Kamis, 28 Juli 2016

BANGKIT! (2016) REVIEW : Pionir Genre Baru di Perfilman Indonesia


Genre perfilman Indonesia akhir-akhir ini pun semakin berwarna. Mulai dari drama, komedi, hingga film aksi mulai sering dibuat oleh film-film Indonesia. Hingga pada akhirnya, Oreima Films dan juga Kaninga Pictures berusaha untuk memberikan sebuah genre baru di perfilman Indonesia untuk mewarnai keragaman di dalamnya. Muncullah sebuah ide untuk membuat sebuah disaster movie yang mungkin sudah bukan hal baru di industri perfilman Hollywood.

Proyek ini sudah terdengar proses pembuatannya sejak tahun 2015, dengan banyak memunculkan teaser-teaser poster yang cukup menggugah minat calon penontonnya. Jakarta Bangkit pada awalnya menjadi judul atas proyek film ini hingga pada akhirnya memutuskan untuk memilih judul Bangkit! sebagai judul akhir. Dengan tagline ‘karena menyerah bukan pilihan’, Rako Prijanto berusaha keras untuk mengarahkan film bencana pertama yang ada di Indonesia yang dibintangi oleh Vino G. Bastian, Acha Septriasa, Deva Mahenra, dan juga Putri Ayudya.

Sebagai yang pertama di perfilman Indonesia, Bangkit! mungkin akan dipenuhi dengan banyak pertaruhan. Entah secara kualitas maupun kuantitas yang dihasilkan oleh film Bangkit! ini sendiri. Apalagi, film ini dipenuhi dengan gegap gempita visual efek yang mulai dari awal film hingga akhir. Yang mana, di dalam bidang tersebut film-film Indonesia mungkin bisa dikatakan belum mahir bahkan masih sangat lemah. Sehingga, tak salah jika penonton masih merasa was-was dengan film ini. Tetapi, Bangkit!adalah sebuah film Indonesia yang penting untuk diapresiasi di tahun 2016 ini. 


Bangkit! terinspirasi dengan sebuah realita tentang kota Jakarta yang sering terkena banjir. Maka, Rako Prijanto dan tim berusaha untuk membentuk sebuah bahasa visual yang dapat menjelaskan realita itu dengan karakter-karakternya. Di mana, Addri (Vino G. Bastian) adalah kepala dari sebuah keluarga bahagia bersama Indri (Putri Ayudya). Addri pun sangat berjasa dengan jasanya sebagai ketua Basarnas yang selalu sigap atas keluh kesah warga kota Jakarta. Ketika sebuah bencana datang, Arifin (Deva Mahenra) adalah seseorang yang ditolong olehnya.

Bencana tersebut membuat Arifin datang ke upacara pernikahannya dengan sang kekasih, (Acha Septriasa) karena tenggelam di sebuah bangunan karena banjir. Tetapi, kegentingan masalah pribadi tersebut ternyata hanya menjadi sedikit kecil dari problematika yang ada. Karena masalah terbesar adalah Jakarta sudah dalam fase banjir yang menghawatirkan. Badai terus menyerang kota Jakarta hingga volume air sudah tak dapat menampung. Addri dan Arifin mencoba untuk mencari solusi atas bencana yang tak kunjung berhenti ini. 


Bangkit! mungkin memiliki cerita-cerita khas Hollywood dalam membangun sebuah film dengan tema bencana di dalam filmnya. Bangkit! terlihat memiliki banyak referensi dengan tema-tema film serupa, sehingga Bangkit! mungkin memiliki sebuah kematangan dalam mengemas filmnya. Karakter di dalam film Bangkit! memang terlampau banyak dengan problematikanya masing-masing. Akan terasa sekali di awal film, Rako Prijanto kebingungan untuk mengenalkan satu persatu karakter di dalam film Bangkit!

Belum selesai dalam mengenalkan para karakternya, Rako Prijanto langsung menghajar penonton dengan konflik utama di dalam film Bangkit!. Sehingga, penonton mungkin terasa sedikit kesusahan untuk memberikan sebuah simpatinya dengan para karakter di dalam film ini. Namun, perlahan Rako Prijanto tahu untuk mengarahkan subplot ceritanya yang belum cukup tertata di 20 menit awal film. Semakin lama, Bangkit! semakin mencengkram penontonnya dengan konflik-konflik yang ada.

Bangkit! akhirnya menyatukan semua problematika karakter sehingga dapat memberikan fokus besar terhadap konflik utama di dalam film ini. Sebagai sebuah pionir atas film dengan genre bencana ini, Bangkit! mungkin akan terjebak dalam sebuah film yang dijadikan sebagai ajang pamer atas pencapaian visual efek. Ternyata Bangkit! berada di luar dugaan. Tahu bahwa film ini masih lemah dalam menampilkan gegap gempita visual efek, Bangkit! berusaha untuk berusaha mencengkram penontonnya dengan konflik-konflik yang menumbuhkan sebuah simpati. 


Rako Prijanto berhasil memunculkan sebuah emosi dari setiap karakternya meskipun membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal itu pun dipengaruhi oleh plot-plot sampingan dari film Bangkit!yang terlalu banyak. Sehingga, mungkin durasi film terasa membengkak hingga 122 menit karena membutukan penyelesaian di setiap konfliknya. Tetapi, Bangkit! bisa memberikan sesuatu yang menarik yang membuat penonton betah mengikuti konfliknya hingga akhir.

Bicara tentang visual efek, Bangkit!mungkin masih memiliki kelemahan dalam presentasinya. Tetapi kerja kerasnya dalam memberikan sebuah detil-detil di dalam editing visual efeknya, hal tersebut patut untuk diacungi jempol. Beberapa mungkin terlihat kasar, tetapi beberapa efeknya masih mampu memberikan sebuah tensi di dalam filmnya. Secara visual efek, Bangkit! jelas tak bisa dibandingkan dengan film-film luar negeri yang sudah terbiasa dengan grafis komputer. Sehingga, dalam menilai film ini tentu perlu parameter yang berbeda. 

 
Maka, sebagai sebuah pionir sebuah film dengan genre seperti ini, Bangkit! bisa dikatakan memiliki presentasi yang berhasil. Meskipun, Bangkit!masih memiliki problematika dalam memberikan sebuah keterikatan dengan penontonnya, tetapi pada akhirnya Bangkit!berhasil menumbuhkan simpati penonton setelah 20 menit pertama. Pun, hal itu semakin mengikat penonton hingga akhir film dan bagusnya Bangkit! mengetahui kelemahannya dalam memamerkan visual efek yang luar biasa. Sehingga, Rako Prijanto menjadikan hal tersebut sebagai sebuah bonus yang berbeda di perfilman Indonesia. Jadilah, Bangkit! sebagai salah satu sebuah film Indonesia yang penting di tahun ini dan berbeda. 

Rabu, 27 Juli 2016

KOALA KUMAL (2016) REVIEW : Komedi Problematika Remaja Dengan Cara Lebih Dewasa


Raditya Dika sepertinya telah menjadi sebuah brand di kalangan perfilman Indonesia. Filmnya laris manis dan selalu memasuki tangga perolehan penonton terbanyak. Seperti tahun lalu, filmnya berjudul Single menjadi film terlaris nomor dua dengan perolehan 1,2 juta penonton. Lambat laun, permintaan atas film-film karya Raditya Dika pun bertambah. Sehingga, film-film yang digarap olehnya akan dinantikan oleh banyak penonton.
 
Koala Kumal, termasuk menjadi salah satu film yang dinantikan di tahun 2016. Menetapkan tanggal jadwal pada libur lebaran 2016, film Raditya Dika jelas digadang akan menjadi salah satu film terfavorit tahun ini. Beberapa mungkin akan antipati dengan film-film Raditya Dika karena beberapa orang merasa tidak cocok dengan gaya diusung olehnya. Film-filmnya memang bertemakan komedi yang mungkin akan terasa hit and miss. Raditya Dika sepertinya mengusung sebuah film komedi canggung yang berada di dalam karakternya. Dan Koala Kumal termasuk karya dengan tema itu.

Akan terasa bahwa di setiap film-film Raditya Dika muncul formula-formula yang repetitif. Tetapi, formula film miliknya yang repetitif itu mungkin semakin lama membuat Raditya Dika belajar untuk lebih baik. Performa film miliknya mungkin menuju puncak karirnya lewat Single yang memiliki improvisasi dari penyampaian hingga penampilan. Koala Kumal pun demikian, secara penampilan mungkin film ini sama dengan film-film Raditya Dika terdahulu. Tetapi, perbedaannya adalah Koala Kumal ini memiliki kedewasaan di dalamnya tetapi masih memiliki gaya komedi canggung khas miliknya. 


Perjalanan cerita Koala Kumal lagi-lagi dimulai ketika Dika (Raditya Dika) sedang mengalami sebuah patah hati terhebat. Pengalaman asmaranya berujung tragis, ketika Andrea (Acha Septriasa) dan Dika sudah mempersiapkan segala persiapan pernikahan. Andrea memutuskan untuk putus dengan Dika dan memilih pria lain bernama James (Nino Fernandez). Hal tersebut mempengaruhi perilaku Dika sehari-hari, dan suatu ketika sang Ibu berusaha menjodohkan Dika dengan anak sahabatnya.

Ketika berusaha menghindari perjodohan yang dilakukan oleh sang Ibu, dia bertemu dengan seorang perempuan bernama Trisna (Sheryl Sheinafia). Pada awalnya, Trisna hanya meminta Dika untuk datang ke klub buku miliknya untuk sekedar berbagi cerita. Tetapi, Trisna dan Dika semakin akrab dan Trisna sedang berusaha untuk membuat Dika melupakan masalahnya yang sedang patah hati. Banyak langkah-langkah yang ditawarkan oleh Trisna untuk mencari cara agar Dika berhenti untuk merasakan patah hati dan melanjutkan hidupnya. 


Patah hati, kesendirian, dan jatuh cinta adalah formula-formula yang sering digunakan oleh Raditya Dika di dalam film-film miliknya. Konsep tersebut hanya dibongkar pasang hingga membentuk sebuah jalinan plot cerita untuk film terbarunya. Tetapi, penggunaan formula yang itu-itu saja dalam sebuah film mungkin tak masalah. Hanya saja, penonton harus ditawarkan sebuah perubahan pengemasan agar penonton tak merasa jenuh dengan sebuah film dengan formula yang sama.

Koala Kumal beruntungnya memiliki kemasan yang berbeda dengan film-film Raditya Dika sebelumnya. Dengan plot atau premis yang bongkar pasang dan itu-itu saja, Koala Kumal menawarkan suatu hal yang berbeda di sini. Ada sebuah kedewasaan yang ditawarkan oleh Raditya Dika saat dia berusaha menyampaikan tentang problematikanya yang mungkin terkesan masih remaja. Pun, Raditya Dika masih menyelipkan komedi-komedi miliknya yang mungkin terasa begitu-begitu saja.

Konsep bagaimana Raditya Dika memberikan komedi adalah mengusung tema-tema kecanggungan dirinya sendiri. Itulah yang menjadi signature atau kekhasan dari Raditya Dika di setiap filmnya, dan begitu pula yang ada di Koala Kumal. Mungkin beberapa ada yang bisa membuat orang-orang tertawa, tetapi tak banyak pula yang membuat penonton sekedar tersenyum kecil. Hit and miss dalam sebuah film komedi pun memang terkesan lumrah terjadi.  Koala Kumal memang seperti itu tetapi yang ditekankan di dalam film terbaru Raditya Dika bukan cuma perkara lucu atau tidak. 


Ada sebuah perasaan nyaman dan pembelajaran tentang patah hati yang bisa diaplikasikan penontonnya dari film Koala Kumal. Raditya Dika pun lebih belajar untuk memberikan sebuah penyampaian yang lebih kondusif daripada film-film sebelumnya lewat Koala Kumal. Presentasi sebuah film mungkin juga mempengaruhi bagaimana seorang sutradara untuk bercerita. Tetapi di dalam Koala Kumal segala presentasi teknis mungkin masih kalah dengan Single, hanya saja di sini Raditya Dika menawarkan solusi terhadap bagaimana Dika yang selalu memiliki isu dalam penyampaian cerita miliknya.

Ada sebuah kesan unik yang berusaha ditampilkan lewat Koala Kumal, bukan hanya dari segi naskah tetapi juga karakter-karakter di dalam filmnya. Sehingga, keunikan yang ada di dalam naskah film ini pun terwakili dengan karakter Trisna yang nyentrik. Di mana peran itu seperti memberikan pesan kepada penontonnya bahwa Raditya Dika memiliki gayanya sendiri di dalam film-filmnya, khususnya Koala Kumal. Tetapi, dia tetap menawarkan sebuah kejujuran lewat karakter-karakternya sehingga masih memiliki sisi humanis yang manis untuk digali.

Juga, Koala Kumal memiliki aktris-aktris cantik yang dapat dilirik secara kualitas. Secara mengagetkan, Sheryl Sheinafia hadir dengan performa yang luar biasa. Memerankan karakter unik Raditya Dika dengan senang dan tanpa beban. Sehingga, karakter Trisna terasa hidup dan berwarna untuk disimak oleh penontonnya. Juga, bagaimana performa Acha Septriasa yang ternyata bisa memberikan performanya di dalam sebuah film komedi. 


Sehingga, Koala Kumal pun dapat dinobatkan sebagai film terbaik Raditya Dika sejauh ini karena ada perbedaan yang ditawarkan oleh filmnya. Bukan secara plot cerita atau pencapaian teknis yang luar biasa, tetapi bagaimana Raditya Dika menyampaikan plot cerita tersebut yang memiliki sebuah kedewasaan di dalamnya. Formula-formula yang digunakan oleh Raditya Dika mungkin masih itu-itu saja. Pun, masih menggunakan signature miliknya dalam menyampaikan komedi di dalamnya yang masih hit and miss. Tetapi ada sebuah perasaan berbeda, ada perasaan nyaman dan menyenangkan yang ditemukan di dalam komedi patah hati terbaru milik Raditya Dika.   

Selasa, 26 Juli 2016

SABTU BERSAMA BAPAK (2016) REVIEW : Problematika Sebuah film Adaptasi


Sabtu Bersama Bapak adalah sebuah novel fiksi yang ditulis oleh Adhitya Mulya. Bukunya telah sukses menjadi bacaan favorit dan terjual di mana-mana. Lantas, tak salah pula jika pada akhirnya rumah produksi dan sutradara tertarik untuk mejadikannya sebuah film berdurasi panjang yang tayang di layar perak. Sutradara yang tertarik untuk mengangkat buku ini menjadi sebuah film adalah Monty Tiwa yang sudah terbiasa terjun dengan tema-tema keluarga seperti ini.

Sehingga, Monty Tiwa sudah sangat dipercaya untuk mengadaptasi buku yang telah menjadi fenomena pembaca domestik. Di bawah naungannya, proyek ini pun mendapatkan jajaran aktor aktris yang sudah tak diragukan. Memasang nama-nama seperti Deva Mahenra, Acha Septriasa, Arifin Putra, Abimana Aryasatya, pun dipermanis dengan wajah baru seperti Sheila Dara. Dan juga, turut hadir aktris kawakan seperti Ira Wibowo yang menambah kepercayaan penonton dengan hasil akhirnya.


Dan sekali lagi, perlu diperhatikan adalah ketika sebuah buku dan film adalah sebuah medium penyampaian pesan yang jauh berbeda. Ketika berbicara soal dua medium ini, penonton seakan tak mau tahu. Sabtu Bersama Bapak mungkin mengalami perubahan secara struktur cerita dari buku ke dalam film. Namanya juga film ini adalah sebuah adaptasi, bukan duplikasi. Sehingga, adanya perbedaan yang terjadi di dalam buku dan film adalah sesuatu yang lumrah. Karena sebuah film memiliki yang namanya durasi yang mana perlu diperhatikan agar penyampaiannya pun efektif.

Banyak sekali respon yang mengatakan bahwa Sabtu Bersama Bapak tak bisa menyenangkan pembacanya ketika menjadi sebuah film utuh. Ada yang merasa bahwa, Sabtu Bersama Bapak tak bisa memiliki koneksi dari karakter kepada penontonnya. Maka, yang perlu diperhatikan adalah ketika sebuah film muncul dari adaptasi sebuah novel, jelas karakter yang ada di dalamnya mungkin mendapatkan ruang gerak yang begitu sempit. Hal itu dikorbankan, karena penonton awam akan peduli dengan jalan cerita yang telah tuntas. Tetapi, hal itu tidak masalah jika cerita tersebut dapat berjalan dengan lancar bahkan berkoneksi dengan penontonnya. 


Sabtu Bersama Bapak memang hadir dengan memberikan sebuah terapi kejut akan konfliknya yang belum apa-apa sudah memiliki problematika. Mengisahkan bagaimana sang Bapak (Abimana Aryasatya) yang sudah tak memiliki umur yang panjang lantaran terkena kanker. Sang Bapak pun berinisiatif untuk memberikan petuah-petuah kepada anak-anaknya, Cakra dan Satya,  lewat sebuah rekaman yang akan diputar oleh Ibu Itje (Ira Wibowo). Rekaman tersebut akan diputar setiap sabtu pagi sepulang sekolah.

Setelah beberapa puluh tahun kemudian, Cakra (Deva Mahenra) dan Satya (Arifin Putra) menemukan problematika hidupnya masing-masing. Satya yang sudah beristri dengan Rissa (Acha Septriasa) memiliki problematika rumah tangga yang selalu ada. Berbeda dengan Cakra, yang ternyata memiliki masalah dalam mencari pasangan hidup. Dengan problematika yang berbeda, tetapi mereka tetap menggunakan petuah dari sang Bapak yang mereka saksikan lewat rekaman sebagai prinsip hidup mereka.

Bukan berarti dengan memberikan konflik yang seketika sudah beruntun itu, penonton tak mendapatkan intimasi di dalam filmnya. Hanya saja, intimasi di setiap film mungkin akan berbeda. Di Sabtu Bersama Bapak, karakternya yang sangat banyak mungkin akan terbatas dengan adanya durasi yang perlu diperhatikan. Intimasi yang ditawarkan Monty Tiwa di dalam Sabtu Bersama Bapak adalah intimasi cerita yang mungkin lebih menawarkan tentang keberadaan suatu keluarga.


Meski akan terasa, sekuens setiap karakter memiliki cara yang berbeda untuk memberikan sebuah suasana di dalam cerita. Hal tersebut juga disesuaikan dengan bagaimana sifat atau watak setiap karakternya. Seharusnya, Sabtu Bersama Bapak menjadi sebuah paket komplit sebuah film yang memiliki segala jenis pendekatan genre. Kita bisa dibuat tertawa, serius, dan merasakan sebuah melankoli atas kehidupan yang terjadi di setiap karakter. Tetapi, beberapa bagian teknis di dalam film ini mungkin perlu diperhatikan.

Hingga muncul sebuah persepsi bahwa film Sabtu Bersama Bapak ini digarap dengan terburu-buru. Sehingga, hal-hal teknis tak terlalu diindahkan, padahal itu pun bisa menjadi kekuatan atas uniknya pendekatan di dalam film Sabtu Bersama Bapak yang beragam. Editing warna di dalam film ini pun terlalu kuning, mungkin untuk membangun suasana yang hangat dan ternyata berujung berlebihan. Sehingga, warna film pun terkesan pecah-pecah. Pun, penonton terasa terganggu dengan editing lens flare buatan yang diselipkan terlalu banyak. 

Penonton pun merasakan sebuah distraksi dari segi teknis, bukan dalam bagaimana Monty Tiwa mengenalkan karakter-karakternya. Karena, selama plot cerita dapat membuat penonton ingin mengetahui apa yang akan terjadi, hal tersebut masih dikatakan berhasil. Sabtu Bersama Bapak beruntungnya masih memiliki semangat itu. Meskipun, distraksi skala besar muncul dari segi teknis ketika penonton berusaha untuk berkoneksi dengan emosi cerita di dalam filmnya.


Kredit terbesar di dalam film ini adalah pengarahan permainan karakter yang diperankan oleh Acha Septriasa dan Deva Mahenra. Acha Septriasa berhasil menjadi karakter pendukung yang memberikan kontrol terhadap lawan mainnya, sehingga jalinan emosi di dalam film ini tak terkesan berlebihan. Begitu pun dengan Deva Mahenra yang sedang berusaha keras untuk bermain dengan pas. Dan karakter Cakra dibawakan dengan menarik oleh Deva Mahenra.

Sehingga, jadilah Sabtu Bersama Bapak yang mungkin berusaha untuk memberikan pendekatan di setiap konflik ceritanya. Tetapi, perlu digarisbawahi adalah ketika film ini adalah sebuah adaptasi sehingga mungkin pengembangan karakternya memiliki keterbatasan karena durasi. Hanya saja, sebuah distraksi datang dari segi teknis yang mengurangi konsentrasi penontonnya. Tata editing film Sabtu Bersama Bapak memberikan sesuatu yang berlebihan. Pun, dengan tata gambar yang tak memberikan sesuatu yang mewah dengan setting yang berbeda. Sehingga, Sabtu Bersama Bapak yang seharusnya menjadi sebuah sajian paket komplit dalam genre-nya, pun terasa kurang spesial.
 

Sabtu, 23 Juli 2016

ILY FROM 38.000 FT (2016) REVIEW : Film Cinta Yang Terbang Tak Terlalu Tinggi


Kisah cinta klise dua insan memang mungkin memiliki segmentasinya sendiri. Bisa jadi, film-film dengan tema seperti itu menjadi sebuah guilty pleasure yang dinikmati oleh banyak orang. Tetapi bila salah pengemasan, hal tersebut akan menjadi senjata makan tuan bagi pembuatnya. Jika salah film dengan genre ini akan kehilangan segmentasinya. Bahkan kekecewaan bukan hanya datang untuk segmentasi tersebut, tetapi juga penonton luas yang ingin menyaksikan film tersebut. 
 
Di banyak judul film-film Indonesia, genre ini menjadi salah satu yang sering muncul. Banyak sekali judul yang menggunakan formula tersebut. Formula-formula plot ceritanya pun hampir sama, hanya saja dikemas berbeda di setiap judul filmnya. Screenplay Production adalah salah satu rumah produksi yang selalu menghasilkan film-film dengan genre terkait. Bahkan, film-film produksinya mendapatkan perolehan angka penonton yang fantastis. Tahun ini pun, London Love Story, meraih 1 juta penonton.

Dengan adanya fenomena ini, Screenplay Production pun semakin gencar memproduksi film-film. Asep Kusdinar tetap didapuk sebagai sutradara andalan dari rumah produksi tersebut. Film kedua dari rumah produksi satu ini adalah I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT). Bekerja sama dengan Legacy Pictures, film ini tetap menggunakan formula yang sama dan bongkar pasang nama pemain dari film-film sebelumnya. Dan kali ini, nama Michelle Ziudith dan Rizky Nasar kembali dipasangkan di film terbarunya. 


Plot cerita I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT) pun penuh dengan kisah pertemuan sepasang sejoli. Meracik formula-formula usang untuk menjadi sebuah plot cerita yang dibedakan latar dan konfliknya. Itulah yang dilakukan oleh I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT) yang menceritakan tentang Aletta (Michelle Ziudith) yang sedang kabur dari rumahnya ke Bali. Di dalam pesawat perjalanannya menuju Bali, dia bertemu dengan Arga (Rizky Nasar) yang bekerja di sebuah saluran tentang alam.

Arga sedang membutuhkan seorang pembawa acara karena pembawa acara miliknya sedang sakit. Aletta pun berinisiatif untuk membantu Arga untuk menjadi pembawa acara di sana. Tetapi, hal tersebut menjadi polemik bagi rekan-rekan kerja Arga. Tetapi, Arga tetap memintanya sebagai pembawa acara bagi saluran miliknya. Di saat itulah, tumbuh rasa di hati Aletta terhadap Arga. Dia jatuh cinta dengan sosok dingin Arga yang entah akan mencintai dia kembali atau tidak. Yang jelas, Aletta benar-benar menaruh hati kepada Arga. 


Maka, bersiaplah dengan apa yang ditawarkan oleh I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT). Secara garis besar plot cerita, mungkin hal-hal itu wajar terjadi di dalam film-film serupa. Tetapi, I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT) dikemas dengan dialog-dialog puitis masa kini yang mungkin akan menyenangkan segmentasinya sehingga menimbulkan fenomena #BaperBarBar. Dialog-dialog tersebut mencoba untuk terlihat memiliki makna yang dalam tentang suatu hubungan. Nyatanya, dialog-dialog tersebut ternyata tak memiliki dampak selain kesan mendayu-dayu yang coba ditekankan oleh filmnya.

Semua dialog yang dilantunkan oleh para pemainnya pun terkesan janggal dan canggung untuk didengarkan. Pun, ikatan kedua pemainnya belum muncul terlalu kuat. Sehingga, muncul kesan malas di antara kedua pemainnya, entah akan banyaknya dialog yang harus dia hafalkan atau pemain utamanya hanya sekedar bosan. Bisa jadi, kedua pemainnya mungkin tak mendapatkan peran yang memiliki signifkansi di antara kedua film sebelumnya. Hingga, mereka pun juga tak memunculkan performa yang maksimal.

Tak ada perkembangan yang dilakukan oleh Michelle Ziudith dan juga Rizky Nasar. Bahkan keduanya pun seperti tak punya kekuatan untuk mengeksplorasi karakternya. Permainan karakter yang diperankan oleh mereka pun terkesan seperti kertas yang tipis, tak bisa memberikan sebuah emosional sehingga penonton merasa simpati. Itulah, yang membuat I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT) tak bisa memiliki presentasi yang mumpuni di tengah premis ceritanya yang bukan menjadi senjata andalannya. Bahkan, dalam penyampaian plotnya juga mengalami masalah. 


I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT) mengalami berbagai kekurangan. Bagaimana sang sutradara menjelaskan setiap konflik yang terkesan seperti memotong beberapa bagian penting di dalam naskahnya yang seharusnya jadi alasan utamanya. Sehingga, apa yang ditampilkan di dalam cerita I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT) terkesan loncat-loncat dan terlalu buru-buru. Asep Kusdinar lebih menonjolkan dialog-dialog yang terdengar ‘ajaib’ itu ketimbang alasan-alasan penting di dalamnya. Di mana, hal tersebut sangat berpengaruh bagi kelangsungan durasinya yang mencapai 100 menit.

Di bawah naungan Legacy Pictures, I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT) mengalami perubahan secara signifikan secara teknis. Tata suara dan tata gambar di dalam I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT) adalah poin yang mengalami perubahan dibandingkan dengan dua film Screenplay Production sebelumnya. I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT) terasa lebih sinematis, sehingga tata dan nilai produksi teknis filmnya lebih layak jika dikategorikan ke dalam film yang rilis di bioskop. 


Maka, problematika yang ada dalam presentasi I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT) ini adalah plot cerita dan penyampaian yang masih belum bisa dikategorikan ke dalam pengalaman sinematis. Michelle Ziudith dan Rizky Nazar pun belum bisa mengeksplorasi dan terjebak ke dalam karakter yang itu-itu saja. Sehingga, tampil interpretasi  bahwa mereka terasa malas dan apa adanya untuk bermain di dalam film I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT). Tetapi, secara teknis, I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT) terasa lebih pas untuk disaksikan di bioskop.  

Kamis, 21 Juli 2016

JILBAB TRAVELER : LOVE SPARKS IN KOREA (2016) REVIEW : Kisah Cinta Segitiga Yang Syar’i


Membuat sebuah film dengan tema religi dengan tempelan atribut-atribut keagamaan tentu secara tidak langsung telah menentukan segmentasinya sendiri. Di Indonesia, dengan mayoritas penduduknya yang beragama Islam, film dengan menempelkan atribut islami menjadi salah satu film yang akan mendatangkan animo masyarakat yang besar. Hal itu sudah terbukti lewat beberapa film dengan genre  seperti ini yang sudah menang banyak dalam merebut jumlah penontonnya.
 
Maka, tak henti-hentinya para pembuat film untuk mengemas tema-tema seperti ini menjadi sebuah sajian tontonan bagi masyarakat. Guntur Soeharjanto, salah satu sutradara yang sering mendapatkan kesempatan untuk mengarahkan film-film dengan tema tersebut. Film-film arahannya pun selalu ditengok oleh penontonnya sehingga mendapatkan angka penonton yang fantastis. Mulai dari seri 99 Cahaya di Langit Eropa hingga Assalamualaikum Beijing, film-film tersebut pun mendapatkan sorotan masyarakat.

Hingga pada tahun ini pun, Guntur Soeharjanto seolah-olah tak mau ketinggalan untuk mengarahkan lagi film-film dengan tema serupa. Maka, Guntur Soeharjanto memilih untuk mengadaptasi novel dari penulis ternama Asma Nadia. Buku yang diangkat olehnya adalah Jilbab Traveler : Love Sparks In Korea yang juga menjadi judul filmnya yang dirilis pada tahun ini. Film-film ini pun dibintangi oleh nama-nama terkenal seperti Bunga Citra Lestari dan Morgan Oey. 


Film-film dengan tema religi seperti buku-buku milik Asma Nadia mungkin akan terperangkap dengan plot cerita klise atau generik. Yaitu kisah dua insan yang sedang jatuh cinta dan rela berkorban demi pasangan tetapi dikemas secara syar’i. Pun, begitu dengan Jilbab Traveler : Love Sparks In Korea, di mana diceritakan adalah Rania Samudra (Bunga C. Lestari) yang gemar akan berpetualang karena tergoda cerita ayahnya. Perjalanannya kali ini adalah ke Taman Baluran dan di sana dia bertemu dengan pemuda korea bernama Hyun Geun (Morgan Oey).

Mereka sempat bercengkrama sebentar dan Hyun Geun menaruh hati padanya. Tetapi, seketika Rania dikabari tentang kematian ayahnya. Ketika sang ayah telah tiada, Rania memutuskan untuk tidak lagi berkelana. Tetapi, Rania diundang oleh kedutaan Indonesia di Korea untuk dijamu di sana. Rania memutuskan pergi ke sana atas saran dari sang Ibu (Dewi Yull). Rania pun terbang dan pergi ditemani oleh Ilhan (Giring Nidji), sosok lelaki yang berharap Rania akan melabuhkan hatinya kepadanya. Tetapi, Rania pun diterjang dilema atas kisah cinta sendiri karena Hyun Geun masih terlintas di pikirannya. 


Tema kisah cintanya mungkin sangat penuh akan mimpi di siang bolong. Dan cerita tersebut disematkan kepada karakter dengan karakter utamanya yang memiliki atribut keagamaan yang kental. Sehingga, akan muncul sebuah penggambaran tentang perempuan islam yang mandiri tetapi tetap saja terpaku pada ketergantungan akan seorang lelaki. Bahkan, mengidamkan pengorbanan yang terlampau tak wajar dari sosok lelaki.

Maka, cara terbaik untuk menikmati film Jilbab Traveler : Love Sparks In Korea adalah dengan melupakan segala penggambaran perempuan islam yang masih terjebak akan stereotype. Hingga, fokus kepada bagaimana Guntur Soeharjanto mengemas Jilbab Traveler : Love Sparks In Korea menjadi sebuah tontonan penuh akan atribut Islam yang masih terasa universal. Karena bagaimana Jilbab Traveler : Love Sparks In Korea ini akan berfokus dengan kisah cinta ketiga karakter utama yaitu Rania, Hyun Geun, dan Ilhan.

Beruntungnya, Jilbab Traveler : Love Sparks In Korea memiliki pengarahan yang terarah. Sehingga, pada akhirnya film ini memiliki dinamikanya yang baik. Permainan setiap karakternya, plot-plot ceritanya dikemas menarik meski mungkin sebagian orang akan merasa bahwa apa yang disampaikan film ini akan terkesan klise. Tetapi, Guntur Soeharjanto selaku sutradara berhasil menyampaikan unsur klise tersebut sehingga masih memiliki kesenangan di setiap menitnya. 


Dengan durasi selama 115 menit, Jilbab Traveler : Love Sparks In Koreamungkin akan terasa panjang. Tetapi, sang sutradara bisa memanfaatkan hal tersebut untuk mengembangkan setiap karakternya. Dan dia tak melupakan untuk mengemas plot utamanya sehingga tak terlupakan. Meski dengan subplot yang bertambah, tetapi Jilbab Traveler : Love Sparks In Korea tak kehilangan fokus untuk menyelesaikan plot utamanya.

Guntur Soeharjanto mungkin tak terlalu menitikberatkan Jilbab Traveler : Love Sparks In Korea sebagai medium dakwah yang melulu berisikan tentang keagamaan. Itu bisa jadi adalah salah satu faktor performa Jilbab Traveler : Love Sparks In Korea yang memiliki dinamika yang bagus. Meski dengan judul yang sudah secara tak langsung menetapkan segmentasi, tetapi bukan berarti film ini tak bisa dinikmati oleh kalangan yang berasal dari kepercayaan lain.

Jilbab Traveler : Love Sparks In Korea memiliki nilai lain yang ingin disampaikan yaitu tentang keinginan diri sendiri. Meskipun, penyelesaian yang ditampilkan pun terkesan mengada-ada untuk menyenangkan hasrat orang tertentu yang mendampakan kehidupan bahagia selamanya. Atau bahkan terkesan sangat menggampangkan urusan orang dewasa demi mengakhiri ceritanya tersebut. Tetapi, asal sang sutradara memiliki pengarahan yang dapat menarik simpati penontonnya, hal itu masih sah-sah saja sehingga kekurangan itu mungkin tak langsung dirasakan oleh mereka. 


Jangan lupakan segala teknis film yang berhasil memperindah rangkaian cerita kisah cinta segitiga Rania, Hyun Geun, dan Ilhan yang syar’i ini. Film ini menunjukkan keindahan dalam rangkaian teknis mulai dari tata gambar dan musik. Tata musik menjadi kekuatan utama di dalam film Jilbab Traveler : Love Sparks In Korea ini. Film ini mempunyai tata musik yang indah dan penempatannya yang efektif dan pas. Bahkan lagu pengisi film yang ditempatkan secara pas, sehingga terasa emosional di dalam filmnya.

Sehingga, Jilbab Traveler : Love Sparks In Korea adalah sebuah sajian kisah cinta segitiga yang penuh nafas islami. Meskipun sang sutradara tak terlalu menitikberatkan hal tersebut untuk disajikan kepada penontonnya. Pun, bagaimana penggambaran perempuan-perempuan Islam yang masih saja terkesan generik sehingga cara untuk menikmati film ini adalah melupakan hal tersebut. Karena Jilbab Traveler : Love Sparks In Korea menawarkan emosional cerita yang mampu menutupi minus-minus yang ada di dalam filmnya. Pun, memiliki segi teknis yang cantik yang akan memperindah segala presentasi akhir filmnya.

Rabu, 20 Juli 2016

RUDY HABIBIE (2016) REVIEW : Perjalanan Panjang Nan Terjal Sosok Ternama


Pembuat film Indonesia memang tak henti-hentinya membuatkan film biopik dari sosok orang terkenal. Ini layaknya sebuah tren bagi mereka untuk menghipnotis calon penontonnya agar berbondong-bondong pergi ke bioskop. Salah satunya adalah membuatkan sebuah film biopik dari presiden-presiden Republik Indonesia. Pak B.J. Habibie sempat mendulang sukses dengan film kisah cinta sejatinya dengan Ibu mendiang Ainun pada tahun 2012.
 
Seperti berusaha untuk menggaet lebih besar lagi, kisah tentang sosok presiden ketiga Indonesia ini pun dibuatkan sebuah prekuel. MD Entertainment seperti ingin mencoba lagi kesuksesan dari Habibie & Ainun yang mencapai 4,5 juta penonton pada tahun tersebut. Hanung Bramantyo pun didapuk sebagai pengarah dari prekuel cerita kehidupan sang mantan presiden Republik Indonesia kali ini. Rudy Habibie diangkat dari sebuah novel yang ditulis oleh Gina S. Noer.

Beragam komentar muncul sejak film Habibie & Ainun dirilis. Ada yang suka, pun ada pula yang menganggap kesuksesan film tersebut hanya karena jajaran pemainnya yang berlakon sangat apik. Maka, tak heran jika hype yang muncul untuk film Rudy Habibie pun memiliki komentar yang beragam. Maka, Hanung Bramantyo pun perlu pembuktian dalam presentasinya agar Rudy Habibie tak sekedar mendapat tatapan sinis dari calon penikmatnya. 


Lantas, Rudy Habibie pun memberikan sebuah presentasi yang belum bisa memuaskan hati penontonnya. Banyak celah-celah yang perlu diperbaiki dan diperhatikan lebih lagi agar Rudy Habibie menjadi sebuah presentasi yang menyenangkan untuk diikuti. Apalagi, Rudy Habibie memiliki durasi sekitar 140 menit. Jelas, sang sutradara perlu menjaga setiap aspek cerita agar Rudy Habibie tak menjadi sebuah film yang enak diikuti. Sayangnya, Rudy Habibie tak memiliki itu.

Rudy Habibie terpecah menjadi dua babak cerita yang memiliki nada cerita yang berbeda. Cerita pertama tentang bagaimana Rudy Habibie (Reza Rahadian) sedang menjalani kehidupannya sebagai seorang mahasiswa di negara Jerman. Di sana, dia menjadi salah satu mahasiswa yang berprestasi baik bidang akademis maupun non akademis. Namun, kehidupannya tak berjalan mulus ketika Rudy menjadi ketua atas organisasi pemuda Indonesia di sana.

Rudy berusaha untuk mengadakan konferensi tentang industri penerbangan yang dapat membangun Indonesia bersama teman-temannya. Hingga pada akhirnya ia bertemu dengan wanita cantik bernama Ilona (Chelsea Islan) sebagai pemanis cerita cinta Rudy. Di setiap usahanya untuk menemukan solusi atas problematikanya, film ini menggunakan dasar cerita Rudy kecil yang sangat dekat dengan bapaknya (Donny Damara) yang sudah meninggal. Tetapi, terjadi inkonsistensi dalam penyampaian ceritanya sehingga dua plot cerita tersebut menjadi tak senada. 


Proyek ini memang sudah sangat ambisius semenjak film ini belum dirilis oleh MD Entertainment. Dan rasa ambisius film ini semakin menguat terlihat dengan bagaimana presentasi ceritanya secara keseluruhan. Hanung Bramantyo dan Gina S. Noer selaku penulis naskah terlalu ingin menyampaikan semua problematika hidup Habibie muda. Sehingga, konflik film ini pun melebar karena subplot cerita di dalam film ini terlalu banyak. Itulah yang menjadikan presentasi dari sosok Rudy Habibie tak karuan.

Dengan durasi sepanjang 140 menit, ternyata tak menjadikan Rudy Habibie memiliki ruang gerak untuk memunculkan sebuah ekplorasi di satu plot utama dan penyelesaiannya. Alih-alih terfokus atas satu problematikanya, Rudy Habibie pun merumitkan dirinya sendiri. Sang sutradara pun seperti bingung harus menyampaikan apa di dalam filmnya tersebut. Sehingga, penonton tak dapat menangkap tujuan akhir yang ingin dicapai oleh film Rudy Habibie


Hal tersebut juga berkat penyampaian sebuah resolusi masalah yang terkesan dipermudah. Seperti apa yang dipegang teguh oleh sang karakter utama bahwasanya menjadi seseorang harus seperti air yang mengalir, maka itu pula yang dipegang untuk dijadikan pedoman dalam menyelesaikan babak akhir filmnya. Ya, buat saja sang karakter utama seputih mungkin hingga sang antagonis akan berperilaku baik sendiri dengan sang karakter utama. Itulah yang membuat film Rudy Habibie yang kaya akan subplot tetapi minim atas eksplorasi dalam penyelesaiannya.

Habibie & Ainun mungkin berhasil memberikan sebuah representasi atas sosok presiden ketiga Republik Indonesia sehingga membuat penontonnya dapat bersimpati. Tetapi, ada rasa yang berbeda ketika menyaksikan film Rudy Habibie yang juga menceritakan orang yang sama. Rudy Habibie yang terlalu ambisius tak bisa menangkap simpati penontonnya. Adanya sebuah hiper realitas yang terjadi di dalam filmnya, di mana sang pembuat filmnya sendiri tak bisa membedakan fakta dan unsur fiktifnya. Sehingga, Rudy Habibie pun terkesan menjadi sebuah film fiktif atas sosok nyata di masyarakat.

Maka, Rudy Habibie pun terlihat sebagai sebuah adaptasi bebas, tak bisa digunakan sebagai acuan untuk penikmatnya sebagai sebuah perjalanan histori kehidupan pak Habibie. Penonton mungkin akan bertanya-tanya akan validitas atas kebenaran yang tersaji di dalam film Rudy Habibie. Akan muncul pertanyaan-pertanyaan ‘apakah benar sosok Rudy Habibie dulu seperti itu?’. Hal tersebut muncul bagaimana penggambaran yang mungkin terlihat kurang tepat di dalam filmnya. 


Pun, secara teknis, Rudy Habibietak terlihat ada sesuatu yang spesial. Berbeda dengan Habibie & Ainun yang berhasil menangkap gambar-gambar cantik di dalamnya, Rudy Habibie mungkin minim akan itu. Pula dengan tatanan teknis lainnya seperti tata suara dan editing yang terlihat bagaimana Rudy Habibie sepertinya kurang memperhatikan hal tersebut. Sehingga, Rudy Habibie minim akan sesuatu yang spesial yang mempercantik presentasinya.

Rudy Habibie jelas akan menjadi sebuah franchise bagi MD Entertainment yang akan  meraup jutaan penonton, asal formulanya tak membuat penonton jengah. Setelah berhasil menaikkan citra mantan presiden ketiga Republik Indonesia lewat Habibie & Ainun, ternyata Rudy Habibie adalah sebuah penurunan citra atas sebuah representasi yang melupakan sebuah fakta. Maka, jalinan Rudy Habibie yang berdasarkan sosok nyata masyarakat malah menimbulkan sebuah tanya. Pun, dengan presentasi cerita penuh inkonsistensi yang terjalin panjang selama 140 menit. Maka, penonton pun akan penuh perjuangan untuk menyelesaikan cerita hidup pak Habibie muda.

Jumat, 15 Juli 2016

FINDING DORY (2016) REVIEW : The Sidekick Character Got Her Home


Pixar memiliki rekam jejak tak menyenangkan ketika menggarap sebuah sekuel dari film animasi orisinilnya. Cars 2 adalah produk film animasi milik Pixar yang menjadi sebuah bahan renungan atas jatuhnya kualitas cerita film milik mereka. Tetapi, tak sedikit juga produk keluaran Pixar yang memiliki kualitas maksimal sebagai sebuah film sekuel seperti yang dilakukan oleh Toy Story. Filmnya semakin meningkat di setiap serinya dan Toy Story 3 pun memiliki intensitas cerita dan emosional sangat besar di dalamnya. 


Maka, tahun ini datanglah sebuah sekuel film animasi orisinil milik Pixar yang sudah menjadi salah satu film legenda di dalam daftar mereka. Dengan jarak 13 tahun, Pixar memutuskan untuk meneruskan cerita dari Finding Nemo. Tetapi, kali ini yang mendapatkan sorotan lebih adalah karakter pendukung di dalam Finding Nemo yaitu Dory. Keberadaannya di dalam Finding Nemo adalah sebuah celah untuk lebih diperdalam lagi. Karena Dory memiliki keunikan dan latar belakang yang terlihat berpotensi untuk dijadikan sebuah film animasi durasi penuh 90 menit dengan judul Finding Dory.

Tentu, keberadaan Finding Dory sebagai sebuah film sekuel mendapatkan sangsi yang besar sekaligus perasaan gembira bagi penikmatnya. Memberikan sebuah cerita lanjutan bagi salah satu karya legendaris dari Pixar jelas akan dipenuhi akan sebuah ekspektasi yang besar. Sekaligus, penonton akan merasakan ketakutan akan penurunan kualitas dibandingkan dengan Finding Nemo. Andrew Stanton pun mengemban tugas yang berat untuk mengarahkan Finding Dory menjadi sebuah animasi dengan kualitas serupa dengan Finding Nemo. Dan, usaha Andrew Stanton pun menghasilkan sesuatu yang gemilang.


Secara garis besar cerita, Finding Dory mungkin masih menggunakan template yang serupa yaitu sebuah pencarian karakter di dalam filmnya. Tetapi, hal itu adalah sebuah kekonsistenan dari judul film yang diarahkan oleh Andrew Stanton yang menggunakan kata ‘finding’ atau mencari. Finding Dory menceritakan bagaimana sosok Dory (Ellen DeGeneres) yang selama setahun ini hidup dengan Nemo (Hayden Rylance) dan Ayahnya, Marlin (Albert Brooks). Tetapi, ketika setahun itu, Dory teringat kembali tentang seseorang di masa lalunya yaitu keluarganya sendiri.

Dory memiliki penyakit jangka ingatan pendek yang sangat menyusahkan dirinya untuk mengingat sesuatu. Tetapi, sebuah kilas balik menyerang pikirannya dan mengantarkannya ke dalam ingatan tentang kedua orang tuanya. Dory pun pergi mencari orang tuanya yang sudah lama ditinggalkan olehnya.  Petualangan-petualangan baru pun dialami oleh Dory. Tetapi,  petualangan itu tak hanya dialami oleh Dory seorang. Karena Marlin dan Nemo membantu Dory untuk menemukan keluarganya. 


Sebagian besar plot cerita Finding Dory mungkin terkesan sama. Hal itulah yang menjadi perhatian utama dari penonton yang sudah siap siaga jika akhirnya presentasi akhir dari Finding Dory harus berada di bawah ekspektasi mereka. Hanya saja, kekhawatiran itu ternyata ditepis oleh Andrew Stanton dan tim yang berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan sesuatu yang berbeda di dalam Finding Dory yang bisa membuatnya memiliki performa yang sama dengan Finding Nemo.

Finding Dory memiliki susunan plot yang sama dengan film-film petualangan lainnya. Penyusunan misteri dan konflik beserta petunjuk-petunjuknya yang disusun untuk dapat menyelesaikan filmnya dengan baik. Jika dibandingkan dengan Finding Nemo, karya milik Andrew Stanton kali ini memiliki nada cerita yang lebih menyenangkan. Ada semangat untuk menjadikan film animasinya dapat dikonsumsi oleh segmentasinya yaitu anak-anak. Sehingga, Finding Dory berubah tampilan menjadi presentasi film animasi yang ringan.

Tetapi, Andrew Stanton tak serta merta menjadikannya sebagai sebuah film yang ringan begitu saja tanpa ada faktor lain yang membuat Finding Dory menjadi spesial. Ada sebuah injeksi emosi yang begitu kuat di beberapa bagian sehingga Finding Dory masih juga memiliki semangatnya sebagai film rilisan Pixar. Pun, Finding Dory sebagai sebuah film animasi tak hanya menyerang anak-anak sebagai target pasarnya. Andrew Stanton berusaha membuat Finding Dory memiliki sebuah kemasan dan pesan universal yang dapat dinikmati oleh semua kalangan. 


Keistimewaan dari Finding Dory lainnya adalah banyaknya karakter-karakter baru yang sangat banyak. Karakter-karakter tambahan itu memiliki porsi mereka sendiri yang pas sehingga mereka tak hanya sebagai pemenuh layar saja, tetapi juga sebagai pion penggerak cerita yang efisien. Keunggulannya lagi, Andrew Stanton berhasil mengenalkan karakter-karakter tambahan tersebut menjadi sebuah karakter yang disukai oleh penontonnya. Sebut saja Destiny dan Bailey, yang secara tak langsung akan membekas di pikiran penontonnya.

Finding Dory pun memberikan sebuah gambaran tentang kebahagiaan yang sangat sederhana. Finding Dory menampilkan berbagai macam karakter-karakter disfungsional yang menemukan sebuah kesempurnaan dari kehidupan mereka. Hal tersebut datang dari keluarga, entah keluarga secara biologis atau pun sahabat terdekat. Juga, Andrew Stanton menggunakan Finding Dory sebagai medium penyampaian pesan tentang menjadi spesial meski memiliki kekurangan. Terlihat dari karakter Dory yang malah menjadi kiblat karakter lain untuk menentukan perilaku mereka. 


Dan, Andrew Stanton beserta tim berhasil mengemas Finding Dory tak hanya memiliki visual yang sudah tak diragukan lagi, tetapi juga memiliki performa yang sangat baik. Finding Dory memiliki semangat bersenang-senang dengan berbagai pesan penting yang berusaha disampaikan kepada penontonnya. Pun, Andrew Stanton tak lupa untuk memberikan sebuah injeksi emosi di dalam filmnya meski Finding Dory memiliki plot yang memang tak baru lagi. Hanya saja, Finding Dory berhasil untuk mengemas formula usang itu menjadi sebuah sajian yang segar dan hangat ditonton bersama keluarga.

ANANTA (2018) REVIEW : Kisah Manis Yang Tak Biasa

  Setelah terus-terusan menjadi ratu drama dari Screenplay Films, Michelle Ziudith akhirnya memiliki kesempatan untuk mengeksplor dirinya di...