Kamis, 25 Februari 2016

DEADPOOL (2016) REVIEW : Expectation Violency of Anti-Hero Character Building


Setelah ber-marketing sana sini yang dapat menimbulkan hype  yang cukup besar, Deadpool  jelas sangat diantisipasi oleh banyak kalangan. Karena sosok yang diasumsikan sebagai superhero ini memiliki keunikan tersendiri karena gayanya yang nyeleneh. Sayangnya, asumsi kebanyakan orang terhadap sosok Deadpool ini salah. Deadpool bukanlah seorang manusia super, dia hanyalah manusia biasa dengan suntikan mutan yang ingin membalaskan dendam.


Ya, Deadpool adalah sosok anti-superheroyang tak tahu siapa yang akan dia bela. Deadpool hanya mempedulikan egonya untuk balas dendam kepada orang-orang yang telah menghancurkan kehidupannya dan orang di sekitarnya. 20th Century Fox dengan berat hati –pada awalnya –memberikan lampu hijau untuk membuat Deadpool. Sehingga, film ini hanya memiliki budget yang minim yang agar dimaksimalkan.

Ryan Reynolds dipilih sebagai sosok Deadpool yang pada awalnya telah gagal untuk menjadi sosok superhero di beberapa film lainnya. Ryan Reynolds dianggap pantas karena telah memperjuangkan hak Deadpool untuk mendapatkan filmnya sendiri. Deadpool ditangani oleh Tim Miller dan menjanjikan bahwa film ini akan berbeda dibandingkan dengan film-film Marvel lainnya. Karena Deadpool adalah sosok anti-hero yang memiliki perilaku tengil. 


Ketengilan dari sosok Deadpool ini memang sudah ada sejak dirinya belum disuntiki cairan mutan oleh seseorang yang membawanya karena iming-iming untuk menyembuhkan penyakitnya. Wade (Ryan Reynolds) nama asli Deadpool ini adalah seorang berandalan yang sangat dibenci tetapi juga dicintai oleh banyak orang. Dia jatuh cinta kepada Vanessa (Morena Baccarin) ketika sedang melihatnya di sebuah bar. Tetapi kisah cintanya tak berlangsung lama ketika Wade didiagnosa mengidap kanker parah.

Dan dengan alasan ingin bertahan hidup lebih lama dengan pujaan hatinya inilah, Wade pun tergoda tawaran untuk dijadikan seorang mutan agar bisa bertahan hidup. Sayangnya, Wade masuk ke dalam perangkap yang mengharuskannya bertemu dengan sosok egois bernama Ajax (Ed Skrein), yang jelas itu bukan nama aslinya. Karena ketengilan Wade, Ajax kesal dan menumpahkan emosinya kepadanya. Dia membuat Wade buruk rupa dan Wade mencari Ajax untuk membalaskan dendamnya.


Dan dalam 100 menit Deadpool ini menceritakan bagaimana Wade Wilson berusaha keras untuk menyerang dan mencari siapa itu Ajax, meskipun dia sudah tahu nama asli darinya. Menariknya, Tim Miller membuat Deadpool memiliki alur maju mundur ke dalam filmnya, terutama di bagian 40 menit pertama. Karakter Deadpool dibuat sangat interaktif dengan penontonnya meski dengan cara yang tak langsung. Tetapi, karakter Deadpool tahu bahwa dia berada di dalam sebuah film.

Deadpool dibuat dengan karakter narsistik yang kental yang menguatkan imej tengil yang telah ditempelkan. Di dukung dengan dialog-dialog penuh narsisisme dan kata-kata tak beradab yang dilontarkan sepanjang film. Tetapi, karakter Deadpool atau Wade memang sudah tumbuh dan berkembang sesuai dengan apa yang ada di sekitarnya. Maka, tak salah jika Tim Miller membangun karakter Wade Wilson dengan banyak sekali pembentukan sifat senonoh dan memutuskan untuk menjadikan filmnya memiliki rating 17 tahun ke atas.

Tim marketing dari Deadpool ini benar-benar memanfaatkan bagaimana karakter dari Deadpool dibentuk di dalam ceritanya. Sehingga, ketengilan bukan hanya mendarah daging ke dalam karakteristik filmnya, tetapi juga menjadi trademark  dalam proses marketingnya. Calon-calon penonton diganjar habis-habisan dengan banyak sekali bentuk pemasaran yang terlihat menarik. Dan secara tak sengaja, jelas akan membuat penonton berekspektasi sangat tinggi. 


Dalam menonton, tak bisa lepas dari sebuah ekspektasi. Entah hanya sekedar melihat trailer atau lewat trik-trik promo yang dilakukan oleh rumah produksinya. Deadpool terkena bumerang akan trik-trik promo menariknya yang ternyata tak begitu selaras dengan keseluruhan presentasinya. Sebagai sebuah film dengan kekuatan super, Deadpool memang sedikit berbeda dalam pengemasan terutama pada pelemparan candaan yang super tak beradab. Deadpool memang tak menawarkan sesuatu yang berbeda, hanya saja Tim Miller tak sengaja masih bermain aman dengan Deadpool.

Segala ketengilan dan kebiadaban Deadpool di dalam filmnya tak seperti apa yang berusaha digembar-gemborkan. Tim Miller melemparkan semua candaan secara beruntun tanpa diberi ruang bernafas bagi penontonnya untuk mencerna bagian mana yang menjadi gong-nya. Tim Miller masih belum memperhatikan benar timing untuk menjaga pace cerita dan candaan agar bisa berjalan seimbang. Sehingga, Deadpool semakin bertambah menit pun terasa sangat tertatih untuk menyelesaikan perjalanannya. 


Tensi Deadpool semakin menurun dengan bertambahnya menit. Pun, karena Deadpool terlalu banyak mengambil alih screening time di dalam filmnya. Tim Miller terlalu asyik berpetualang mengulik lebih dalam tentang karakter Deadpool sehingga tak bisa memberikan porsi yang seimbang dengan karakter-karakter pendukung di dalam filmnya. Hasilnya, Deadpool seperti sedang berusaha sendirian untuk menyalakan tensi dan segala cita rasa film selama 100 menit.

Keegoisan Tim Miller untuk menyorot lebih kepada Deadpool menjadi sebuah masalah kecil yang secara tak langsung menggerogoti perlahan presentasinya. Mungkin Deadpool juga sebagai medium pembentukan ulang citra Ryan Reynolds yang selalu gagal memerankan sosok berkekuatan super. Sehingga, bisa jadi bukan hanya keegoisan dari sang sutradara melainkan juga sang aktor yang sangat ingin diakui sebagai salah satu aktor berpotensi di industri film hollywood. 


Dengan rating dewasa, Deadpool memberikan sesuatu yang berbeda lewat presentasi karakteristik unik sosok Wade Wilson. Meski begitu, Deadpool tak seperti yang digembar-gemborkan oleh tim marketing-nya yang diperas hingga maksimal untuk mendapatkan brand awareness yang besar agar mendapatkan calon penonton untuk menutupi budget-nya yang kecil. Tidak salah memang, tetapi penonton secara tak langsung membangun ekspektasi. Tetapi, Deadpool mengkhianati ekspektasi penonton dengan presentasi yang sebenarnya berusaha keras menutupi masalah-masalahnya. 

Selasa, 23 Februari 2016

A COPY OF MY MIND (2016) REVIEW : Konstruksi Realita Jujur Kota Jakarta


Cita-cita aku ? Aku pengen punya home theatre sendiri biar bisa nonton film.” Sesederhana itu memang mimpi Sari, salah satu karakter utama dari film terbaru arahan Joko Anwar. Bukan menjadi hal tabu lagi bagi setiap orang untuk menaruh dan menggantungkan mimpi setinggi mungkin kepada sang Ibu Kota. Tujuannya sederhana, untuk memperbaiki kehidupannya yang belum bisa dikatakan terjamin. Dan merantau ke ibu kota menjadi salah satu opsi yang mereka gunakan. 

Keinginan banyak orang untuk hidup enak di kerasnya perjuangan di Ibu Kota memang tak mudah. Kehidupan mentereng yang disorot berlebih di berbagai drama rekonstruksi media menjadi salah satu dalih bagi mereka untuk semakin yakin merantau ke ibu kota. Maka, datanglah Joko Anwar yang menawarkan diri untuk memberikan visualisasi isu sosial tersebut tanpa berusaha mendramatisir. Alih-alih terlalu serius, Joko Anwar pun menjadikan proyeknya sebagai sebuah kisah cinta dua insan yang juga memiliki problematika serius dengan kehidupan keras kota Jakarta.

Salinan memori dari berbagai macam problematika di Ibu Kota ini diangkat dalam film terbaru Joko Anwar, A Copy of My Mind. Menggunakan karakter representatif yang disematkan pada Alek dan Sari ketika berusaha keras menjalani hidupnya dengan pekerjaan kecilnya yang mampu membuatnya bertahan hidup. Diperankan oleh Chicco Jericho dan Tara Basro, film ini pun melaju sebagai film unggulan Festival Film Indonesia dan beberapa festival film di dunia. 


Kehidupan keras di kota Jakarta membuat setiap penduduknya harus rela bekerja apa saja demi menghidupi dirinya. Entah, profesi hanya sekedar lalu lalang demi bertahan hidup setiap harinya atau menjadi sumber mata pencaharian andalan untuk kelangsungan kehidupan yang berkala. Dan Sari (Tara Basro) adalah salah satu yang menggantungkan hidupnya lewat profesinya menjadi pegawai salon. Hidupnya mungkin tidak bergelimang harta, tetapi Sari merasa nyaman dengan kesehariannya.

Ya, Sari sudah merasa bahagia asal dapat menonton film-film terbaru dari DVD bajakan yang dia beli di pusat grosiran. Sayangnya, kebahagiaannya yang sederhana pun diusik oleh kualitas teks terjemahan dari DVD yang ia beli. Merasa kesal, Sari mengembalikannya pada penjual yang secara tak sengaja bertemu dengan Alek (Chicco Jericho). Dia lah yang mengerjakan teks terjemahan dari DVD yang Sari beli. Pertemuannya dengan Alek pun mengubah banyak sekali cerita-cerita hidup Sari. 


Keterbatasan dari segi materil dari para karakter di dalam A Copy of My Mind ini adalah gambaran secara realistis kalangan proletar yang masih berlalu lalang di Ibu kota. Pun, dengan segala keterbatasan itu tak membuat para karakternya tak menemukan kebahagiannya. Dan dengan keterbatasan itu pula, bukan pula menjanjikan kehidupan yang tentram. Alek dan Sari akan menemukan problematikanya sendiri dan mereka akan berkembang seiring dengan bagaimana mereka menghadapi itu semua.

Sari akan terasa relevan dengan banyak sekali orang yang berusaha menggantungkan hidupnya mencari profesi impian yang tak kunjung datang. Dan berusaha memperkecil impian hanya untuk sekedar memiliki home theatre dan itu sudah lebih dari cukup. Ekspektasi setiap orang untuk mendapatkan peningkatan akan strata sosial mereka di Ibu Kota memang tak jarang yang tak sesuai. Dan A Copy Of My Mind memiliki karakter Sari sebagai representasi dari problematika itu.

Kerasnya kehidupan kota Jakarta memang membuat setiap orang menjadikan apapun sebagai profesi asal bisa memenuhi sandang, papan, dan pangan sebagai kebutuhan pokok mereka. A Copy Of My Mindpun berusaha untuk menyindir itu lewat karakter Alek yang melakukan pekerjaan yang terasa bias antara ilegal dan legal. Orang menikmati hasil dari apa yang dikerjakan oleh Alek tanpa mengetahui apa dampak yang mereka kontribusikan atas apa yang mereka konsumsi. 


Kedua masalah sosial yang direpresentasikan lewat Alek dan Sari ini dipadu padankan satu sama lain oleh Joko Anwar. Sehingga, A Copy Of My Mind membentuk sebuah keintiman problematika luar biasa yang terasa miris. Di atas problematika yang dialami oleh setiap karakter fiktif yang dibentuk oleh Joko Anwar, mereka akan mencari kebahagiaan yang sederhana yang akan terasa nyata dan menyentil sisi emosional penontonnya. A Copy Of My Mind akan terasa getir dan sekaligus indah untuk dinikmati.

Joko Anwar tak lagi merekonstruksi realita sekitarnya yang ada. Tetapi menjelaskan secara murni apa yang ada disekitarnya. A Copy Of My Mind berusaha menampilkan realita senyata mungkin kepada penontonnya untuk menghadirkan kedekatan secara emosional. Joko Anwar memang tak segamblang itu mengkritik aspek-aspek sosial yang perlu dibenahi di dalam filmnya. Jelas, bukan menjadi sebuah sajian yang mudah diakses bagi setiap orang apalagi dengan alur lambat selama 115 menit.


Akan menjadi tantangan bagi penonton yang tak terbiasa untuk memasuki bagaimana Joko Anwar bertutur lewat A Copy Of My Mind. Tetapi, akan muncul efek jangka panjang yang diinseminasi ke dalam pemikiran penontonnya bahwa A Copy Of My Mind bukan hanya sebuah film yang begitu mudah untuk dilupakan. Tempelan-tempelan sistem tanda dan lambang di dalam A Copy Of My Mind begitu kuat akan membutuhkan penonton yang aktif untuk menginterpretasi itu agar menjadi sebuah pesan yang utuh.

Terpaan adegan demi adegan di dalam film A Copy of My Mind seperti mengajak penontonnya agar tak terperangkap dalam sebuah jarum hipodermik, yang mana penonton sangat pasif menerima setiap konflik yang secara langsung ditujukan kepada mereka. Dan dengan itulah, A Copy Of My Mind secara tak langsung memberikan salinan jangka panjang kepada memori penontonnya. Bukan hanya sekedar menghantui, tetapi untuk diterapkan dan sebagai bahan renungan untuk memperluas pandangan kita tentang kesenjangan sosial yang masih terjadi begitu kental dan tak hanya di Ibu kota. 


Dengan kontruksi cerita dalam A Copy Of My Mind yang terasa begitu sederhana dibandingkan film-film Joko Anwar lainnya, tetapi efek yang dihasilkan oleh A Copy Of My Mind akan terasa signifikan. Bukan hanya sekedar sebuah pesan utuh yang langsung dijejalkan kepada penontonnya secara mentah-mentah. Tetapi, butuh keaktifan penonton untuk menata ulang pesan-pesan metaforik yang disebarkan di setiap adegan A Copy Of My Mind. Karakter-karakter representatif dan reka adegan yang realistis menjadi kekuatan utama A Copy Of My Mind. Bukan sekedar intrik, tetapi juga keintiman menarik dalam karya Joko Anwar yang sekali-kali menuruti egonya.
 

Rabu, 17 Februari 2016

ARUL'S MOVIE REVIEW BLOG'S CHOICE : 12 Film Indonesia Terbaik 2015


2015 sudah berakhir. Ya, mungkin saya terkesan sangat terlambat untuk menerbitkan pos film-film terbaik di tahun ini. Karena kesibukan yang cukup padat dan baru sempat memiliki waktu luang untuk menyortir siapa saja yang berhak mendapatkan posisi-posisi teratas dalam daftar film terbaik tahun lalu. Maka, berikut ini adalah daftar 12 Film Indonesia Terbaik di tahun 2015.
 
Sebelum menyebutkan 12 besar dari Film Indonesia terbaik, maka saya perlu menyebutkan beberapa film yang mendapatkan sorotan hanya saja harus tersingkir jika dibandingkan dengan 12 film lainnya.

GURU BANGSA : TJOKROAMINOTO (Director : Garin Nugroho)
DOEA TANDA CINTA (Director : Rick Soerafani)
NADA UNTUK ASA (Director : Charles Gozali)


12. NEGERI VAN ORANJE (Director : Endri Pelita)
Kisah cinta dan persahabatan 5 insan manusia ini memang masih belum sempurna. Tetapi, ada rasa menyenangkan dan hangat yang coba ditawarkan lewat film ini beserta panorama indah negeri Belanda. 


11. COMIC 8 : CASINO KINGS PART 1 (Director : Anggy Umbara)
Mungkin, saya memang tak terlalu suka dengan predesesornya, tetapi Casino Kings Part 1 membuat saya menyukai franchise menjanjkan ini. Penuh dengan teka-teki yang membuat penontonnya ingin mengikuti hingga akhir. And well, I cant wait for the Part 2



10. NGENEST THE MOVIE (Director : Ernest Prakasa)
Sebuah komedi romansa yang hangat, membuat tertawa, dan memilki hati. Ernest Prakasa jelas berpotensi untuk mengarahkan proyek-proyek film lainnya. Ngenest The Movie adalah sebuah debut yang menjanjikan darinya. 


9. 2014 : SIAPA DI ATAS PRESIDEN? (Director : Rahabi Mandra)
Sangat jarang adanya sebuah film dengan genre thriller-politik di dalam perfilman Indonesia. Dan Rahabi Mandra berusaha untuk membuat film ini. Meski sempat tertunda perilisannya, tetapi 2014 : Siapa Di Atas Presiden? Ini masih sangat relevan dengan keadaan politik saat ini. 

8.  BULAN DI ATAS KUBURAN (Director : Edo W. F. Sitanggang)
Sebuah remake dari film indonesia lama dengan judul sama. Bulan Di Atas Kuburan memiliki sebuah drama kontemplasi indah tentang beberapa hal. Sebuah refleksi jujur akan budaya dan mimpi seseorang. 


7. BADOET (Director : Awi Suryadi)
Sangat rindu sekali akan adanya sebuah film horor Indonesia yang berkualitas. Dan di tahun lalu, dari tangan Awi Suryadi lahirlah film horor berkualitas yang mampu meneror penontonnya. Badoet berhasil menjadi sajian film horor yang menyeramkan. 


6. SINGLE (Director : Raditya Dika)
Sebuah komedi romansa yang sangat megah dan spektakuler. Meski masih terasa tak sempurna, tetapi usaha Raditya Dika untuk menjadikan film Single ini menjadi menyenangkan sangat berhasil. Dan Raditya Dika berusaha belajar dari kesalahan-kesalahannya. 


5. HIJAB (Director : Hanung Bramantyo)
Setelah bermain di zona amannya membuat film yang komersil, kali ini Hanung Bramantyo kembali ke jalurnya yang dulu. Hijab adalah sebuah komedi tragedi yang satir dan penuh dengan sindiran-sindiran tajam yang sangat menyenangkan. 


4. KAPAN KAWIN? (Director : Ody C. Harahap)
Memiliki premis yang ringan dan sederhana, tetapi Ody C. Harahap berhasil menjadikan Kapan Kawin? sebagai sebuah film rom-com Indonesia yang memiliki penampilan sangat prima. Pun, berkat duet maut dari Adinia Wirasti dan Reza Rahadian yang juga sangat memiliki chemistry kuat.


3. NAY (Director : Djenar Maesa Ayu)
Memang akan terasa membosankan karena film Nay hanya memiliki satu setting tempat selama 80 menit filmnya. Tetapi, Djenar Maesa Ayu berhasil mengangkat isu-isu sensitif dan tabu ke dalam sebuah film monolog yang sangat indah dan kuat.


2. MENCARI HILAL (Director : Ismail Basbeth)
Sebuah drama religius yang tak terjebak menjadi sebuah sajian yang generik. Dan Ismail Basbeth tahu benar untuk membuat film Mencari Hilal menjadi sebuah film religi pencarian jati diri yang begitu hangat dan menyentuh terutama di bagian ending. Jelas, Mencari Hilal adalah sebuah film yang langka dan indah. 


1.    FILOSOFI KOPI THE MOVIE (Director : Angga Dwimas Sasongko)
Maka jatuh hati saya kepada film tentang kopi arahan dari Angga Dwimas Sasongko yang diadaptasi dari cerita pendek miliki Dewi Lestari. Filosofi Kopi The Movie tak hanya menjadi sebuah film tentang kopi tetapi juga tentang sebuah kehidupan dan idealisme seseorang. Banyak sekali aspek-aspek yang menjadi kekuatan film ini mulai dari pengarahan, naskah, dan juga jajaran aktor dan aktris utamanya di dalam film ini.

Maka, selesai sudah tugas saya untuk memberikan daftar 12 Film Indonesia Terbaik menurut Arul’s Movie Review Blog. Mungkin ada yang setuju dan tidak dengan list yang saya berikan. Jika ada yang berbeda, mari bagikan film indonesia menurut kalian dalam kolom komentar di bawah.

Sabtu, 13 Februari 2016

AACH... AKU JATUH CINTA (2016) REVIEW : Kekacauan Indah Sebuah Puisi Visual


Februari telah datang.  Muda dan mudi akan menyelenggarakan sebuah selebrasi cinta besar-besaran di dua minggu pertama. Tentu, euforia akan selebrasi cinta megah di penjuru dunia ini akan dirasakan oleh sejuta umat. Bukan hanya pasangan yang sedang dimabuk cinta, pun juga dirasakan oleh sineas-sineas untuk ikut serta meramaikan hari kasih sayang ini. Dan dengan cara memberikan tontonan romansa cinta itulah, para sineas berkontribusi menyemarakkan hari kasih sayang ini.

Salah satunya yang ikut serta dalam gegap gempita selebrasi kasih sayang ini adalah Garin Nugroho. Ya, meskipun pada awalnya film ini tak dikhususkan untuk meramaikan hari kasih sayang dan rilis akhir tahun lalu. Dan menayangkannya ke dalam bulan yang penuh kasih sayang pun akan dianggap pemilihan yang tepat. Garin mempersembahkan sebuah kisah kasih Romi dan Yuli lintas zaman lewat film Aach... Aku Jatuh Cinta.

Garin Nugroho terkenal dengan keunikannya dalam bertutur tanpa melupakan estetika yang membuat mata juga ikut terhibur. Meskipun, tak bisa banyak orang yang ikut turut serta merasakan gegap gempita Romi dan Yuli berpesta merayakan cinta. Tak peduli dengan itu, Garin Nugroho masih berusaha keras agar Aach... Aku Jatuh Cintabisa diterima. Dan jadilah, Aach... Aku Jatuh Cinta sebagai sebuah puisi cinta paling tak terurus tetapi terindah yang pernah ada. 


Rumi (Chicco Jericho) dan Yulia (Pevita Pearce) hidup bertetangga sejak kecil. Mereka memiliki cerita pribadi masing-masing dengan keluarganya. Kehidupan Rumi sebenarnya baik-baik saja sampai usaha keluarganya harus terancam karena produk-produk impor yang masuk dan membuat ayahnya pailit. Hal ini menyebabkan sang ayah berlaku semena-mena dengan Rumi dan Ibunya. Dan dengan alasan ini pula, sang Ibu memutuskan untuk pergi meninggalkan Rumi dan Ayahnya.

Rumi dan Yuli adalah sahabat sejak kecil, dan ketika beranjak dewasa hubungan tersebut terasa lebih dekat. Rumi secara intensif mendekati Yuli karena menurutnya dia telah jatuh hati para Yuli. Meskipun, Yuli telah berusaha keras untuk menjauhi Rumi agar terhindar dari masalah-masalah hidupnya. Dan ketika Rumi pindah karena rumahnya di sita oleh perusahaan ayahnya, Yuli pun merindukan canda tawa Rumi. Dia merasa ada sesuatu yang berbeda ketika Rumi pergi. 


Romi dan Yuli, terkesan sangat mirip dengan Romeo dan Juliet, sebuah roman klasik karangan William Shakespeare. Jelas, ini bukanlah sebuah ketidaksengajaan adanya kemiripan dengan karakter milik William Shakespeare ini.  Ya, Aach... Aku Jatuh Cinta menggunakan sebuah anagram dari nama karakter sebuah kisah cinta sepanjang zaman yang juga berkaitan dengan karakter-karakter yang dibuat oleh Garin Nugroho.

Kisah cinta Romeo dan Juliet yang legendaris yang tak pernah lekang dimakan zaman, kembali digunakan sebagai pondasi cerita Aach... Aku Jatuh Cinta. Kisah cinta konstruksi Garin Nugroho ini melewati 3 generasi dengan ikonnya masing-masing. Kultur di setiap era yang mulai berubah juga semakin lama mempengaruhi bagaimana karakter-karakter di film Aach... Aku Jatuh Cintaberkembang di setiap menitnya. Dan hasilnya, penonton disuguhkan bagaimana Romi dan Yulia tak hanya sekedar bertahan akan konflik yang menimpanya, tetapi juga perubahan karakternya yang semakin matang.

Oh, tentu saja Garin Nugroho tak henti-hentinya bermain dengan simbol-simbol yang sudah menjadi ciri khasnya dalam bertutur. Pun dengan Aach... Aku Jatuh Cinta, film ini digunakan sebagai tanda bahwa bahasa akan berubah di setiap generasinya. Bahasa memiliki sifat dinamis yang akan selalu berubah sesuai dengan apa yang disepakati pada era itu. Hal itu akan sangat terasa lewat dialog-dialog yang dilantunkan oleh Romi dan Yulia di sepanjang film. 


Sifat baku yang ditempelkan kepada bahasa yang digunakan setiap harinya semakin lama akan semakin menghilang. Dan sesuai dengan judul filmnya, Aach... Aku Jatuh Cinta, film ini adalah sebuah perpaduan bahasa-bahasa dari setiap era yang akan terasa sangat kacau. Hanya saja, kekacauan itu berubah menjadi sebuah balada asam manis cinta yang indah dan terasa sangat nyata. Bukan terasa mengada-ada, layaknya kisah cinta Romi dan Yulia yang tak menemukan akhirnya.

Ya, puisi visual milik Garin Nugroho lewat kisah Romi dan Yuli ini adalah sebagai penanda bagaimana sebuah kultur dalam negeri yang selalu bertahan. Meski perlahan, para “ahli waris” kultur ini semakin dikikis oleh pemikiran-pemikiran barat yang dijadikannya sebagai kiblat baru. Apa lagi yang bisa dilakukan oleh kultur-kultur domestik ini selain bertahan dengan sisa-sisa relawan yang setia? Dan Garin Nugroho berusaha untuk mengingatkan itu lewat Aach... Aku Jatuh Cinta.

Meskipun carut marut, tetapi Aach... Aku Jatuh Cinta bukanlah film dengan teknis yang sembarangan. Garin Nugroho tetap memperhatikan detil-detil menarik lewat sandang-sandang cantik yang digunakan oleh para pelakonnya. Sehingga, akan terasa benar bagaimana Aach... Aku Jatuh Cinta menjadi sebuah maha karya cinta sebagai selebrasi kasih sayang dan bahasa. Pun, dengan lantunan musik moderen dikemas klasik yang membuat penonton mudah jatuh hati. 


Mungkin, ini adalah salah satu karya dari sutradara Garin Nugroho untuk merayakan kekuatan cinta dan budaya yang bertahan dalam era yang semakin berubah. Aach... Aku Jatuh Cintabukanlah sekedar romansa kisah kasih Romi dan Yuli dengan plot tak mendalam. Garin Nugroho akan berusaha menempelkan pesan-pesan simbolik lewat beberapa dialognya dan perubahan-perubahan halus para karakternya yang semakin terasa matang. Maka jadilah. Aach... Aku Jatuh Cinta sebagai sebuah kekacauan puisi visual yang indah dan menyenangkan.     

Senin, 08 Februari 2016

SITI (2015) REVIEW : Sebuah Paradoks Isu Strata Sosial


Ada beberapa film yang sedang berusaha untuk memberikan pengakuan terhadap kaum wanita yang masih juga dicap sebagai kaum marjinal –kaum yang tersingkirkan. Dengan isu-isu seperti ini, film akan dikemas se-unik mungkin agar bisa menarik perhatian–secara konten dan visual –dari pemerhati film di beberapa festival. Meskipun, pendekatan yang dilakukan oleh pembuat film jenis seperti ini masih menggunakan pendekatan arthouseyang serupa.
 
Dan salah satu film yang juga membahas isu-isu seperti ini adalah film pemenang Festival Film Indonesia 2015, Siti. Film independen garapan Eddie Cahyono ini pada awalnya hanya didistribusikan lewat pemutaran-pemutaran mandiri yang dilakukan oleh komunitas-komunitas penggiat film independen. Meski begitu, Siti akhirnya diakui oleh beberapa petinggi festival dan akhirnya melebarkan sayapnya ke layar lebar.

Siti jelas berbeda dengan kebanyakan film-film –yang dibilang –komersil saat tayang di bioskop. Eddie Cahyono membuat Siti dengan kemasan bertutur yang unik dengan aspect ratio seukuran layar televisi tabung. Juga, membuat warna film miliknya menjadi film hitam putih. Ya, inilah yang membuat Siti berbeda dan berani dalam menyampaikan 85 menitnya. Tetapi, Siti mengalami krisis dalam menyampaikan sebuah idealisme-nya yang seharusnya membela kaum wanita.


Seorang wanita bernama Siti (Sekar Sari) rela benar untuk bekerja siang malam untuk menghidupi anak dan keluarganya. Kehidupan Siti tak bisa jauh-jauh dari bekerja keras agar dapat mendapatkan uang untuk melunasi hutang piutang suaminya yang semakin lama semakin tak berdaya. Dia harus mendapatkan uang 10 juta untuk melunasi hutang suaminya untuk membeli kapal. Na’asnya, sang suami mengalami musibah dengan kapal yang masih hutang tersebut.

Di pagi hari, Siti menjual keripik di pantai untuk mengumpulkan rupiah demi rupiah tersebut. Tetapi, Siti pun mengalami transisi luar biasa ketika matahari sudah mulai tenggelam. Pada malam hari, Siti bekerja sebagai wanita pendamping di sebuah karaoke di sekitar daerahnya tinggal. Dan di sana lah, Siti mendapatkan uang lebih banyak ketimbang berjualan keripik. Dan dia bertemu dengan seorang pria bernama Gatot (Haydar Saliz) yang memiliki ketertarikan dengan Siti.


Siti menampilkan sebuah fenomena sosial tentang kaum wanita dengan kemasan yang berani berbeda dengan film-film komersil yang ada lainnya. Pengemasan warna film yang diputuskan menjadi hitam putih dan dengan aspect ratio 4:3 menjadikan Siti akan terasa unik untuk diikuti di sepanjang 86 menit filmnya. Plot cerita Siti pun sederhana, tanpa ada beberapa konflik yang terlalu kompleks tetapi Siti ingin menyampaikan secara jujur sebuah fenomena menarik tentang strata sosial dan gender.

Eddie Cahyono ingin menjadikan filmnya sebagai sebuah cerminan jujur akan realita yang ada di sekitar mereka. Bagaimana seorang wanita berusaha keras untuk mendapatkan pengakuan yang sederajat dengan para lelaki. Bagaimana kaum pinggiran berusaha keras untuk mencari penghasilan demi menghidupi dirinya dan keluarganya. Iya, Eddie Cahyono memang sudah benar dan berhasil merefleksikan itu ke dalam karakter dan cerita representatif lewat Siti.

Kehidupan Siti memang berbanding terbalik pada saat fajar menyingsing dengan ketika matahari telah tenggelam. Begitu pula dengan isu yang berusaha diangkat oleh Siti di dalam film ini. Eddie Cahyono memang sedang berusaha keras mengadakan sebuah kontemplasi strata dan klasifikasi gender di kehidupan sekitar. Tetapi yang terjadi adalah Siti malah jatuh menjadi sebuah sajian yang generik dan berbanding terbalik dengan tujuan Eddie Cahyono. 


Paradigma-paradigma tentang persamaan derajat dalam gender yang menjadi isu utama itu ternyata malah terlihat samar. Film Siti jatuh menjadi sebuah studi karakter bahwa patriarki itu masih ada dan menjajah wanita seperti Siti. Padahal, Eddie Cahyono sudah menempelkan atribut-atribut pemberontakan wanita –meski klise –kepada karakter Siti. Dan sayangnya, film Siti tak memaksimalkan tujuan utama pembuatannya untuk mengemas film ini menjadi lebih kuat dalam mengangkat isu tersebut.

Jika warna hitam putih dan aspect ratio 4:3 yang digunakan oleh film ini yang juga berperan sebagai alat penutur cerita, lantas tak ada signifikansi yang cukup besar. Poin-poin teknis yang digunakan oleh film ini akan terkesan sebagai estetika semu yang tak selaras dengan jalinan cerita yang ada di dalam film ini. Begitu pun dengan ukuran layar 4:3 di film ini, jika iya Eddie Cahyono menggunakannya sebagai alat bertutur, jelas dia akan memanfaatkan ruang itu. 


Sayangnya, sinematografi dalam film Siti tak benar-benar memaksimalkan kesempitan ruang bergerak karakter-karakter di dalamnya. Mungkin, Eddie akan berusaha untuk merepresentasikan bagaimana Siti sangat sulit untuk bergerak ketika harus menjalani kodratnya sebagai seorang wanita yang sudah berkeluarga. Tetapi, gambaran akan keterbatasan itu tak sepenuhnya muncul karena aspek teknis yang sudah tak dimaksimalkan lagi.

Ya, menjadi sebuah presentasi yang berbeda memang bukanlah menjadi masalah bagi Siti. Eddie Cahyono masih berhasil memberikan alternatif tontonan yang unik dan sekaligus menarik untuk diteliti lebih dalam lagi. Sayangnya, di tengah temanya yang ingin mengangkat derajat kaum wanita sebagai kaum marjinal, Siti malah menjadi sebuah pesta patriarki dengan euforia yang besar di segala konfliknya. Juga, bagaimana dukungan segi teknis dengan tujuan memberikan estetika itu malah jatuh memberikan sebuah kehampaan di dalam filmnya. Maka sayang, Siti masih kurang matang.  

Minggu, 07 Februari 2016

SURAT DARI PRAHA (2016) REVIEW : Surat Cinta Kepada Ibu Pertiwi

 
Di tiap tahun, sutradara Angga Sasongko seperti gusar karena tak menelurkan karya terbaru untuk dinikmati oleh penontonnya. Setelah kesuksesan cukup besar yang diraih olehnya lewat adaptasi buku milik Dewi Lestari, Filosofi Kopi, di awal tahun baru ini Angga Sasongko menelurkan sebuah karya terbaru. Di sela kesibukan promosi film Filosofi Kopi, Angga Sasongko sudah sibuk riset film terbarunya bersetting di salah satu kota di Eropa.

Angga Sasongko terinspirasi dengan cerita para Eksil dari negara Indonesia karena dianggap dan tertuduh sebagai pembelot. Atas dasar cerita ini dan terinspirasi oleh sebuah film pendek, Angga Sasongko memutuskan untuk mengangkatnya ke dalam sebuah film berjudul Surat Dari Praha. Dibintangi oleh jajaran aktor aktris kelas utama Indonesia, Angga Sasongko terlihat yakin untuk menjanjikan kualitas wahid bagi Surat Dari Praha.

Isu politik dan sejarah yang terkesan pretensius dalam konsep cerita dasar dari Surat Dari Praha bisa menjadi senjata mematikan bagi Angga Sasongko. Tetapi, sepertinya sutradara satu ini tetap tak gentar untuk menceritakan satu bagian penting yang terlupakan dalam sejarah politik negara Indonesia. Dan untuk semakin menumpulkan kesensitifan itu, Angga mengemas Surat Dari Praha menjadi sebuah presentasi yang dapat diakses oleh segala kalangan dengan balutan nada-nada indah dari karya milik Glenn Fredly. 


Bermula dari bagaimana Larasati (Julie Estelle) ingin meminjam sertifikat rumah milik ibunya, Sulastri (Widyawati) untuk membiayai urusan perceraiannya dengan suaminya. Ketika Laras meminta hal tersebut dan sempat adu mulut, sayangnya usia Sulastri tak bertahan lama. Pada saat menutup usia, Sulastri telah meninggalkan surat wasiat yang menyatakan bahwa rumah beserta isinya sudah menjadi milik Larasati sebagai anaknya.

Sayangnya, memiliki rumah tersebut tak semudah yang ia bayangkan. Larasati harus pergi mengantarkan surat milik Sulastri kepada seorang kerabatnya yang ada di kota Praha. Larasati pun pergi melaksanakan petuah terakhir dari mendiang ibunya. Ketika sampai di kota Praha, Larasati bertemu dengan Jaya (Tio Pakusadewo), seseorang yang ada di masa lalu ibunya yang juga berkaitan dengan surat tersebut. Larasati membutuhkan tanda tangan Jaya agar surat wasiat yang ditinggalkan oleh Sulastri resmi menjadi miliknya.


Memiliki konten yang sangat riskan karena kesensitifan isu dan juga berat bisa membuat Surat Dari Praha bisa saja terserang oleh senjatanya sendiri. Konten pretensius ini sayangnya berada di tangan yang tepat, sehingga Surat Dari Praha bisa menuntaskan segala misinya untuk menyentil penontonnya bahwa ada satu bagian sejarah politik yang terlupa. Kekejaman rezim orde baru menyebabkan beberapa orang kehilangan kewarganegaraan dan hal tersebut tak semua orang bisa tahu.

Dan inilah saat bagi Angga Sasongko untuk menjelaskan apa dan siapa itu Eksil kepada para penontonnya. Dan jeniusnya, Angga Sasongko ingin menumpulkan kesenstifan isu dan meringankan kontennya yang pretensius dengan menjadikannya sebuah lantunan nada cinta yang indah lewat Surat Dari Praha. Angga Sasongko menampik mitos  bahwa konten yang tergabung dari beberapa isu berat dan kesan pretensius tak bisa menjadi sebuah film yang ringan dan bahkan membekas. Nyatanya, Surat Dari Prahamemiliki dua poin tersebut.

Surat Dari Praha akan penuh dengan dialog-dialog dinamis yang bisa menguatkan segala reka adegan di dalam filmnya. Naskah yang ditulis oleh M. Irfan Rafli ini pun tak melulu menegaskan terus tentang keberadaan Eksil dengan polemik politik yang berat. Sesekali mungkin dibahas, tetapi Angga Sasongko berhasil menerjemahkan hal tersebut secara ringan tetapi akan berdampak sangat besar bagi penontonnya. Keefektifan dalam bertutur tentang sejarah politik yang terlupakan inilah yang digunakan oleh Angga Sasongko sebagai pendekatan pengarahan Surat Dari Praha


Kekuatan utama dari Surat Dari Praha pun juga terasa lewat duet Julie Estelle dan Tio Pakusadewo. Sebagai dua wajah dengan screening timemendominasi, mereka berhasil tak membuat Surat Dari Praha terlihat monoton. Mereka benar-benar mendapatkan setiap emosi yang saling memiliki keterikatan satu sama lain. Meski minim sekali konflik, tetapi mereka berhasil menjalankan tugas mereka untuk mengantarkan setiap detil cerita dengan sangat baik. Iya, film ini akan terasa sederhana tetapi memiliki kemasan yang mewah.  

Beberapa adegan di dalam film ini akan dengan mudah membuat getir penontonnya. Ya, hal itu karena kepiawaian dari Julie Estelle dan Tio Pakusadewo dengan performanya yang gemilang. Pun, hal tersebut tak bisa dihilangkan dari peran Angga Sasongko yang memiliki detil arahan yang kuat. Rangkaian adegan di setiap menit Surat Dari Praha berhasil mengukuhkan setiap emosinya layaknya sebuah nada-nada indah sebuah ‘Sabda Rindu’ milik Jaya. 


‘Sabda Rindu’ adalah sebuah artefak nada milik karakter Jaya yang telah usang. Dan kembali teringat ketika Larasati berusaha menyelesaikan petuah dari Sulastri, yang mana adalah masa lalu dari Jaya. Begitu pula dengan tujuan Angga Sasongko dalam proses pembuatan film Surat Dari Praha. Artefak realita kelam masa lalu rezim orde baru yang mengakibatkan para warga negaranya kehilangan identitas berusaha kembali diungkap. Bukan untuk kepentingan pribadi atau kalangan tertentu, tetapi hanya untuk mengenalkan lagi rekam jejak sejarah politik Indonesia yang pernah gelap.  

Bukan dengan cara yang sulit dan berbelit-belit, tetapi Angga mencoba mengemasnya lewat sebuah kisah cinta klasik yang manis sekaligus getir. Pun, tak terjebak dengan sebuah film yang hanya memanjakan mata lewat panorama cantik kota Praha. Ya, mungkin ada beberapa transisi di setiap adegannya yang masih mengekspos itu tetapi Angga Sasongko memilih untuk menitikberatkan konten ceritanya yang menjadi poin utama. Bukan Praha, tetapi Sejarah Politiknya. 


Dan maka jadilah, sebuah surat cinta kepada ibu pertiwi yang masih menutupi misteri sejarah politiknya. Dampak-dampak yang secara tak langsung menyerang warga negaranya karena kekejaman rezim orde baru. Surat Dari Praha adalah catatan dan resahan-resahan kecil dari para Eksil yang butuh pengakuan. Dan Angga Sasongko merangkum resahannya dalam sebuah surat cinta yang indah dengan iringan emosi yang kuat dan lantunan nada-nada indah. Dan kesan pretensius itu berhasil dibuang oleh Angga Sasongko dan menyajikan Surat Dari Praha begitu mudah diakses setiap kalangan. Pencapaian tertinggi oleh Angga Sasongko dan salah satu yang terbaik tahun ini. 


ANANTA (2018) REVIEW : Kisah Manis Yang Tak Biasa

  Setelah terus-terusan menjadi ratu drama dari Screenplay Films, Michelle Ziudith akhirnya memiliki kesempatan untuk mengeksplor dirinya di...