Rabu, 22 Juni 2016

THE CONJURING 2 (2016) REVIEW : Sekuel Franchise Horor Yang Berbeda


Ed dan Lorraine Warren pernah dan sangat berhasil menghantui malam-malam penontonnya paska bercerita tentang kasusnya menangani gangguan makhluk halus. Kesuksesan itu benar-benar tak terduga, paska cerita yang diarahkan oleh James Wan ini telah pernah menangani kasus cerita serupa. The Conjuring adalah judul dari kasus milik Ed dan Lorraine Warren dalam menangani kasus-kasus makhluk astral yang menghantui kliennya.
 
Kasus milik Ed dan Lorraine Warren ini berdasarkan kasus yang ditangani oleh orang bernama sama di dunia nyata. Mereka berdua bukanlah karakter rekaan yang dibuat oleh James Wan dan cerita filmnya pun diadaptasi dari kasus-kasus mereka. Maka, setelah berhasil menakut-nakuti penontonnya di kasus pertamanya, James Wan memutuskan untuk melanjutkan kisah-kisah penangkapan hantu lainnya dari kasus milik mereka. The Conjuring tak sengaja menjadi sebuah franchise film horor besar yang ditunggu oleh penontonnya. Dan The Conjuring 2, menjadi sebuah film yang dinantikan.

James Wan pernah sukses besar dalam franchise lain bernama Insidious. Tetapi, kengerian itu hanya bertahan pada film seri pertamanya saja. Maka, jelas menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan apabila The Conjuring 2 akan mengalami nasib serupa dengan film-film seri Insidious. Perlakuan James Wan di dalam seri The Conjuring ternyata berbeda dengan filmnya yang lain. The Conjuring 2masih memberikan sebuah film horor yang menyenangkan. Meski, tak seseram yang pertama, tetapi The Conjuring 2memiliki signature-nya untuk menjadi film horor yang berkelas. 


Ed (Patrick Wilson) dan Lorraine Warren (Vera Farmiga), kembali menangani kasus-kasus makhluk gaib yang sudah menjadi profesinya. Kasus yang telah mereka tangani contohnya adalah kasus Amytiville yang membuat kedua orang ini semakin terkenal atas rekam jejaknya menangani hal serupa. Kejadian tak mengenakkan hadir persis sama dengan apa yang terjadi dengan kasus mereka di Amytiville. Bedanya, tempat kasusnya berada di Enfield, London dan orang-orang mengatakan bahwa ini adalah London’s Amytiville.

Korban dari gangguan makhluk astral ini menyerang keluarga dari Peggy Hodgson (Frances O’Connor). Rumah yang dihuninya selama ini ternyata ditempati oleh makhluk astral jahat yang berusaha menganggu mereka. Makhluk astral tersebut mengincar Janet Hodgson (Madison Wolfe) dan merasuki tubuh anak kecil tersebut. Dengan adanya peristiwa ini, sebuah gereja mengutus Ed dan Lorraine untuk menangani kasus ini. Makhluk astral ini tidak hanya menghantui keluarga Hodgson, tetapi juga Lorraine Warren yang sudah merasa telah diperingati sebelumnya. 


Plot cerita dari The Conjuring, mungkin akan terkesan sama dengan beberapa film James Wan dengan genre serupa. Hal itu mungkin akan membuat beberapa orang akan sukar untuk membedakan dari film-film James Wan. Bahkan, beberapa film horor pun akan memiliki cetakan cerita yang sama dengan beberapa film lainnya. Pintarnya, James Wan memiliki caranya untuk membuat filmnya memiliki sesuatu yang segar dan selalu mendapatkan perhatian dari penontonnya.

Itu pun terjadi di The Conjuring 2, ketika penonton berusaha menurunkan sebuah ekspektasi untuk filmnya, James Wan berusaha keras untuk membuat filmnya berbeda. The Conjuring 2 memang tak akan bisa memberikan sebuah sajian yang akan mencekam seperti film pertamanya. Tetapi, The Conjuring 2 memberikan sentuhan lebih kepada karakternya. Jika, di film pertama, karakter di dalam Ed dan Lorraine hanya sebagai medium pengantar cerita, maka akan terasa berbeda di film keduanya.

Ed dan Lorraine memiliki kesempatan untuk berkembang di dalam The Conjuring 2. Sekuel ini memang memiliki durasi yang lebih panjang yaitu 140 menit. Tetapi, James Wan memiliki cara untuk membuat penontonnya memiliki simpati kepada karakter-karakter filmnya. The Conjuring 2 memang akan terasa terlalu panjang, tetapi ada problematika karakter yang memang lebih kompleks. Memberikan sebuah cerita personal kepada karakternya sehingga penonton tak hanya merasa  dihantui oleh arwah penasaran di dalam filmnya, tetapi juga masalah pribadi para karakter yang memiliki sangkut paut dengan plot cerita secara keseluruhan. 


James Wan memang sibuk memberikan pengembangan karakter-karakternya dalam bercerita. Tetapi, James Wan tak melupakan esensi film horor untuk memberikan ‘kesenangan’ kepada penontonnya yang haus untuk dihantui. The Conjuring 2 memiliki cara menakut-nakuti yang berkelas dengan tata kamera yang tak sembarangan. Sosok makhluk astral di dalam film ini memang terkesan ‘ingin tampil’, tetapi James Wan bisa memberikan sebuah level kengerian yang tak disangka oleh banyak orang.

James Wan lebih memberikan kengerian lewat atmosfir filmnya yang tak memberikan rasa nyaman ketimbang menggunakan jump scares. Meskipun, formula jump scares tetap digunakan oleh James Wan untuk memberikan sebuah sensasi berteriak yang menyenangkan bagi penontonnya. Tetapi, The Conjuring 2 arahan James Wan berhasil memberikan jump scares yang formulanya sama dengan kemasan yang segar dan efektif menghantui penontonnya. 


Dan sekali lagi, The Conjuring 2akan berhasil menguras keberanian dan adrenalin penontonnya ketika menyaksikan film ini. Suasana di dalam film The Conjuring 2 memang tak bisa mengalahkan film pertamanya. Tetapi sebagai film sekuel, The Conjuring 2memberikan inovasi untuk filmnya. James Wan memberi suntikan bangunan cerita karakter yang kuat dan bisa mengundang simpati penonton untuk ikut resah dengan segala problematikanya. Maka, The Conjuring 2 tak hanya mengandalkan kasus pengusiran makhluk astralnya saja untuk menghantui penontonnya. Tetapi memberikan problematika hidup karakter-karakternya yang dapat memberikan dampak psikis yang hebat ketika menonton filmnya. Sebuah sekuel yang memberi kelasnya sendiri bagi franchise ini.  

Senin, 20 Juni 2016

NOW YOU SEE ME 2 (2016) REVIEW : Film Sulap Yang Mengelabui Penontonnya


Bukan tak mungkin, jika film yang pada awalnya disutradarai oleh Louis Leterrier ini pada akhirnya akan mendapatkan sebuah perhatian dari para penontonnya. Now You See Me menjadi sebuah sleeper hit yang disukai oleh penontonnya. Now You See Me memberikan sebuah sajian plot cerita yang segar pada saat itu. Dengan atensi yang sudah terbangun cukup besar, maka tak salah pula jika Summit Entertainment pada akhirnya memutuskan untuk membuat Now You See Me menjadi sebuah franchise andalan dari rumah produksi mereka.


Sayangnya, Louis Leterrier tak kembali mengarahkan Now You See Me 2. Summit Entertainment pun menunjuk Jon M. Chu sebagai pengganti Louis Leterrier yang akan memprakarsai jalannya film Now You See Me 2. Tetapi, jajaran pemain utama di film ini pun kembali hadir kecuali Isla Fisher yang pada film ini digantikan oleh Lizzy Caplan. Pun, ditambahi dengan nama-nama besar lainnya yang ikut andil di film ini seperti Daniel Radcliffe dan Jay Chou.

Di film pertamanya, Now You See Me memang menghadirkan banyak sekali setupbaru. Hal ini dibuat untuk memberikan sebuah celah agar bisa dikembangkan menjadi sebuah franchise dengan universe yang besar. Dan benar saja, Now You See Me 2 hadir menjadi sebuah setup baru dari hasil celah-celah yang diberikan oleh film predesesornya. Tetapi, Now You See Me 2 ternyata tak terlalu memaksimalkan setup yang ada. Now You See Me 2 hadir dengan dasar setup lama yang tak berusaha ditutupi dan mengembangkan lebih banyak lagi setupbaru untuk dijadikan sekuel selanjutnya.


Setelah berhasil kabur dari kejaran para polisi dan menjebak Thaddeus (Morgan Freeman), Four Horsemen yang diketuai oleh Dylan Rhodes (Mark Rufallo) ini melanjutkan sebuah aksi baru. Four Horsemen itu terdiri dari J. Daniel Atlas (Jesse Eisenberg), Meritt McKinney (Woody Harrelson), Jack Wilder (Dave Franco), dan Lula (Lizzy Caplan) sebagai pengganti Henley. Misi mereka berusaha mengungkap suatu tindak kejahatan yang dilakukan oleh seorang pembuat teknologi di acara pamerannya yang dibuat.

Sayangnya, hal tersebut ternyata hanyalah jebakan bagi Four Horsemen agar terungkap semua identitasnya. Hal tersebut membawa Four Horsemen ke Macau dan bertemu dengan seseorang bernama Walter Mabry (Daniel Radcliffe). Dia adalah anak dari Arthur Tressler (Michael Caine) yang berusaha membalaskan dendam ayahnya. Four Horsemen pun mencari cara agar bisa lepas dari cengkraman Walter Mabry dan berusaha untuk menangkap, juga mengungkap siapa dan apa motivasi dari Walter Mabry. 


Ketakutan Now You See Me 2sebagai sebuah sajian yang formulaik mungkin tidak terbukti. Jon M. Chu berhasil keluar dari kutukan film-film sekuel yang memiliki template cerita yang sama. Tetapi disayangkan, ketika Jon M. Chu berhasil keluar dari cetakan cerita yang sama, hanya saja Now You See Me 2kehilangan sebuah lucky charm yang ada di dalam film pertamanya. Now You See Me 2 memang masih memiliki trik-trik adegan yang menyenangkan, tetapi Jon M. Chu lupa untuk menutup lubang-lubang informasi yang ada di film pertama di film keduanya.

Lubang-lubang di film pertama memang banyak sekali tersebar di sepanjang film. Tetapi, penonton akan merasa memaklumi karena adanya rencana sekuel yang ada di tahun 2016. Maka, pertanyaan-pertanyaan tersisa itu bisa jadi menjadi sebuah setup baru sebagai dasar cerita di film kedua. Sayangnya, keyakinan penonton akan hal tersebut harus pupus. Now You See Me 2memang memberikan jangkauan cerita yang terasa lebih luas dari film pertamanya. Tetapi, subplot cerita di film ini meluas ke beberapa bagian yang malah membuat lubang-lubang cerita semakin besar. 


Now You See Me selalu mengakali plot ceritanya yang sebenarnya linear dengan trik-trik sulap yang dilakukan oleh karakternya. Sehingga, film pun terasa mempunyai sebuah konflik cerita yang terlihat rumit. Sayangnya, itu adalah sebuah ilusi yang dilakukan oleh Ed Solomon selaku penulis naskah dari film ini. Now You See Me 2 pun melakukan ‘trik’ tersebut ke dalam plot ceritanya hanya saja dengan porsi yang kelewat banyak. Sekuelnya kali ini mengelabui penonton dengan gaya cerita yang terlihat asyik, sehingga penonton akan lupa akan beberapa dasar cerita penting yang perlu diperhatikan.

Trik-trik itu dilakukan dengan kuantitas yang lebih besar dan lebih lama. Sehingga, durasi film pun membengkak hingga 122 menit dan sama sekali tak berusaha memberikan penyelesaian kepada setiap subplot cerita yang membutuhkan penjelasan. Subplot cerita di dalam film ini pun terkesan kacau, di mana seharusnya subplot di dalam film ini bisa dijadikan sebagai dasar cerita di film selanjutnya. Hal tersebut mempengaruhi performa dari Now You See Me 2 secara keseluruhan.

Beberapa subplot cerita dipaksa hadir untuk memenuhi durasi, tetapi malah menyisakan lubang cerita yang semakin besar dari film pertamanya.Karakter antagonis film ini pun terasa tak memiliki rintangan yang besar bagi Four Horsemen dalam melakukan misinya. Jon M. Chu berusaha keras membangun Now You See Me menjadi sebuah franchise yang memiliki jangkauan rekaan dunia yang lebih besar. Tetapi, secara tak langsung, Now You See Me 2 telah memberikan spoiler besar akan apa yang terjadi di seri selanjutnya. 


Sehingga, setup baru lahir, lubang informasi cerita pun semakin membesar. Now You See Me 2 bukanlah sebuah solusi informatif tentang konflik-konflik di film predesesornya. Dengan berbagai trik-trik sulap yang lebih ditonjolkan, Jon M. Chu lupa bahwa film ini perlu jawaban-jawaban atas segala plot cerita yang sudah ditunjukkan di sepanjang film. Meski telah berhasil keluar dari cetakan cerita yang setipe, Now You See Me 2 ternyata mengalami sebuah penurunan. Trik sulap digunakan sebagai ilusi cerita yang sudah semakin tipis selama bertambahnya durasi. Sehingga, pada akhirnya penonton akan merasakan ada sebuah pertanyaan yang belum dijawab meski film telah berakhir.

Sabtu, 18 Juni 2016

TEENAGE MUTANT NINJA TURTLES : OUT OF THE SHADOWS (2016) REVIEW : The New Sequel, The Old Mistakes


Akan sangat mudah mendapat lampu hijau untuk mendapatkan jatah memiliki sekuel bagi film-film yang secara kuantitas sukses mengumpulkan jumlah angka yang fantastis. Dan hal itu akan menjadi suatu kebiasaan yang terjadi di rumah produksi manapun dan lumrah terjadi. Teenage Mutant Ninja Turtles sebagai contohnya, film adaptasi dari komik ini berhasil mendapatkan perolehan Box Office yang memuaskan dengan budget yang sedikit. Di bawah naungan Michael Bay, Teenage Mutant Ninja Turtles jelas memiliki jalan yang mudah untuk memperoleh lampu hijau itu.
 
Maka, di tahun 2016 ini, Teenage Mutant Ninja Turtles mendapatkan kesempatan untuk memiliki bagian kedua dari cerita mereka. Tetapi kali ini, Jonathan Liebesman tak kembali menjadi pemegang kendali bagi filmnya. Dan kedudukan Jonathan Liebesman kali ini digantikan oleh Dave Green. Para kura-kura ini kembali menjalankan misi teranyar mereka dengan formasi jajaran pemain yang sama. Dan bagian paling baru mereka memiliki judul Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows.

Dan sayangnya, meski telah mengalami perubahan di pangkat tertinggi, Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows tak memiliki perubahan kualitas. Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows memiliki problematika serupa dalam mengantarkan segala plot cerita yang termasuk linear di dalam filmnya. Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows tampil hambar dan lagi-lagi terlihat keasyikan sendiri dalam mengemas filmnya. 


Misi terbaru dari kura-kura ninja ini terfokus pada bagaimana Raphael (Alan Ritchson), Leonardo (Pete Ploszek), Donatello (Jeremy Howard), dan Michelangelo (Noel Fisher) yang harus menutupi identitas mereka yang telah menyelamatkan dunia di film sebelumnya. Shredder (Brian Tee) yang telah tertangkap kembali membuat ulah dengan berusaha kabur dari penjara. Dia bersekongkol dengan seorang ilmuwan bernama Baxter (Tyler Perry) untuk mengaktifkan sebauh alat teleportasi.

Tetapi, alat tersebut malah membuat masalah semakin runyam. Ketika alat teleportasi tersebut membuat Shredder bertemu dengan Krang (Brad Garrett). Krang menyuruhnya untuk menemukan sebuah alat yang dapat mewujudkan impiannya menguasai dunia. Dengan adanya hal itu, para kura-kura ninja bersiap untuk sekali lagi mengalahkan Shredder dan Krang. Mereka dibantu oleh April (Megan Fox) dan Casey Jones (Stephen Amell) untuk menuntaskan misi mereka. 


Dengan misi teranyar yang dimiliki oleh para kura-kura ninja, ternyata tak memiliki sesuatu yang benar-benar baru di dalam filmnya. Misi-misi tersebut masih memiliki formula yang sama, yang ternyata tak hanya di dalam plot ceritanya saja. Pun, formula yang sama itu terjadi di dalam setiap pengarahan yang dilakukan oleh Dave Green di Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows. Kesalahan-kesalahan yang terjadi di dalam film predesesornya terjadi kembali di sekuel terbarunya kali ini.

Teenage Mutant Ninja Turles, tak memiliki kekuatan untuk menjadi sebuah sajian yang segar bagi penontonnya. Semua yang ada di dalam film pertama dari kura-kura ninja ini akan terasa sangat repetitif dan memiliki template dengan film-film Michael Bay, selaku produser. Dan konsistensi atas sesuatu yang bukan menjadi kelebihan ini menjadi suatu malapetaka bagi Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows. Film keduanya bermain aman dengan asal salin template di film pertamanya.


Asal salin template ini pun tak berusaha untuk mencari tahu apa yang menjadi problematika di film pertama. Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows masih berusaha keras untuk menjadi sebuah film yang segar tetapi melupakan inovasi. Hasilnya, Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows malah terpuruk dengan segala upayanya sendiri. Film arahan Dave Green ini terjebak dengan bagaimana naskah dan arahan yang berusaha terlihat asyik dan malah membuat filmnya tak memiliki komponen-komponen yang menarik. 

Dengan durasi selama 115 menit, Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows minus akan tensi yang dapat membawa penontonnya untuk menikmati petualangan mereka. Pun, dengan durasi yang panjang itu, Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows terasa tak berusaha menceritakan apapun dengan plot ceritanya yang semakin rumit. Tetapi, Dave Green menyibukkan diri memberikan sebuah visual spektakular yang ternyata tak bisa menjadi senjata andalan bagi filmnya sendiri. 

 

Sibuknya memainkan visual yang spektakuler juga tak membuahkan hasil. Mereka memberikan penampilan visual efek grafis yang memang terlihat besar, tetapi ada rasa hambar di tengah kemegahan tersebut. Tak berhenti di situ, Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows memasag banyak karakter-karakter baru yang berusaha memiliki urgensi untuk tampil sebagai pion yang menjalankan cerita. Tetapi, lagi-lagi, potensi itu tak berusaha digali lebih lagi meski dengan durasi film yang sudah mencapai dua jam.

Dave Green terlalu bermain dengan zona aman dari Teenage Mutant Ninja Turles. Sehingga, sang sutradara seperti menutup mata dengan plot cerita dan karakter baru yang ada di dalam filmnya sendiri. Sehingga, munculnya plot cerita dan karakter baru ini hanyalah sebagai sebuah formalitas yang dibutuhkan di sebuah film sekuel agar tak terlihat menggunakan formula yang sama. Tetapi sayangnya, Dave Green ternyata tak bisa membuat Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows memiliki sesuatu yang berbeda, bahkan arahannya pun terasa statis bahkan terasa menurun. 


Maka, Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows adalah sebuah sekuel yang ada dikarenakan kesuksesan kuantitas dari sebuah film predesesornya. Padahal, film predesesornya sendiri memiliki banyak kekurangan yang perlu diperbaiki agar di sekuelnya nanti memiliki progres yang bisa meningkatkan kualitas film pendahulunya. Sayangnya, meski sudah mengalami pergantian sutradara, Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows tak berhasil memberikan sebuah progres yang signifikan, dan bahkan cenderung menurun. Teenage Mutant Ninja Turles : Out Of The Shadows masih menjadi sebuah sajian film blockbuster yang memiliki kesalahan yang sama dan keasyikan sendiri. 


Film ini juga dirilis dalam format IMAX 3D, berikut hasil rekapannya : 

DEPTH :
POP OUT : 

Menyaksikan film ini setidaknya harus dalam format IMAX 3D, karena Teenage Mutant Ninja Turtles : Out of The Shadows memiliki format IMAX 3D yang mengagumkan. Setidaknya, hal itulah yang membayar penuh tiket admisi yang dibeli penontonnya.

Senin, 13 Juni 2016

X-MEN : APOCALYPSE (2016) REVIEW : The Myth Of Third Installment for X-Men Trilogy


Musim panas telah datang dan waktunya film-film bermodal besar menunjukkan performanya. Film-film manusia super tetap memeriahkan parade film-film musim panas kali ini. Maret hingga Mei adalah bulan yang penuh sesak dengan deretan-deretan film manusia super yang sedang memasuki fase berbeda. Setelah Batman V Superman dan Captain America : Civil War, Marvel dengan naungan Fox melanjutkan fase berikutnya dari para mutan-mutan yang diasuh oleh Professor Xavier.

Para mutan ini memiliki misi lanjutan dari X-Men : Days of Future Past, di mana mereka harus berhadapan dengan musuh baru. Chapter berikutnya dari seri ini adalah X-Men : Apocalypse yang menemukan kekacauan dan digadang akan lebih besar dari film-film X-Men sebelumnya. Tetapi, dengan kuantitas yang lebih besar, X-Men : Apicalypse tetap didalangi oleh Bryan Singer. Di dalam seri ketiga ini, Bryan Singer memiliki tugas dan janji untuk membuat X-Men : Apocalypseuntuk lebih besar dan menyenangkan bagi penontonnya.

Hasil dari Days of Future Pastbisa meluluhkan penonton dan juga para kritikus film. Maka, Bryan Singer akan mendapat kepercayaan lebih ketika melanjutkan petualangan para mutan ini.  Setelah membangun universe dengan besar dan megah di Days of Future Past, Apocalypse ternyata menjadi sebuah presentasi yang menurun jika dibandingkan dua film sebelumnya. X-Men : Apocalypse tak berusaha memberikan sesuatu yang baru, baik dalam plot utama ceritanya mau pun lewat adegan-adegan lain yang berusaha diunggulkan.


Setelah kejadian Days of Future Past, Professor X (James McAvoy) berusaha untuk fokus mengembangkan asrama bagi mutan-mutan muda yang baru terdeteksi. Tetapi, kehidupan yang tenang itu tak berlangsung lama ketika mengetahui bahwa ada mutan pada masa mesir kuno yang berusaha untuk dihidupkan kembali. Mutan tersebut bernama En Sabah Nur (Oscar Isaac) yang juga dianggap sebagai tuhan oleh beberapa orang di Mesir. En Sabah Nur yang sudah bangkit mengumpulkan mutan-mutan baru untuk menjadi anak buahnya.

Dan salah satu mutan yang bergabung menjadi tim En Sabah Nur adalah Magneto (Michael Fassbender). Mystique (Jennifer Lawrence) yang merasa bahwa Magneto sedang dalam kondisi bahaya segera melaporkan berita itu ke Professor X. Dan akhirnya mereka membentuk  sebuah tim muda baru yang berusaha untuk mengalahkan En Sabah Nur. Tetapi, kekuatan En Sabah Nur berhasil  mengontrol kekuatan para mutan, terutama Professor X yang sangat diincar oleh En Sabah Nur.

Memang, X-Men : Apocalypsememiliki plot utama yang sangat linear. Motivasi para karakter-karakternya juga tampil sangat generik. Mungkin, X-Men : Apocalypse hanya mengusung plot cerita yang generik dengan film-film manusia super yang ada. Tetapi, seharusnya tema-tema generik ini bukanlah suatu kesalahan atau dosa besar bagi film-film manusia super. Toh, tema-tema ini sudah banyak digunakan oleh kebanyakan film-film manusia super dan beberapa film juga bisa menampilkan sesuatu yang menyenangkan.


Berbeda dengan X-Men : Apocalypse, tema baik lawan jahat yang biasa ada di dalam film manusia super terkesan menjemukan. Bryan Singer terlihat malas untuk mengerahkan segala upaya agar filmnya ini bisa memberikan sesuatu yang menyenangkan bagi penontonnya. Usaha keras yang dilakukan oleh Bryan Singer adalah memunculkan trivia-trivia karakter komik X-Men yang bisa dibilang sebagai fans service. Alih-alih ingin dekat dengan para fans, Bryan Singer lupa bahwa film ini bukan hanya ditujukan bagi mereka.

Mitos bagi film X-Men yang akan porak poranda di film ketiga, lagi-lagi terwujud kembali. X-Men : Apocalypse kembali menjadi rekam jejak buruk bagi trilogi terbaru dari X-Men. Apocalypse tak memiliki cara untuk menjadikan filmnya terasa segar bagi penontonnya. Padahal, X-Men : Apocalypse memiliki rumus-rumus baru yang seharusnya bisa dimanfaatkan lebih lagi. Hal-hal itu adalah karakter-karakter baru dan juga villain yang sebenarnya berpotensi untuk memiliki kompleksitas dalam penyelesaian plot utama ceritanya. Sayangnya, Bryan Singer luput memanfaatkan itu.


Pun, karena tahu bahwa kinerjanya dalam Days of Future Past telah disukai oleh banyak orang, akhirnya Bryan Singer melakukan beberapa hal yang repetitif di dalam X-Men : Apocalypse. Sayang, meski adegannya repetitif, ternyata keberuntungannya tak lagi menyertai Bryan Singer. Semua formula itu malah terkesan menjemukan, terutama adegan Quicksilver yang berusaha untuk sekali lagi memberikan impresi kepada penontonnya. Tetapi, tak ada charmyang hadir kembali di dalam adegannya. Bahkan, terkesan membosankan.

Gegap gempita X-Men : Apocalypsepun tak bisa kembali hadir lewat adegan aksi dan euforia visual efek yang juga absen di dalam filmnya. Visual efek dengan warna-warna cantik di dalam trailernya, ternyata tak hadir begitu menawan di dalam filmnya. Bahkan, pameran visual efek itu cenderung tak ada. Pun, adegan pertempuran akhir di dalam film X-Men : Apocalypse juga belum bisa dikemas dengan cukup menarik.


Hasilnya, setelah The Last Stand , X-Men : Apocalypse menjadi rekam jejak buruk baru bagi trilogi X-Men., X-Men : Apocalypse hadir menjadi seri ketiga yang tak bisa memberikan sebuah presentasi film manusia super yang menyenangkan. Plot yang generik dan tampilan yang repetitif tak bisa dikemas dengan baik oleh Bryan Singer sehingga Apocalypseakan terasa menjemukan. Bryan Singer memilih untuk memunculkan karakter-karakter baru tanpa ada dorongan untuk memberikan ruang bagi mereka agar berkembang. Pun, Bryan Singer terlihat ingin sekali dipuji oleh para fans X-Men sehingga memberikan banyak sekali Fans Service. Meski begitu, Singer lupa bahwa film ini bukan hanya ditujukan bagi mereka.

Sabtu, 11 Juni 2016

MY STUPID BOSS (2016) REVIEW : Sketsa Komedi Adaptasi


Film komedi menjadi salah satu genre film yang riskan untuk dibuat. Hal itu dikarenakan sebuah film tak bisa memberikan generalisasi selera humor penonton yang disampaikan di dalam filmnya. Sehingga, perlu taktik untuk –setidaknya –menarik minat penonton untuk menyaksikan film tersebut. Dan My Stupid Boss yang dinaungi oleh Falcon Pictures memiliki cara untuk memberikan teaser menarik dan berhasil memberikan daya tarik bagi penontonnya.
 
Di tengah film-film besar, film-film Indonesia di tahun ini berhasil memperoleh pendapatan jumlah penonton yang fantastis. Sehingga, My Stupid Boss memiliki motivasi untuk mendapatkan penonton sebanyak-banyaknya. Upi sebagai sutradara memasang nama-nama besar untuk bermain di dalam My Stupid Boss. Meski lagi-lagi, Reza Rahadian tampil lagi di sebuah film, tetapi penampilannya kali ini –lagi-lagi –membuahkan inovasi.

My Stupid Boss berhasil menciptakan gegap gempita tawa yang  luar biasa lewat trailer filmnya. Hanya saja, jelas akan menjadi ketakutan besar bagi penontonnya untuk berekspektasi tinggi untuk melihat hasil keseluruhannya. My Stupid Boss memang tak berusaha untuk membangun nuansa jenaka yang berlebihan di keseluruhan 100 menitnya. Tetapi, bagaimana My Stupid Boss ternyata membangun cerita dan karakter yang menyenangkan di dalam filmnya menjadi sebuah medium efektif untuk bersenang-senang bagi penontonnya. 


Kehidupan rantau yang di negara tetangga memang susah, hal itu dirasakan oleh Diana (Bunga Citra Lestari) ketika harus mendampingi suaminya bekerja di tanah rantau. Kehidupannya sebagai Ibu rumah tangga biasa menjadi sesuatu yang menganggu. Maka dari itu, Diana mencoba untuk mencari kesibukan lain dengan mencari pekerjaan juga di sana. Berbekal dengan kenalan dari teman suaminya, Diana mendapatkan pekerjaan di perusahaan milik teman suaminya.

Tetapi, dengan adanya pekerjaan tersebut tak lantas membuat kehidupan Diana bertambah senang. Lantaran, Diana harus berhadapan dengan atasannya yang luar biasa aneh dan menyebalkan. Bossman (Reza Rahadian), atasan Diana yang menurutnya selalu memiliki berbagai cara untuk membuatnya kesal. Permintaannya selalu tak pernah masuk akal menurut Diana. Hingga pada akhirnya, Diana kesal dan berusaha untuk melakukan perhitungan dengan Bossman. 


Perilaku mengesalkan yang dilakukan oleh Reza Rahadian sebagai Bossman inilah yang akan dinantikan penonton di setiap menit dari My Stupid Boss. Penonton akan menunggu lagi dan lagi apa yang akan diperbuat oleh Reza Rahadian untuk membuat Bunga Citra Lestari kesal. Sehingga, My Stupid Boss memang tak berusaha untuk memberikan bahan candaan yang slapstick, semuanya akan cenderung alami sehingga penonton tak dipaksa untuk tertawa sepanjang menit.

Upi sebagai sutradara tahu bagaimana menemukan daya pikat dari suatu karakter, dan berbekal poin itulah My Stupid Boss bisa dikategorikan menjadi sesuatu yang menyenangkan untuk dinikmati. Setiap karakter di dalam film ini memiliki cara atau pun upaya untuk pada akhirnya dapat bersimpati dengan para penontonnya. Bukan hanya Bossman dan Diana sebagai karakter utama, tetapi ada karakter-karakter pendukung lain yang dapat memeriahkan segala gegap gempita sketsa komedi di dalam film My Stupid Boss.

Tetapi, sayangnya pula, My Stupid Boss terlalu sibuk untuk menggerakkan karakter-karakternya untuk berkembang. Sehingga, plot utama di dalam film My Stupid Boss pun tak menemukan titik akhir sebagai suatu konklusi utama. Jika di dalam sebuah film drama, memiliki tiga babak di satu kesatuan filmnya. Maka, My Stupid Boss memiliki tiga poin itu yang repetitif ditemukan di sepanjang filmnya. Alih-alih menjadi satu kesatuan film yang utuh, My Stupid Boss malah terkesan menjadi sebuah film dengan sekuens-sekuens komedi yang terlalu banyak. 


Plot utama dari My Stupid Boss memang pada dasarnya adalah menceritakan bagaimana tingkah laku Bossman dan perjuangan Diana dalam menghadapinya. Tetapi, yang terjadi malah My Stupid Boss ingin berusaha menunjukkan bagian-bagian terlucu dari novelnya dan memvisualisasikan itu. Alhasil, dengan banyaknya konflik-konflik itu, plot utama dari My Stupid Boss pun tak bisa menjadi satu. Dampaknya, beberapa pergerakan plotnya akan terkesan berjalan lambat, dan tak tahu untuk mengakhiri filmnya.

Maka, yang terjadi adalah, My Stupid Boss memiliki satu subplot turning over yang dibuat untuk mengakhiri filmnya. Tetapi, segala cara yang dilakukan untuk memberikan suatu turning over itu malah terkesan dipaksakan karena My Stupid Boss kebingungan untuk pamit dengan penontonnya. Sisi-sisi humanis berusaha ditonjolkan, dengan tujuan untuk membangun setup baru agar memberikan celah film ini mendapatkan sebuah sekuel. Apalagi, buku dari My Stupid Boss tak semuanya mendapatkan porsi di dalam filmnya.

Tak diperlukan lagi bagaimana tata produksi dari My Stupid Boss. Gradien warna dominan merah, hijau, dan kuning digunakan untuk memberikan nuansa di dalam filmnya. Sayangnya, bagaimana My Stupid Boss yang berupa sketsa komedi ini ingin membangun nuansa komikal seperti yang dilakukan oleh film Amelie. Sehingga, apa yang dilakukan di dalam film My Stupid Boss terkesan seperti menyalin beberapa template produksi dalam film itu. Bukan hanya nilai produksi, tetapi juga musik-musiknya yang juga bisa dibilang memiliki nuansa yang sama. 


Tetapi pada akhirnya, My Stupid Boss berhasil mencapai tujuannya untuk menghibur para penontonnya tanpa berusaha keras menjadikannya sebagai sebuah film komedi yang lebih mengutamakan simpati pada setiap karakternya. Sehingga, itulah yang menjadi kekuatan utama dari My Stupid Boss itu sendiri. Meski begitu, pergerakan plot dari My Stupid Boss kurang terasa dinamis dan membuatnya memaksa untuk mengakhiri filmnya. Pun, nilai produksi filmnya yang terasa familiar dengan beberapa film luar negeri yang diadaptasi mentah. Tetapi, hal tersebut tak dapat mengurangi bagaimana My Stupid Boss adalah film yang menyenangkan untuk diikuti. 

ANANTA (2018) REVIEW : Kisah Manis Yang Tak Biasa

  Setelah terus-terusan menjadi ratu drama dari Screenplay Films, Michelle Ziudith akhirnya memiliki kesempatan untuk mengeksplor dirinya di...