Sabtu, 19 Desember 2015

THE GOOD DINOSAUR (2015) REVIEW : The Good Package of Mediocrity



Setelah absen di tahun lalu, Pixar balas dendam untuk merilis dua film animasi miliknya secara bersamaan di tahun ini. ‘Inside Out’ dan ‘The Good Dinosaur’ adalah dua film rilisan Pixar yang akan hadir secara bergantian di tahun ini. Setelah Inside Outmematok harga tinggi untuk rilisan film Pixar, jelas akan ada ekspektasi yang berbeda dengan The Good Dinosaur yang berani merilis bebarengan dengan salah satu karya masterpiece milik Pixar.

Peter Sohn adalah yang menangani proyek The Good Dinosaur milik Pixar. Ini adalah debut pertamanya menangani proyek layar lebar durasi panjang setelah sebelumnya pernah menangani film pendek yang juga di bawah naungan Pixar. Proyek ini sering beberapa kali terbengkalai dan mengalami pasang surut dalam prosesnya. Sehingga, The Good Dinosaur menjadi satu proyek lampu kuning dari penontonnya apalagi ketika tahu perilisannya pun diundur di tahun 2015.

Memang, plot The Good Dinosaurpun terlihat repetitif dengan beberapa film yang bertema sama. Segala plot yang sudah generik diolah lagi menjadi sesuatu yang baru. Meski memiliki beberapa poin yang membuat The Good Dinosaurkewalahan, beruntungnya The Good Dinosaurmasih memiliki visualisasi cantik atas panorama indah yang dihasilkan lewat animasi CGI-nya. Sehingga, The Good Dinosaur masih memiliki beberapa keunggulan yang selalu membuat Pixar berada di atas rumah produksi animasi lainnya.



Menceritakan tentang sosok dinosaurus yang kecil bernama Arlo (Raymond Ochoa) yang berbeda dengan saudara-saudaranya. Dia adalah seekor dinosaurus yang tak memiliki kekuatan yang sama dengan sejenisnya. Sang ayah selalu mengajarkan Arlo untuk tetap menjadi sosok dinosaurus yang kuat. Sang Ayah, Poppa (Jeffrey Wright) selalu memberikan tempat untuk menempelkan cap telapak kaki setiap anggota keluarganya di saat mereka telah melakukan hal yang berguna di dalam hidupnya. Dan Arlo sama sekali tak pernah melakukan hal tersebut sehingga membuat dirinya sangat terobsesi.

Pada saat itu, cadangan makanan keluarga Arlo tiba-tiba habis dimakan makhluk lain dan Arlo ditugaskan Poppa untuk menangkap dan membunuh makhluk tersebut. Tetapi, ketika makhluk tersebut tertangkap, Arlo tak langsung membunuhnya. Poppa menyuruh Arlo untuk mengejar makhluk tersebut. Di tengah-tengah pengejarannya, badai datang dan menghanyutkan Poppa. Arlo sedih dan berusaha kerasa untuk menangkap makhluk tersebut untuk membalaskan dendam. 



Ketika Pixar telah mematok sebuah nilai yang tinggi untuk Inside Out, keberadaan proyek selanjutnya terlebih ketika dirilis di tahun yang sama dapat menimbulkan rasa pesimis bagi penontonnya. Penonton tak dapat berekspektasi muluk-muluk dengan proyek The Good Dinosaur setelah melihat bagaimana luar biasa Pete Docterdalam mengarahkan Inside Out. Tetapi, Pixar tetap bisa menarik penontonnya untuk menyaksikan The Good Dinosaur lewat berbagai gimmick yang menarik.

Kemasan luar The Good Dinosaurdibungkus sedemikian rupa agar dapat menimbulkan hype yang tak kalah besar dengan Inside Out. Lewat traileryang menggugah, desain poster yang menarik, hingga audio film yang di-dubbing ke bahasa Indonesia, The Good Dinosaurmemanfaatkan benar strategi itu. Sehingga, The Good Dinosaur dengan mudah mencuri perhatian penontonnya meski dengan plot cerita yang tak memiliki terobosan baru.

Plot yang ditawarkan oleh The Good Dinosaur memang tak ada yang baru, tetapi dikemas ulang menjadi sebuah perjalanan film animasi yang mewah dan berbeda dengan animasi lainnya. Plot cerita yang dikembangkan dengan berbagai macam subplot ini memang terkesan ditambahkan. Arahan Peter Sohn tak terlalu mulus sehingga The Good Dinosaur memang tak bisa tampil sangat prima dalam membawakan plot yang usang.




Perjalanan The Good Dinosaurmemang begitu tertatih, apalagi ketika awal film di mana The Good Dinosaur tak tahu bagaimana caranya menyatukan kepingan cerita sebelum dengan kepingan selanjutnya. Bob Peterson selaku penulis naskah pun terkesan hanya menyelipkan sedikit latar belakang cerita yang dapat digunakan sebagai konflik selanjutnya. Sehingga, ada sedikit cita rasa yang hilang di dalam The Good Dinosauruntuk menjalankan segala bentuk plot dan subplot-nya secara utuh dalam 100 menit.

Tetapi, The Good Dinosaurmemiliki sesuatu yang lebih dan selalu menjadi keunggulan di setiap film-film Pixar. The Good Dinosaur memiliki momen emosional yang kuat meski tak bisa sekuat Inside Out. Dan juga permainan simbol dari Pixar yang selalu memiliki makna yang jauh lebih dalam meski di dalam film animasi. Persahabatan antara manusia dan hewan yang diusung memiliki garis yang bias antara kedua makhluk tersebut.



Juga, The Good Dinosaurmemiliki problematika keluarga yang hangat sehingga mungkin akan pas untuk disaksikan bersama keluarga. Tak hanya itu, The Good Dinosaur juga menyinggung akan isu kepercayaan diri yang selalu menyerang orang yang menganggap dirinya tak mampu. Meski begitu, The Good Dinosaur pun terasa terlalu kasar untuk anak-anak lewat adegan-adegan kekerasan yang cukup banyak. Sehingga, anak-anak sebagai segmentasinya perlu didampingi orang yang lebih tua saat menyaksikan film ini.

Tak lupa lagi, bagaimana The Good Dinosaur memiliki animasi indah yang sangat detil. Sehingga, penonton akan dengan mudah takjub akan panorama-panorama yang disajikan oleh Peter Sohn lewat The Good Dinosaur. Pun dengan permainan-permainan warna yang lebih elegan sehingga The Good Dinosaur tetap menjadi salah satu karya Pixar yang berbeda dibandingkan dengan studio animasi lainnya. The Good Dinosaur mempunyai keunggulan teknologi yang patut untuk dibanggakan.



Meski kurang akan inovasi dalam segi plot dan juga pengarahan dari Peter Sohn yang belum maksimal, tetapi The Good Dinosaur masih memiliki performa yang setidaknya masih berada di atas rata-rata. Permainan simbol dan pemikiran yang lebih dalam yang ditampilkan lewat subplot-nya, The Good Dinosaurberhasil menjadi salah satu film animasi Pixar yang berhasil meski tak maksimal. The Good Dinosaur adalah sebuah film animasi yang sangat layak ditonton bersama keluarga terlebih untuk memberikan pengarahan kepada anak-anak yang mungkin akan traumatik karena adegan kekerasan yang cukup kasar di dalam film ini.
 

Selasa, 01 Desember 2015

THE HUNGER GAMES : MOCKINGJAY PART 2 (2015) REVIEW : The Satisfying Finale [With IMAX 3D Review]


Perjuangan Katniss Everdeen, sang Gadis Api menuju pada babak terakhir. Setelah mendapatkan cerita yang menjembatani perjalanan terakhir dari Katniss Everdeen ini lewat Mockingjay Part 1 pada tahun 2014, jelas The Hunger Games : Mockingjay Part 2 adalah salah satu film yang sangat dinantikan di tahun ini. Penonton ingin mencari tahu bagaimana kelanjutan dari cerita Katniss Everdeen yang  ditutup dengan penuh pertanyaan di bagian pertama.
 
The Hunger Games : Mockingjay Part 2 kembali disutradarai oleh Francis Lawrence yang mulai dipercayai menangani seri ini lewat The Hunger Games : Catching Fire. Jennifer Lawrence pun tetap menjadi sosok Katniss Everdeen dan mentransfrormasi dirinya menjadi simbol aktris blockbuster yang memiliki efek besar. Jelas, sosok Katniss akan menjadi salah satu karakter yang berarti dalam rekam jejak pamor dari Jennifer Lawrence.

Di bagian pertama, Mockingjayberubah menjadi sebuah drama penuh intrik politik yang membuat sebagian orang kurang menyukai film ini. Mockingjay Part 1 hanyalah sebuah cerita pengenalan atas konflik-konflik yang akan dihadapi oleh Katniss Everdeen di bagian kedua. Di bagian kedua ini, segala konflik yang sudah dilontarkan di bagian kedua diberi sebuah konklusi yang juga mengakhiri seri ini. Dan The Hunger Games : Mockingjay Part 2 menjadi sebuah seri penutup yang masih memuaskan dan menyenangkan untuk diikuti. 


Setelah Peeta (Josh Hutcherson) berhasil diselamatkan, dia menyerang Katniss (Jennifer Lawrence) dan membuat hubungan mereka merenggang. Peeta dicuci otak oleh Presiden Snow (Donald Sutherland) agar memusuhi Katniss. Hal itu jelas membuat Katniss terpukul dan semakin menguatkan misinya untuk membunuh presiden Snow dengan tangannya sendiri. Presiden Alma Coin (Julianne Moore) tetap tak mau untuk mengirim Katniss langsung untuk menyerang Snow.

Tetapi, Katniss tetap tak mau tahu dan dia pun berusaha agar dia bisa pergi ke Capitol untuk menyerang Snow. Naas, ketika Snow tahu akan rencana Katniss beserta teman-temannya untuk menyerang Capitol untuk membunuhnya. Dia sudah menyiapkan berbagai perangkap di sekitar kota Capitol agar dapat membunuh Katniss dan timnya. Hal itu pun semakin membuat perjuangan Katniss untuk membunuh Snow semakin mendapatkan tantangan. 


Menjadikan satu buku menjadi dua bagian film memang menjadi sebuah tren yang diawali oleh Harry Potter and The Deathly Hallows. Memang, dengan formula itu akan dirasa efektif oleh rumah produksi untuk mendatangkan banyak keuntungan bagi mereka. Mockingjay adalah salah satu yang menggunakan formula itu. Buku ketiga dari Suzanne Collins ini pun dibagi menjadi dua bagian film yang sebenarnya akan menjadi sangat riskan untuk performa filmnya.

Nyatanya adalah Mockingjay hanya memiliki satu konflik besar yang sebenarnya tak begitu rumit. Maka, keputusan untuk dipecah menjadi dua bagian hanyalah gimmickdari sang rumah produksi untuk mendatangkan keuntungan. Dengan adanya dua bagian itu, jelas problematika yang besar adalah bagaimana menyamaratakan performa di dalam filmnya. Isu plot itu jelas jurang besar bagi pamor seri The Hunger Games yang menjadi salah satu seri adaptasi novel young-adult yang kuat.

Di bagian kedua, The Hunger Games : Mockingjay Part 2 tidak lagi memiliki konflik yang signifikan. Segala konflik yang ada di dalamnya hanyalah jawaban dari konflik yang sudah ditawarkan di bagian pertama. Jelas, ini adalah tantangan yang besar bagi sang sutradara untuk mengemas Mockingjay Part 2agar tetap menjadi sebuah film yang tak terasa sia-sia untuk dipecah menjadi dua bagian. Francis Lawrence benar-benar berusaha keras untuk menyingkirkan paradigma itu. 


Kata ‘Aji Mumpung’ memang tak bisa terelakkan ketika Mockingjaydibagi menjadi dua bagian. Tetapi, Francis Lawrence membuktikan bahwa Mockingjay Part 2 tetap menjadi sajian yang sangat menggugah minat penontonnya untuk mengikuti filmnya hingga akhir. Mockingjay Part 2  mengubah warna cerita menjadi cenderung lebih gelap dan murung. Sang sutradara berusaha kuat untuk menghadirkan nuansa cerita penuh intrik politik yang lebih kental.

Jelas, berubahnya warna cerita itu adalah kekuatan dan potensi besar dari Mockingjay Part 2. Sehingga, seri-seri The Hunger Games bukan hanya sebuah film fantasi petualangan remaja yang hanya lalu. Tetapi, memberikan pendalaman lebih tentang propaganda politik yang dapat dikaji lebih lagi. Representasi kediktatoran pemimpin yang mempermainkan bawahannya yang terlihat secara implisit lewat karakter-karakter seperti Snow ataupun Alma Coin.

Mockingjay Part 2 memberikan sebuah final battle yang berhasil membangun suasana mencekam. Dan sang sutradara berhasil benar untuk menghadirkan hal-hal itu sehingga bagian kedua dari Mockingjay ini tak terasa monoton bagi sebagian penonton.Banyak beberapa bagian dari Mockingjay Part 2yang berhasil membuat penontonnya keasyikan menonton petualangan dari Katniss Everdeen dalam perjalanannya menuju kota Capitol. Anggap saja, di bagian kedua adegan pertarungan itu adalah penebusan dosa dari bagian pertama yang sangat minim akan hal itu. 


Francis Lawrence tak terlihat terlalu asyik untuk memberikan pendalaman lebih kepada karakter-karakter yang ada di seri The Hunger Games yang semakin lama terlihat semakin manusiawi. Pun, lewat naskahnya, The Hunger Games : Mockingjay Part 2 memiliki dialog-dialog sarkastik terhadap otoritas pemimpin dan permainan propaganda politik yang tampil secara implisit dan dibutuhkan interpretasi yang kuat dari penontonnya agar pesan yang dimaksudkan dapat tersampaikan. Dan hal itu lah yang menjadi poin plus lagi dari seri Mockingjay Part 2.

The Hunger Games : Mockingjay Part 2 jelas mengajak penontonnya berpikir tentang kebenaran yang kita bela. Adanya pro dan kontra di dalam memilih kebenaran jelas sudah menjadi sesuatu yang lumrah. Sehingga, perlu adanya tanggung jawab atas apa yang kita pilih tentang sesuatu yang kita anggap benar. Dan representasinya lewat karakter Alma Coin dan Snow, polemik pemilihan pemimpin yang bersih adalah salah satu isu yang diangkat oleh The Hunger Games : Mockingjay Part 2 yang dirasa akan relevan di berbagai belahan dunia.

Tak dipungkiri lagi, The Hunger Games : Mockingjay Part 2 memiliki nilai-nilai produksi dengan estetika berkelas. Lewat tata kostum, artistik, dan teknik pengambilan gambar yang menarik menjadi kelebihan lain dari seri ini semenjak Catching Fire. Juga, performa luar biasa tetap dihadirkan oleh Jennifer Lawrence sebagai karakter Katniss. Dia jelas sosok aktris aset Hollywood yang berhasil menjadi ikon film blockbuster. Jennifer Lawrence dapat menghadirkan segala bentuk emosi di dalam setiap adegan sehingga The Hunger Games : Mockingjay Part 2 tak hanya sebuah franchise kosong. 


Dengan pembelahan dua bagian dalam adaptasi buku terakhirnya, jelas tak dapat dipungkiri bahwa The Hunger Games : Mockingjay Part 2 memiliki permasalahan lewat pengembangan plot yang sangat minimalis. Tetapi, Francis Lawrence berusaha keras untuk mengarahkan seri terakhirnya ini tetap menjadi sebuah film penutup yang memiliki presentasi yang kuat. The Hunger Games : Mockingjay Part 2 tetap menghadirkan sebuah petualangan Katniss untuk berhadapan dengan presiden Snow yang penuh akan intrik politik yang menarik dengan warna cerita yang murung. Tetapi, itulah potensi dari Mockingjay Part 2 sehingga dapat menjadi seri penutup yang memuaskan.


Di wilayah asia, film ini dirilis dalam format IMAX 3D dan berikut adalah review dari format tiga dimensi lewat layar IMAX

DEPTH

Hasil konversi format IMAX 3D tak berhasil memberikan kedalaman film yang menarik. Sehingga, rasanya kedalaman The Hunger Games : Mockingjay Part 2hanya terasa seperti film dua dimensi.

POP OUT
Tak ada sama sekali efek Pop-Out yang mewarnai The Hunger Games : Mockingjay Part 2. Sehingga jelas akan terasa pointless untuk disaksikan dalam format tiga dimensi.


The Hunger Games : Mockingjay Part 2 dikonversi menjadi sebuah film tiga dimensi berformat IMAX yang tak memiliki pengaruh signifikan di dalam filmnya. Sehingga, menyaksikan The Hunger Games : Mockingjay Part 2 dalam format ini hanyalah sebuah gimmick lagi dari rumah produksi untuk mengeruk keuntungan. Sehingga, sangat berharap film ini hanya dirilis dalam format IMAX dua dimensi.

ANANTA (2018) REVIEW : Kisah Manis Yang Tak Biasa

  Setelah terus-terusan menjadi ratu drama dari Screenplay Films, Michelle Ziudith akhirnya memiliki kesempatan untuk mengeksplor dirinya di...