carter Cushing (Jim Beaver) memercayai tentang keberadaan sosok hantu. Sosok tersebut berusaha dia tuangkan ke dalam cerita-cerita yang dia tulis. Meskipun, karya-karyanya ditolak di berbagai penerbit, dia tetap tak patah semangat untuk menuliskan ceritanya. Hingga pada suatu saat, Thomas Sharpe (Tom Hiddleston) datang kepada Carter untuk meminta bantuan donasi terhadap proyek mesin yang sedang dia buat. Tak sengaja, Edith menaruh hati terhadap Thomas karena kepintaran dan kharisma darinya.

Hubungan tersebut tak mendapat restu dari Carter dan Edith pun dilema antara Thomas atau teman masa kecilnya, Alan McMichael (Charlie Hunnam). Musibah datang pada Edith, Carter dibunuh oleh seseorang yang tak tahu siapa. Edith melarikan diri dari musibah tersebut dan memutuskan untuk menikah dengan Thomas Sharpe. Edith pindah ke kastil tua milik Thomas yang dijadikannya sebagai tempat tinggal. Di sana, dia tinggal bersama dengan kakak Thomas, Lucille Sharpe (Jessica Chastain). Di sana, Edith merasa ada yang menerornya, sosok hantu yang ada di dalam kastil tua ini. 


Menjadikan film dengan poster, trailer  dan setting mencekam menjadi sebuah film drama romance memang bukan sesuatu yang lumrah. Tetapi, Guillermo Del Toro membuat hal tersebut menjadi sesuatu yang wajar dan mungkin untuk dibuat. Crimson Peak adalah pembuktian bahwa dengan premis cerita seaneh apapun Guillermo Del Toro berhasil membuktikan bahwa dia adalah sutradara yang menjanjikan di industri perfilman Hollywood.

Tak ada cerita terobosan baru dari Crimson Peak sebagai film bertema gothic. Drama tahun 80an dengan misteri yang kental tetapi memasukkan unsur supranatural di dalam filmnya. Crimson Peak memiliki cerita yang sangat intens di 119 menit filmnya. Naskah yang juga ditulis oleh Guillermo Del Toro ini berhasil memikat penontonnya untuk mengikuti setiap menit dari Crimson Peak. Cerita yang dibangun oleh Guillermo Del Toro ini memiliki kekuatan untuk menghipnotis penontonnya lewat gambar bergerak.

Tempo bertutur milik Crimson Peak memang bisa dibilang lambat. Paruh awal film Crimson Peak dipenuhi dengan pembangunan masing-masing karakter yang begitu kuat. Sehingga, penonton bisa menaruh simpati kepada karakter-karakter yang ada di dalam film Crimson Peak ini. Hingga semakin bertambahnya durasi, Crimson Peakmenambahkan unsur-unsur misteri yang membuat penonton bertanya-tanya akan apa yang terjadi di dalam konflik ceritanya. 


Misteri yang disebar di dalam Crimson Peakini tak terlalu terburu-buru. Sedikit demi sedikiit, Guillermo Del Toro menaruh setiap keping teka-teki di dalam filmnya. Perlahan, Guillermo Del Toro membanguh misteri yang kuat di dalam ceritanya. Bertambahnya durasi di dalam Crimson Peak, tensi cerita pun semakin naik. Bukan hanya dari aspek kepingan teka-teki yang disebar saja, tetapi dari pembangunan cerita dari Del Toro yang semakin kokoh hingga paruh akhir filmnya.

Ketika waktu yang tepat datang, barulah Crimson Peak berada dalam puncak emosi di dalam filmnya. Final showdown di dalam film Crimson Peak memiliki kekuatan luar biasa. Menggabungkan setiap tensi cerita bercampur misteri yang sudah terjawab yang bisa membuat penonton ikut serta merasakan atmosfir di dalam filmnya. Kejutan-kejutan yang ada di dalam akhir film akan dengan mudah membuat penontonnya merasa kaget dan hal itu tersimpan rapi berkat pengarahan dari Guillermo Del Toro.

Seperti Edith Cushing yang menganggap hantu di dalam cerita-ceritanya adalah sebuah metafora dalam kehidupan, Guillermo Del Toro pun juga menjadikan hantu-hantu itu sebagai metafora pertarungan psikis dari karakter Edith Cushing. Dan bisa dibilang, Crimson Peak bukan hanya menggabungkan romance dan gothic, tetapi juga thriller psychological yang juga menjadi poin penting di dalam film ini. Sehingga, dengan adanya poin itu Crimson Peak menambah kekuatannya. 


Detil artistik di dalam film Crimson Peakpun menjadi poin penting yang sangat diperhatikan oleh Del Toro. Hal tersebut menjadi satu poin wajib di setiap film milik Del Toro. Crimson Peak berhasil memanjakan mata penontonnya lewat detil-detil menarik, tata busana nomor wahid, serta permainan warna merah dengan hitam dan putih yang juga tampil sangat cantik. Dengan beberapa aspek itu, Del Toro berhasil membangun suasana mencekam meskipun penampakan makhluk supranatural tersebut tak terlalu memiliki poin besar bagi kelangsungan film ini.

Dengan segala pengarahan Guillermo Del Toro yang sangat visioner di dalam genre ini, Crimson Peak menjadi sebuah pengalaman menonton yang sangat indah. Penggabungan beberapa isu atau tema di dalam film ini menjadikan Crimson Peak tak kehilangan arah, malah menjadi sebuah kekuatan di dalam filmnya. Guillermo Del Toro berhasil membangun cerita dan karakter yang kuat di dalam film Crimson Peak. Dan hal ini berdampak bagi ketenangan psikis penontonnya, mereka seperti dihantui dan diusik lewat film horornya yang indah dan luar biasa kuat.

ANANTA (2018) REVIEW : Kisah Manis Yang Tak Biasa

  Setelah terus-terusan menjadi ratu drama dari Screenplay Films, Michelle Ziudith akhirnya memiliki kesempatan untuk mengeksplor dirinya di...