Senin, 28 Maret 2016

BATMAN V SUPERMAN : DAWN OF JUSTICE (2016) REVIEW : The Wasted 151 Minutes


Benang merah yang porak poranda di setiap film-film adaptasi DC Comics menjadi sebuah keputusan bagi Warner Bros untuk membuat ulang setiap filmnya. Sehingga, Warner Bros akan memiliki satu franchise superheroes besar yang akan disajikan kepada penontonnya di setiap tahun. Banyak sekali film-film DC yang tak memiliki respon yang baik. Dan Warner Bros memulai line up baru dari karakter-karakter manusia super DC Comicsdari tahun 2013.
 
Man of Steel adalah line-uppertama dari DC Extended Universeyang digarap oleh Zack Snyder. Film ini mendapatkan respon positif dan negatif yang sama-sama seimbang. Meski begitu, raihan Box Office yang cukup besar membuat DC Extended Universe pun dengan segera mendapatkan lampu hijau. Maka, hadirlah sebuah film pengenalan selanjutnya yaitu Batman V Superman : Dawn of Justice. Alih-alih mengenalkan Batman secara mandiri, Zack Snyder menggarap Batman V Superman : Dawn of Justice yang sebenarnya memiliki resiko.

Setelah Man of Steel yang membuat penontonnya menjadi dua kubu, Zack Snyder pun lagi-lagi berulah lewat Batman V Superman : Dawn of Justice. Dengan adanya dua manusia super yang berada di dalam filmnya, jelas film ini membutuhkan banyak sekali penjelasan agar karakternya bisa memiliki relasi dengan penontonnya. Dan Zack Snyder penuh dengan ambisi dan keangkuhan di dalam Batman V Superman : Dawn of Justice yang sebenarnya menyerang dirinya sendiri. 


Batman V Superman : Dawn of Justice menceritakan bagaimana awal mula Bruce Wayne (Ben Affleck) mengenal sosok Kal-El (Henry Cavill) yang sedang berusaha menyelamatkan seisi kota. Tetapi, i’tikad baik dari Kal-El tak dipersepsi lain oleh Bruce Wayne yang menganggap bahwa Kal-El sedang berusaha memporakporandakan seisi kota Metropolis. Dan salah satu korbannya adalah bangunan milik Bruce Wayne yang hancur saat pertarungan itu.

18 Bulan kemudian, Kal-El yang sudah dipuja-puja oleh warga Metropolis ternyata dijebak oleh seseorang. Kal-El atau biasa dikenal oleh orang-orang sebagai Superman harus ditindak secara hukum. Hal itu karena salah seorang karyawan dari perusahaan milik Bruce Wayne yang menggugat Superman sebagai pelaku tindak kejahatan. Semua yang gugatan yang dilayangkan kepada Superman adalah ulah adu domba yang dilakukan oleh Lex Luthor (Jesse Eisenberg). 


Intrik politik yang dimiliki oleh Batman V Superman : Dawn of Justice ini tak dapat dipungkiri memang sangat menarik untuk diikuti. Dasar cerita dari Batman V Superman : Dawn of Justice ini sendiri memiliki konten yang kuat dan lebih menarik jika dibandingkan oleh Man of Steel, yang juga diarahkan oleh Zack Snyder. Batman V Superman : Dawn of Justice memiliki potensi menjadi sebuah film manusia super yang kuat dan segar bila diarahkan dengan sangat baik. Apalagi, Batman V Superman : Dawn of Justice adalah startup baru menuju DC Extended Universe.

Dengan durasi 151 Menit, Batman V Superman : Dawn of Justice harusnya memiliki banyak ruang untuk menggerakkan setiap cerita dengan baik. Sayangnya, ekspektasi agar Batman V Superman : Dawn of Justicetampil lebih prima dibandingkan dengan Man of Steel –terlebih dengan dasar cerita yang lebih kompleks –harus dikesampingkan. Naskah yang ditulis oleh Chris Terrio tak bisa tampil kuat dalam memvisualisasikan kompleksitas dasar cerita dalam komiknya. Sehingga, Plot cerita dalam Batman V Superman : Dawn of Justice tak dapat bergerak dengan dinamis.

Keperluan penonton adalah untuk mendapatkan penuturan cerita yang lebih lengkap agar dapat bersimpati dengan setiap karakternya. Sayangnya, Chris Terrio tak dapat menuliskan setiap detil cerita yang akhirnya filmnya pun terkesan memiliki babak di setiap bangunan ceritanya. Bukan hanya itu, motif setiap karakter pun semakin buram. Belum memiliki cara bertutur yang baik, naskah Batman V Superman : Dawn of Justice terlalu sibuk bermain-main dengan pesan simbolik yang diselipkan ke dalam naskahnya. 


Dengan pesan simbolik yang disampaikan, hal itu bisa jadi diharapkan dapat membantu bagaimana Batman V Superman : Dawn of Justice untuk bercerita tentang dunianya yang semakin kompleks. Nyatanya, hal tersebut tidak membantu apapun dalam penceritaan filmnya. Penonton membutuhkan penjelasan yang lebih konkrit tentang alasan Bruce Wayne dan Kal-El hingga saling bermusuhan. Sayangnya, hal tersebut tak terlihat dengan detil dan jelas.

Zack Snyder memasarkan filmnya untuk para pembaca komik dan kesalahannya adalah menganggap setiap penontonnya tahu setiap motif karakternya. Penonton yang bukan pembaca komik akan berusaha meraba sendiri alasan-alasan tersebut. Terlihat bagaimana setiap karakternya --baik protagonis maupun antagonis --tak memiliki urgensi untuk tampil dan ikut andil dalam setiap konflik di filmnya.  Hanya bermodal nama karakter manusia super yang sudah terpampang dalam posternya, bukan berarti penonton tak perlu tahu siapa mereka secara lebih jelas.

Lemahnya naskah dari Batman V Superman : Dawn of Justice pun tak berusaha ditutupi oleh Zack Snyder dalam sisi pengarahannya. Alih-alih menutupi, Zack Snyder terlihat terlalu asyik mengeluarkan easter egg yang ditujukan kepada fanboy komik DC untuk pemanasan menuju Justice League. Dengan adanya easter egg yang bermunculan tersebut, jelas terlihat bagaimana pretensiusnya Warner Bros dan DC untuk segera menampilkan seluruh pahlawannya tanpa perlu penjelasan lebih di setiap karakternya. Sehingga, 2 jam pertama milik Batman V Superman : Dawn of Justice adalah sebuah kekacauan besar milik Zack Snyder dalam bertutur. 


Dan beruntungnya, 20 menit terakhir film Batman V Superman : Dawn of Justice menyisakan pertarungan trio kawakan manusia super milik DC. Pertarungan final yang disajikan kepada penontonnya mungkin akan sedikit membangkitkan penonton non fans-nya yang butuh dihibur. Dengan visual efek yang masih digarap serius, jelas 20 menit terakhir adalah pembayaran penuh akan admisi tiket yang mereka bayar. Meskipun, sekali lagi dua manusia super yang menjadi andalan harus kalah saing dengan munculnya Wonder Woman.

Yang perlu dipertanyakan adalah ketika Zack Snyder tak memaksimalkan kamera IMAX yang ia punya untuk menyajikan 20 menit final battle dalam Batman V Superman : Dawn of Justice. Alih-alih terlihat menarik, Zack Snyder menggunakannya untuk terlihat lebih artistik dan puitis. Meski yang disajikannya hanyalah sebuah estetika artistik yang terlihat palsu dan dibuat-buat. 


Sebagai film dengan memasang nama manusia super paling mahsyur, Batman V Superman : Dawn of Justice tak memiliki presentasi yang memuaskan. Bagi para penggemar, jelas Batman V Superman : Dawn of Justice adalah sebuah movie event besar tahun ini. Tapi bagi para non-fan, Batman V Superman : Dawn of Justice adalah sebuah visualisasi yang sia-sia dan berantakan dengan dasar cerita yang sangat menarik. Hasilnya, tak ada rasa simpati yang dihasilkan oleh Snyder agar dapat terkoneksi dengan setiap karakternya apalagi dengan twist ending yang terasa sangat hambar. Batman V Superman : Dawn of Justice membuang potensinya dengan komposisi yang tak tertata. Sayang.

 

Film Batman V Superman : Dawn of Justice pun dirilis dalam format IMAX 3D, berikut hasil rekapan format IMAX 3D

DEPTH
Efek ini hanya tampil ketika filmnya direkam dengan kamera IMAX. Dan hal itu hanya tampil beberapa kali di dalam filmnya.

POP OUT
Pun dengan efek Pop Out, mungkin ada beberapa butiran salju dan asap yang muncul. Hanya saja, hal itu ada ketika adegannya sedang direkam dengan kamera IMAX.
Jika tak memiliki format IMAX di kota anda, lebih disarankan menontonnya dalam format dua dimensi saja agar tak pusing. Tetapi, jika memiliki teater IMAX perlu menyaksikannya dengan format ini untuk menambah pengalaman menonton yang maksimal. Meskipun, Batman V Superman : Dawn of Justice tetap memiliki presentasi yang lemah.

Minggu, 27 Maret 2016

COMIC 8 : CASINO KINGS PART 2 (2016) REVIEW : Next Chapter With The King


Comic 8 bisa menjadi sebuah set up franchise besar milik perfilman Indonesia. Di setiap filmnya pun tak pernah yang tak bisa menggaet penonton hingga angka satu juta penonton. Casino Kings yang telah dirilis pada saat lebaran tahun lalu dibagi menjadi dua bagian yang digadang memiliki kerumitan plot yang tak bisa dijelaskan secara utuh ke dalam satu film. Anggy Umbara memutuskan untuk membagi filmnya menjadi dua bagian yang dirilis di bulan Maret tahun ini.

Membaginya ke dalam sebuah dua bagian film, jelas penonton akan menunggu bagian penutup dengan ekspektasi yang sudah dijunjung tinggi. Bagian kedua jelas menyisakan jawaban atas teka teki yang telah disebar oleh Anggy Umbara di bagian pertama. Tetapi jika Anggy Umbara tak hati-hati dalam menjelaskan bangunan dunia misterinya yang cukup besar, jelas hal itu akan menjadi bumerang bagi karyanya sendiri.

Bangunan dunia misteri yang telah dibuat oleh Anggy Umbara di bagian sebelumnya memang terlihat sangat besar dan mengagumkan. Cukup disayangkan, Comic 8 : Casino Kings Part 2 tak memiliki alasan yang cukup kuat sehingga perlahan bangunan dunia misteri di bagian pertama luruh. Comic 8 : Casino Kings Part 2 seakan mempermudah setiap alasan agar Casino Kings memiliki babak penyelesaiannya dan tak ingin bertele-tele. 


Setelah bertemu dengan Ratu King (Sophia Latjuba), Agen rahasia Comic 8 pun dicuci otak hingga akhirnya mereka tak sadarkan diri dan berada di tengah arena pertarungan di sebuah pulau. Pertarungan tersebut adalah sebuah permainan judi online yang dipermainkan oleh King. Di sana mereka harus melawan banyak komplotan pasukan yang tersebar bernama The Hunters. Para komika harus berusaha bertahan hidup dari sana.

Sementara itu, Chintya (Prisia Nasution) sedang berusaha mengulik kasus perampokan Bank INI kepada Indro sebagai saksi mata. Ternyata, mereka pun di serang oleh pasukan King bernama Isa (Donny Alamsyah) dan Bella (Hannah Al-Rashid). Dan mereka pun dibawa ke sebuah arena pertarungan yang juga sedang berlangsung sebuah perjudian online maha besar oleh Ratu King. Comic 8, Indro, dan Chintya harus berusaha keras bertahan di arena pertarungan itu dan memecahkan teka teki milik King. 


Comic 8 : Casino Kings sebenarnya memiliki plot yang rumit dan Anggy Umbara berusaha mengemasnya dengan sebuah blockbuster movie yang menyenangkan. Sayangnya, hanya di bagian beberapa menit awal, semua bangunan dunia dengan segala kerumitannya pun hancur karena sebuah alasan yang kurang menjanjikan bagi karakter villain di dalam film ini. Mungkin Anggy Umbara ingin menyelipkan unsur komedi yang sebenarnya menjadi poin utama dari film arahannya ini.

Sayangnya, Plot cerita Comic 8 : Casino Kings memang kelewat serius. Memutuskan untuk memberi  cerita pendukung karakternya dengan unsur komedik sepertinya bukan keputusan yang tepat bagi film ini. Secara tak langsung, hal tersebut malah menurukan excitementpenontonnya dengan sosok yang penjahat yang kuat yang sudah tak sengaja Anggy Umbara bangun di bagian pertamanya. Sehingga, penonton pun akan merasa pasrah dan mengikuti apa saja yang ia tonton di sisa-sisa 95 menit film ini.

Bagian kedua dari Comic 8 : Casino Kings ini memang berusaha keras untuk fokus ke dalam penyelesaian konfliknya sehingga unsur komedinya pun seperti tak digubris lagi. Mungkin, kadarnya tak akan sebanyak film-film sebelumnya, tetapi Casino Kings Part 2 masih berusaha membuat tawa penontonnya dan itu cukup berhasil. Tetapi, Anggy Umbara menawarkan hal lain bagi penontonnya lewat Casino Kings Part 2. I’tikad Anggy Umbara adalah berusaha membuat sebuah film indonesia dengan skala yang benar-benar besar secara kasat mata. 


Anggy Umbara akan fokus terhadap sekuens-sekuens aksi yang ia garap dalam Comic 8 : Casino Kings Part 2. Hasilnya, memang Casino Kings Part 2memanjakan penontonnya lewat itu meskipun efek slow motion yang ada di film ini masih ada tetapi tak sebanyak di bagian pertama. Anggy Umbara berusaha keras menutupi kekurangannya dalam bertutur lewat kepiawaiannya mengemas setiap adegan laga dan aksi di dalam filmnya.

Penonton akan lupa bagaimana cerita di dalam film ini hanya sebagai sampingan dan bukan perhatian utama di film ini. Penyakit Casino Kings Part 2 tetap sama dengan bagian pertama dari filmnya. Cerita di dalam film ini tak bisa berjalan jauh dengan irama yang tepat dan terlihat bagaimana bingungnya Anggy Umbara untuk mengakhiri film ini. Tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa Casino Kings Part 2 masih memiliki beberapa adegan yang menyenangkan untuk diikuti. 


Menjadi salah satu set up franchise box office yang besar di Indonesia, Comic 8 : Casino Kings Part 2jelas akan dengan mudah menggaet lebih dari satu juta penonton. Meskipun, Comic 8 : Casino Kings Part 2 masih memiliki kekurangan yang tak diperbaiki dari bagian sebelumnya. Sehingga, memutuskan Casino Kings menjadi dua bagian yang berbeda mungkin akan terkesan mubazir. Tetapi Anggy Umbara masih berusaha untuk menghibur penontonnya bukan dari aspek cerita, melainkan sekuens-sekuens aksi yang berusaha terlihat besar di dalam film ini. 

Senin, 14 Maret 2016

ZOOTOPIA (2016) REVIEW : Animation Fable Full Of Social Issue


Banyak sekali cara yang dilakukan oleh perfilman hollywood untuk berusaha menyindir isu sosial dan politik tetapi dengan pemilihan medium yang berbeda. Medium itu adalah lewat genrefilm yang dipilih oleh sang sutradara untuk menumpulkan sensitifitas dari isu tersebut. Dan salah satu rumah produksi film animasi terbesar di Hollywood, Walt Disney Studios pun berusaha untuk menyindir beberapa isu sosial lewat film-film animasinya. Tetapi, tak melupakan segmentasi dari sebuah film animasi agar memiliki kemasan yang menarik dan menyenangkan.
 
Dan tahun ini, Disney Studiosdatang dengan sebuah fabel animasi tiga dimensi berjudul Zootopia. Pemilihan terminologi Zootopiaini pun menjadi sebuah satu istilah yang menarik untuk diteliti. Zootopia seperti sebuah gambaran keadaan dunia yang sedang mengalami distopia atau paska kehancuran di mana para binatang berevolusi sehingga mengalami pergeseran fungsional menjadi sosok manusia dengan segala kodratnya.  

Proyek yang diarahkan oleh Byron Howard dan Rich Moore ini tak hanya memiliki terminologi judul yang menarik, tetapi juga memiliki konflik cerita yang mengangkat isu kaum minoritas dan problematika ras. Pintarnya, Byron Howard dan Rich Moore tahu untuk mengemas filmnya menjadi sebuah film animasi universal dan dapat dinikmati oleh segala usia. Sehingga, Zootopia adalah sebuah film fabel animasi tiga dimensi satir yang tak hanya penuh dengan intrik, tetapi penuh dengan petualangan buddy-cop penuh misteri  yang menyenangkan. 


Pada rekaan dunia milik Zootopia, para binatang berevolusi dan tak sesuai dengan kodratnya. Binatang yang terbagi menjadi dua kelas, predator dan victim, dapat hidup berpasangan dan menjalani kehidupannya dengan tenang. Dengan adanya evolusi tersebut, tak memungkinkan bahwa setiap kelas binatang memiliki mimpinya.  Itu pun yang terjadi pada Judy Hopps (Ginnifer Goodwin), kelinci kecil yang berkeinginan untuk menjadi seorang polisi.

Hal itu bertentangan dengan norma yang ada bahwa seorang kelinci kecil tak bisa kuat menjadi seorang polisi. Nyatanya, dia lolos menjadi seorang polisi dan ditugaskan ke pusat kota Zootopia. Kota tersebut sedang mengalami teror yang menyebabkan 14 mamalia hilang dari kota. Judy yang pada awalnya hanya ditugaskan sebagai tugas penjaga parkir, mengajukan diri sebagai detektif untuk menemukan 14 mamalia tersebut. Dibantu oleh Nick Wilde (Jason Bateman), rubah licik yang pada awalnya hanya menjadi informan tentang 14 mamalia hilang tersebut. 


Isu minoritas dan ras di dalam film ini menjadi satu poin penting yang perlu digarisbawahi oleh penontonnya. Meskipun, hal tersebut tak terlalu dibahas serius karena Byron Howard dan Rich Moore menggunakan genre film animasi yang dapat menumpulkan isu sosial yang sensitif itu. Juga, Zootopia mencari keseimbangan di dalam plot ceritanya agar film animasi ini masih memiliki unsur yang menyenangkan dengan subplot cerita petualangan yang seru.

Tetapi di samping unsur-unsur seru yang mereka gunakan di dalam film ini, banyak sekali pesan yang ingin mereka sampaikan lewat naskah dan juga gambaran karakternya. Isu stereotyping, pengakuan seorang minoritas, dan masalah-masalah rasial yang menjadi sesuatu yang relevan di dalam film ini. Meskipun film ini adalah film animasi, Zootopia memiliki tujuan dan motivasi yang kuat tentang urgensi hadirnya film ini. Apalagi, masalah minoritas sebuah kaum yang sebenarnya adalah masalah lama yang selalu hadir di setiap generasi.

Adanya stratifikasi sosial di dalam suatu ras yang menyebabkan hal itu menjadi suatu budaya yang turun temurun dalam menjalankan fungsi mereka inilah yang berusaha mereka angkat. Hal itulah yang berusaha digambarkan oleh Byron Howard dan Rich Moore lewat karakter-karakternya. Dengan penggunaan klasifikasi binatang menjadi dua kelas ini agar mempermudah penggambaran dan tidak menyerang suatu kaum tertentu. Maka, Zootopiabukan hanya sebuah film animasi bersenang-senang tetapi ada tujuan jelas yang berusaha diperjuangkan di dalam filmnya.  


Meski dengan pesan-pesan yang cenderung sangat pretensius dan serius, Byron Howard dan Rich Moore tak lupa bahwa secara garis besar segmentasi sebuah film animasi adalah untuk anak-anak. Sehingga, Zootopia masih menyajikan komedi-komedi segar lewat karakter Flash, seekor kukang, yang dapat menimbulkan tawa sangat besar. Pun, hal itu juga tak jauh-jauh dari sebuah sindiran yang diselipkan tetapi sekali lagi ditumpulkan sebagai sebuah candaan yang menimbulkan tawa luar biasa.

Di mana Flash digambarkan sebagai petugas yang sedang bekerja di sebuah korporasi milik negara.
Flash digambarkan sebagai seorang kukang memiliki suatu hal kontradiktif dengan nama dan juga tempat ia bekerja. Kukang yang terkenal sebagai hewan malas memiliki nama Flash yang memiliki arti cepat ini adalah bukanlah kebetulan. Juga, tempatnya sebagai petugas administrasi negara yang melayani warga sipil dengan cepat juga digunakan sebagai sindiran tentang petugas administrasi negara yang terkadang memiliki kinerja yang tak cepat.

Poin yang juga tak terlupakan di dalam film animasi milik Byron Howard dan Rich Moore adalah karakter-karakter yang menggemaskan. Sehingga, penonton pun akan berbondong-bondong mulai menyukai karakter-karakter di dalam film Zootopia. Sehingga, Zootopia sudah dapat menetapkan suatu brand yang kuat di mana dapat meningkatkan penjualan lewat merchandise yang dijual oleh Disney. Judy Hopps dan Nick Wilde akan menjadi idola terbaru, bukan hanya untuk anak-anak tetapi juga untuk setiap penontonnya. 


Akan banyak sekali yang berusaha sinis dengan film-film animasi yang terkesan tak punya tujuan. Tetapi, banyak sekali film animasi generasi sekarang yang tak hanya menawarkan unsur senang-senang dan kekanak-kanakan. Zootopia adalah salah satunya, di mana dia memiliki tujuan dan motivasi yang kuat dengan isu-isu sosial berat tanpa melupakan kodratnya sebagai film animasi yang ditujukan sebagai untuk anak-anak. Hal itu tak ubahnya hanya untuk sebagai upaya dari Byron Howard dan Rich Moore untuk menumpulkan isu-isu sensitif itu dan menertawakan sindiran-sindiran tersebut. Sehingga, lagi-lagi Disney memiliki Zootopiamenjadi salah satu film animasi yang kuat sejauh ini.  


Film ini pun dirilis dalam format 3D dan IMAX 3D. Sayangnya, Indonesia tak kebagian format IMAX 3D. Maka, berikut rekapan format 3D-nya.

DEPTH
Disney selalu bermain-main dengan poin yang satu ini. Dan Zootopia adalah salah satunya yang memiliki kedalaman yang dahsyat. Apalagi dengan panorama-panorama indah di setiap sudut kota Zootopia

POP-OUT
Tak cukup banyak dan malah hampir tak ada sama sekali unsur ini di dalam filmnya. Ya, mungkin hanya beberapa saja di sepanjang 100 menit film ini.

Zootopia adalah salah satu film animasi tiga dimensi yang membuat penontonnya lupa dengan efek tiga dimensinya. Itu berkat konten dan keseruan yang ditawarkan oleh konten dari filmnya sendiri. Sehingga, coba saksikan Zootopiadalam format dua dimensi saja dan cari layar terbesar yang ada di kota anda.

Kamis, 03 Maret 2016

ROOM (2015) REVIEW : Wide Perspective In A Small Room


Siapa yang bisa menggambarkan secara detil dan mendeskripsikan dunia mereka? Tak ada yang bisa. Setiap manusia pun hanya terbatas pada sebuah regional tertentu untuk dapat mewakili deskripsi tentang dunia mereka. Itu pun mereka harus melakukan sebuah pemahaman tentang bagaimana dunia mereka terbentuk lewat proses kesepakatan bersama. Hal itu dilakukan agar setiap individu dapat memiliki perspektif yang sama mengenai dunia di wilayah yang mereka huni.
 
Lantas, bagaimana jika dunia yang kalian tahu bukan hanya terbatas oleh wilayah tetapi juga dibatasi oleh dinding dua sisi yang dingin? Konstruksi pemikiran akan dunia akan jauh lebih sempit lagi. Itu lah yang mendasari sebuah cerita fiksi karya Emma Donoghue di dalam sebuah bukunya, Room. Perspektif lain yang digunakan untuk memahami dunia ini menjadi sebuah cerita menarik yang mengundang Lenny Abrahamson untuk mengadaptasinya menjadi gambar bergerak berdurasi 120 menit.

Room memiliki sebuah premis cerita menarik dengan presentasi kuat yang akan mengiris penontonnya di setiap menit. Film arahan Lenny Abrahamson ini menjadi salah satu nominator di kategori Best Picture pada Academy Awards tahun ini. Performa yang tak diragukan lagi dari Brie Larson sebagai pemeran utama di dalam film ini patut diganjar Aktris Terbaik di banyak ajang film bergengsi tahun ini. Jelas, Room bukan sebuah film dengan perspektif baru yang sembarangan. Film ini menyimpan banyak sekali momen luar biasa yang tak pernah dirasakan sebelumnya. 


Keterbatasan melihat dunia yang lebih luas jelas akan menyakitkan banyak orang, apalagi hanya berada di dalam sebuah ruangan sempit dengan fasilitas seadanya. Itulah yang dialami oleh Joy Newsome (Brie Larson) di 5 tahun terakhirnya. Dia harus hidup dengan ruang yang sangat terbatas bersama dengan anaknya bernama Jack (Jacob Tremblay). Joy berusaha mati-matian untuk membangun realita yang nyata tentang dunia yang hanya terbatas di ruangan yang dia tempati.

Dan pada akhirnya, Jack hanya mengetahui bahwa dunia yang dia huni memang hanya terbatas oleh ruangan yang mereka tempati. Di luar itu, Jack sudah menganggapnya sebagai luar angkasa yang luas dengan sistem orbit yang berbeda. Berusaha ingin membuat Jack memiliki kehidupan yang lebih layak, Joy berusaha untuk mengeluarkan Jack dari tempat tersebut. Tetapi, usahanya akan sangat mengalami kesusahan karena mereka adalah korban penyekapan yang dilakukan oleh Nick (Sean Bridgers). 


Apa yang dilihat oleh Jack sebagai ‘dunia’ miliknya adalah hasil dari suatu pemahaman yang telah dia sepakati bersama dengan Joy sebagai ibunya. Sehingga, Jack muncul sebuah perspektif yang lain tentang dunia yang ada. Pun begitu pula dengan semua orang yang berusaha memberikan simbol-simbol tentang dunia mereka masing-masing di wilayah mereka. Dengan sistem tanda dan lambang tersebut, mereka dapat mengklasifikasi dunia menurut pandangan mereka masing-masing.

Meskipun berbeda, akan ditemukan sebuah benang merah tentang dunia yang mereka huni. Tetapi, akan diperlukan adaptasi tentang sistem tanda dan lambang tersebut jika seseorang dari wilayah lain untuk dapat memahami dunia yang dari perspektif baru. Film ini berusaha untuk memberikan sebuah gambaran tentang bagaimana setiap karakternya mengkonversi apa yang dilihat ke dalam sebuah simbol yang akan mereka pahami untuk membentuk proses komunikasi. Seperti yang dilakukan oleh Joy dan Jack agar mereka berdua dapat berinteraksi satu sama lain.

Bagusnya, Lenny Abrahamson mengadaptasi buku milik Emma Donoghue menjadi sajian getir yang sangat kuat. Lenny membangun sebuah ikatan emosi yang sangat nyata yang ditransfer kepada Brie Larson dan Jacob Tremblay sebagai aktor-aktris utama penggerak cerita sederhana di dalam filmnya. Alhasil, imbas yang dirasakan oleh penontonnya akan sangat besar dan penonton akan dengan mudah merasa simpati dengan karakter-karakternya. Dan hal itulah yang digunakan sebagai kekuatan utama di dalam film Room ini. 


Dengan keterbatasan tempat untuk mengembangkan ceritanya, bukan berarti film ini pun akan terbatas dalam presentasinya. Kesempitan ruangan yang dihuni oleh Joy dan Jack ini akan menghantui penontonnya hingga ke akhir film. Meskipun Room terkesan memiliki dua babak di dalam filmnya, tetapi Room memiliki keindahan di setiap babaknya. Di babak 60 menit pertama Lenny berusaha memberikan tensi ketegangan luar biasa dengan klimaks yang memuncak.  

Hanya saja, akan terasa lebih menggetarkan di 60 menit terakhir milik Room, babak kedua di dalam film ini jauh terasa lebih kuat. Akan dijelaskan di 60 menit terakhir bagaimana karakter Jack dan Joy terlihat semakin berkembang meski dengan pace cerita yang jauh lebih tenang. Bagaimana Jack dan Joy berusaha memahami lagi dunia yang selama ini dia buat dengan sebuah perspektif baru. Kesan karakter satu dimensi yang ada di 60 menit pertama semakin lama berubah menjadi sebuah karaktr yang multidimensional.

Alasan-alasan yang kuat dengan problematika yang jauh lebih rumit berusaha dijelaskan oleh Lenny Abrahamson secara perlahan di dalam film Room. Itu dilakukan agar Room memiliki karakter yang tak terkesan seperti ruangan yang dihuni Jack dan Joy yang hanya dapat melihat dinding dari satu sisi. Dan di situlah kekuatan film Room yang tak perlu muluk-muluk di setiap aspek pembuatan filmnya. Hanya perlu sokongan arahan yang kuat dan performa luar biasa aktor-aktris utama sehingga cerita di dalam film Room dapat disampaikan kepada penontonnya. 


Maka, Room adalah sebuah studi karakter menarik dengan fenomena sosial tentang bagaimana seseorang berusaha memaknai dan memahami apa yang mereka anggap sebagai ‘dunia’ menurut mereka. Lenny Abrahamson berhasil memberikan sebuah arahan yang kuat sehingga film ini memiliki sebuah kekuatan yang dapat mengiris hati penontonnya. Pun, lewat performa luar biasa yang dilakukan oleh Brie Larson dan juga Jacob Tremblay yang semakin bertambahnya menit dapat mengembangkan karakternya agar tak terkesan satu dimensi. Tak salah jika Roomdiganjar banyak sekali nominasi di banyak ajang film bergengsi. Menyentuh dan menggetarkan!

Rabu, 02 Maret 2016

TALAK 3 (2015) REVIEW : Medium Syiar Agama Yang Universal


Sebuah pernikahan adalah salah satu dari bagian upacara adat dan agama yang dianggap sangat sakral. Janji sehidup semati dengan satu orang dan hidup dalam satu atap jelas akan ditetapkan aturan-aturan saklek entah dari agama maupun pemerintah. Apalagi, ketika keputusan seorang pasangan untuk tak lagi bersama jelas akan diberikan sebuah konsekuensi rumit yang harus dia jalani. Dan dari fenomena itulah, Hanung Bramantyo dan Ismail Basbeth membangun sebuah cerita untuk film terbaru garapan mereka.
 
Talak 3 memberikan petuah atau nasihat tentang sebuah perceraian atas ajaran sebuah agama yang berdiri tegak dan tak bisa diubah. Itu pun dikemas tak terlalu serius tetapi bukan berarti menggampangkan ajaran-ajaran agama yang saklek tentang sebuah pernikahan. Dibintangi oleh Laudya Cynthia Bella, Vino. G. Bastian, dan Reza Rahadian, film ini tak hanya siap untuk berusaha menghibur penontonnya tetapi juga meraih kuantitas dalam jumlah penontonnya.

Di bawah naungan MD Entertainment, sedikit menghawatirkan kemasan Talak 3 akan menjadi salah satu sekian banyak drama religi melankolis yang terlalu diekspos berlebih. Nyatanya, Talak 3 menjadi salah satu yang berbeda dari film-film produk MD Entertainment. Menjadikan Talak 3 sebuah film komedi romantis dengan nafas keagamaan adalah keputusan tepat agar tak terbawa terlalu serius untuk medium syiar agama. 


Menjalani hidup bersama dengan pasangan memang gampang-gampang susah. Apalagi, ketika sudah janji sehidup semati dengan pernikahan sebagai upacara yang sakral. Hal itu juga dialami oleh Bagas (Vino G. Bastian) dan Risa (Laudya Cynthia Bella) ketika menjalani kehidupan mereka sebagai suami istri. Banyak sekali rintangan yang harus mereka hadapi dan mereka memutuskan untuk berpisah karena Bagus terpergok sedang merajut kasih dengan penyanyi pop melayu. Kehidupan mereka setelah bercerai pun tetap dirundung masalah, karena hutang piutang mereka menumpuk.

Tetapi rejeki memang selalu datang ketika keadaan sedang sulit, sebuah pengorganisir acara menyetujui proposal mereka tentang acara pernikahan dengan Bagas dan Risa sebagai ikonnya. Tetapi, sang penyetuju acara mereka tak mau menyetujui acara mereka karena Bagas dan Risa tak lagi bersama. Mereka berdua mencari cara agar bisa menikah kembali tetapi persyaratan untuk menikah kembali menurut agama mereka tak semudah kedengarannya. Dan Bimo (Reza Rahadian), teman kecil Risa yang juga berkolega bisnis dengan mereka berusaha mencarikan solusi. 


Kerumitan-kerumitan dalam cerita Talak 3 yang  digarap oleh Hanung Bramantyo dan Ismail Basbeth berpotensi untuk menjadi sebuah medium syiar agama yang terlalu serius dan menceramahi. Maka dari itu, mereka ingin menjadikan Talak 3 sebuah sajian komedi romantis. Tragedi-tragedi serius ini adalah komposisi menarik agar dijadikan sebuah komedi yang bagus. Tujuannya jelas untuk memberikan pengertian atas konsekuensi dan resiko yang harus dihadapi oleh dua sejoli ketika sudah mengucap janji sehidup semati.

Kekakuan sebuah ajaran agama yang berusaha disampaikan di dalam Talak 3 bukan serta merta untuk menyebarkan pandangan bahwa agama tertentu adalah superior. Hanya saja di dalam Talak 3 ini kedua sutradara ingin menyampaikan pesan bahwa pernikahan bukanlah segampang yang dikira banyak orang. Pun, hal ini akan sangat berlaku di ajaran kepercayaan mana pun. Kerumitan plot film ini adalah perwakilan dari bagaimana proses yang rumit ketika mantan sepasang suami istri ini berusaha mencurangi peraturan yang ditetapkan untuk mengatur pernikahan.

Bagas dan Risa berusaha keras agar mereka bisa hidup kembali setelah melalui prosek talak tiga sebagai syarat dari perceraian. Mereka berusaha mencurangi peraturan-peraturan saklek dari sebuah kepercayaan yang ternyata tak dapat mereka abaikan begitu saja. Bagusnya, Hanung dan Ismail berusaha keras agar Talak 3 tak melenceng dari landasan kepercayaan yang mereka pegang tetapi dapat menyampaikan syiar mereka dengan cara yang lugas dan juga menyenangkan. Pun, diperkuat lewat ikatan emosi yang sangat nyata oleh para pelakonnya. 


Pun, Hanung Bramantyo dan Ismail Basbeth berusaha keras untuk menyindir isu-isu sosial ketika sebuah agama dijadikan sebagai komoditas penghasil uang yang menjanjikan bagi petinggi negeri. Ajaran-ajaran agama saklek yang berusaha dicurangi serta merta dihalalkan begitu saja agar bisa mendapatkan keuntungan dalam bentuk materi. Talak 3 berusaha menyindir hal-hal itu dan disampaikan kepada penontonnya tetapi dengan komedi riuh. Sehingga, pesan berat itu diolah agar menjadi sebuah kemudahan yang dapat dicerna.

Film adalah sebuah hal yang representatif dari yang terjadi di lingkungan sekitar. Maka, Hanung dan Ismail Basbeth me-reka ulang kejadian yang ada di sekitar mereka tentang mayoritas orang yang berusaha mencurangi ajaran dari tuhan. Penerapan sebuah ajaran tuhan yang sudah menjadi budaya yang disampaikan di dalam film ini bukan sebagai medium untuk mengkritisi. Terlepas dari sebuah ajaran agama, film ini ingin menyampaikan sebuah pesan universal yang dapat diterima oleh semua kalangan tentang keabsahan sebuah pernikahan. 


Dengan banyaknya pesan-pesan dan kerumitan plot yang ada di dalam film Talak 3, hal itu tak membuat filmnya menjadi sebuah film yang menceramahi. Talak 3 ingin menunjukkan kedewasaan dalam menyelesaikan masalahnya ketika mereka telah berusaha keras mencurangi ajaran saklek dari tuhan tentang pernikahan. Tetapi di luar pesan-pesan syiar agama yang mereka sampaikan, terdapat sebuah pesan universal yang ingin disampaikan tentang sebuah pernikahan. Konten berat yang dihadirkan lewat Talak 3 diolah menjadi sebuah komedi ringan yang tetap lugas dalam memberikan syiarnya. Jelas, Talak 3 adalah sebuah komedi romantis bernafas keagamaan yang sangat menyenangkan!

ANANTA (2018) REVIEW : Kisah Manis Yang Tak Biasa

  Setelah terus-terusan menjadi ratu drama dari Screenplay Films, Michelle Ziudith akhirnya memiliki kesempatan untuk mengeksplor dirinya di...