Jumat, 23 September 2016

PETE’S DRAGON (2016) REVIEW : Harapan dalam Film Keluarga Sederhana


Disney lagi-lagi berusaha mengenalkan lagi sebuah ‘charm’ cerita dongeng yang pernah dia miliki di film-film sebelumnya. Tujuannya adalah memberikan sebuah jalinan cerita tanpa pretensi yang dapat dinikmati oleh semua kalangan. Tahun ini ada The Jungle Book dan The BFG yang mengusung penuturan cerita formula lama yang ternyata masih bekerja dalam mengikat penontonnya. Maka, tak salah jika Disney mencobanya sekali lagi lewat sebuah rebootdari karya lama dan dikonversi menjadi lebih baru.
 
David Lowery lah yang dijadikan sebagai sutradara dari reboot Pete’s Dragon di tahun ini. Pintarnya, David Lowery tak mentah-mentah mengadegankan ulang apa yang ada di dalam film sebelumnya. Sang sutradara memberikan revisi dari Pete’s Dragon terdahulu untuk divisualkan kembali menjadi sebuah cerita dongeng yang pas untuk masa kini. Sehingga, David Lowery memberikan visi terbarunya dan menjadikan Pete’s Dragon adalah sebuah film keluarga yang berbeda.

Kesederhanaan adalah sebuah kata kunci untuk memunculkan keajaiban dari film Pete’s Dragon. Tak perlu superioritas teori berlebihan untuk berusaha memahami setiap adegan di film Pete’s Dragon secara mendalam. Film ini tak memiliki sebuah pretensi untuk menjadi sebuah tontonan yang berlebihan, sekedar sebagai sebuah film fantasi keluarga yang memberikan rasa hangat dan menyenangkan penontonnya. Hanya saja, sentuhan dari David Lowery ini akan membuat Pete’s Dragon sebuah tontonan keluarga yang berbeda. 


Penuturan Pete’s Dragon menjadi sangat indah dengan penuh romantisasi yang mungkin tak ada kesan paksaan. Pete’s Dragon bagaikan sebuah bait dari baris-baris puisi yang divisualisasikan lewat beberapa adegan tanpa ada kesan berlebihan. Tujuan Pete’s Dragon dalam sebuah film tentu untuk menumbuhkan kembali kesan-kesan magis yang ada di dalam sebuah film keluarga. Tanpa perlu konflik dengan problematika yang kompleks, tetapi masih dapat menimbulkan sebuah kesan bahwa Pete’s Dragon adalah sebuah film yang tak gampangan.

Alternatif yang ditawarkan dari Pete’s Dragon jelas dari bagaimana David Lowery memceritakan setiap detil cerita dari Pete’s Dragon. Memasukkan unsur-unsur emosi yang kental sehingga penonton akan dengan mudah memberikan simpati kepada karakter Pete atau pun kepada sang naga Elliot. Kisah dari Pete’s Dragon yang seharusnya memberikan sebuah kejadian yang memburukkan penontonnya tetapi David Lowery memberikan secercah cahaya dan harapan atas peristiwa buruk tersebut. 


Dibuka dengan bagaimana Pete kecil yang akan pergi bertamasya dengan keluarganya. Sayangnya, perjalanan tamasya itu pupus karena mobil yang ditumpanginya menabrak sesuatu dan terguling ke dalam sebuah hutan. Pete yang selamat berjalan menyusuri hutan dan bertemu dengan sosok naga besar bernama Elliot. Pete dan Elliot pun menjalin sebuah relasi pertemanan yang sangat erat hingga Pete tak sadar bahwa dia telah tinggal selama 5 tahun di dalam hutan.

Pete (Oakes Fegley) tak sengaja ditemukan oleh petugas hutan, Grace (Bryce Dallas Howard) dan diselamatkan agar mendapat perawatan yang lebih layak. Tetapi, Pete tetap bersikeras kembali ke hutan untuk menemui temannya yaitu Elliot. Tetapi, nyawa Elliot sedang dalam bahaya karena orang-orang berusaha untuk memburunya karena Elliot adalah seekor naga legendaris yang hanya digadang sebagai sebuah mitos.


Pertemanan dua makhluk berbeda, problematikanya mungkin akan sama saja di setiap film dengan tema serupa. Jadi, beberapa orang akan menganggap bahwa Pete’s Dragon akan penuh dengan unsur klise dan generik. Tetapi, yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana David Lowery memberikan sebuah harapan di setiap kejadian dalam Pete’s Dragon. Bagaimana David Lowery juga mengajarkan tentang apa arti merelakan dalam setiap hal di mana orang-orang masih belum tahu benar cara mengatakan hal tersebut.

Arti tentang sebuah harapan pun sudah diperlihatkan di adegan pembuka, bagaimana adegan kecelakaan mobil dikemas dengan visual yang begitu puitis. Tak menyisakan sebuah kesan depresif melainkan menimbulkan kesan melankoli yang lebih pas. Membuka mata penontonnya dengan kata ‘adventure’ yang artinya berpetualang sebagai sebuah harapan bagi Pete. Karakter Pete mempunyai tempat lain untuk membangun referensi dan pengalamannya sendiri untuk berinteraksi. Hutan digunakan sebagai tempat memperkaya itu, yang meski terisolasi tetapi Hutan adalah sebuah harapan bagi manusia untuk tetap bertahan hidup. 


Permainan puisi visual ini tak semata-mata muncul begitu saja. Sebuah pengarahan sinematografi yang kuat dan dipermanis dengan lantunan musik pengantar tanpa ada kesan berlebihan dari Daniel Hart itu lah yang mengangkat gaya penuturan dari David Lowery. Dengan beberapa sokongan dalam hal teknis itu, David Lowery mengajarkan tentang sebuah arti merelakan seseorang. Bagaimana David Lowery menggambarkan dengan adegan Pete sedang kabur dari rumah sakit, menuju ke hutan menemui Elliot.

Diiringi dengan lantunan lagu milik The Lumineers dengan lirik ‘nobody knows how to say goodbye / seems so easy to you try’ menggambarkan perasaan bagaimana Pete sedang mengalami resistensi akan arti sebuah kata ‘selamat tinggal’. Di sini, David Lowery memberikan penggambaran tentang apa itu merelakan dengan menyematkannya pada karakter Pete. Menjadikannya sebagai medium penyampaian pesan-pesan moralitas tanpa melulu harus diekspos dengan derai air mata berlebih. Yang ternyata, hal itu ternyata ampuh menjadi sebuah senjata bagi penontonnya untuk dengan suka rela memberikan sumbangsih air mata kepada kehidupan Pete. 


David Lowery berhasil merangkul segala teknis maupun ikatan emosi dari para pemain filmnya sehingga Pete’s Dragon menjadi sebuah film penuh akan kontemplasi kehidupan dengan sajian universal. Tak memiliki pretensi apapun menjadi sesuatu yang superior, tetapi berhasil membuat penontonnya terenyuh. Alternatif cerita yang minim itu diperkaya dengan bagaimana David Lowery menyampaikan cerita dengan visual-visual cantik yang terlihat seperti sebuah puisi penuh dengan bait-bait romantisasi atas kehidupan pahit milik Pete. Sehingga, tak heran apabila Pete’s Dragon akan dengan mudah merebut perhatian penontonnya yang rindu akan film keluarga yang juga memberikan pelajaran akan arti harapan dan merelakan dengan penyampaian yang lugu layaknya Pete.

Selasa, 06 September 2016

THE BFG (2016) REVIEW : Magic In Its Simplicity [With IMAX 3D Review]


Steven Spielberg sudah bukan lagi orang lama yang berkecimpung di industri perfilman Hollywood. Bahkan, karya-karyanya selalu menjadi sebuah karya klasik yang bisa digunakan sebagai kapsul waktu dan ditonton sepanjang abad. Setelah tahun lalu menggarap sebuah film serius tentang negosiasi amerika dan rusia, kali ini Steven kembali membuat sebuah film fantasi yang dapat ditonton bersama keluarga. Proyeknya kali ini, bekerjasama dengan Disney Studios.

Mengadaptasi karya penulis cerita anak-anak bernama Roald Dahl yaitu The BFG. Jelas, ini bukan ranah baru bagi Steven Spielberg dalam menggarap tema serupa. Proyek ini tentu dinanti-nantikan oleh penonton untuk mendapatkan sebuah film keluarga yang hangat dan menyenangkan untuk ditonton. Dengan tangan Steven Spielberg, proyek ini akan terlihat sangat menjanjikan apalagi dengan nama Disney studios sebagai supervisi dari film ini.

The BFG arahan Steven Spielberg ini layaknya sebuah mimpi di siang bolong bagi pecinta film-film keluarga klasik. Memberikan sebuah efek nostalgia dengan atmosfir film-film fantasi zaman dulu yang hanya memerlukan komposisi film yang penuh kemagisan dan emosi di dalamnya. Dan juga, dipenuhi dengan konflik-konflik yang sederhana. The BFG mencakup semua poin tersebut yang membuatnya menjadi sebuah sajian klasik yang sudah lama idam-idamkan oleh penonton genre ini. Yang meskipun, beberapa kendala di The BFGjuga masih menghiasai filmnya. 


Beberapa penonton mungkin akan menganggap plot cerita dari The BFG ini terlalu sederhana dan tak memiliki alasan. Ya, kelemahan dari The BFG adalah minimnya konflik-konflik besar yang seharusnya dapat semakin mengikat dan memperkaya filmnya. Dengan durasi yang cukup panjang yaitu 115 menit, film ini memang masih kurang memberikan kedalaman di dalam konfliknya dengan pengenalan yang begitu terasa tergesa-gesa.

Ketika penonton berusaha untuk memahami dunia yang dibangun oleh Steven Spielberg di dalam The BFG, ternyata penonton sudah langsung dibawa ke dalam konflik di 15 menit awalnya. Sehingga, ada keterbatasan ruang dalam menyampaikan pesan tentang karakternya. Yang meski begitu, Steven Spielberg akan memperkaya dan menggali lebih dalam lagi karakter-karakter utamanya dengan berjalannya durasi yang juga ikut bertambah nantinya. 


Begitulah problematika Steven Spielberg mengenalkan Sophie (Ruby Barnhill), karakter utama dalam film The BFG yang tinggal di sebuah panti asuhan. Dia suka sekali berjalan-jalan di area panti asuhan di tengah malam. Hingga pada akhirnya, secara tak sengaja dia melihat sosok raksasa besar di sudut jalan yang membuatnya penasaran. Sang raksasa mengetahui bahwa Sophie sedang melihatnya sehingga raksasa tersebut menangkap Sophie ke dunianya.

Sophie dibawa oleh sang raksasa untuk menyembunyikan dunia miliknya kepada umat manusia. Hanya saja, hal tersebut menambah masalahnya sendiri di dunia miliknya. Ada raksasa lain yang berusaha menangkap Sophie untuk dijadikan santapan. Sophie yang sudah lama bersama dengan sang raksasa akhirnya memanggilnya BFG (Mark Rylance) yang diambil dari singkatan Big Friendly Giant dan mengatur rencana agar raksasa lain yang ingin memakan Sophie mendapatkan balasan. 


Penonton mungkin tak berusaha diberitahu siapa itu Sophie dan BFG secara personal. Tetapi, pintarnya Steven Spielberg berusaha untuk menjadikan karakternya menjadi satu kesatuan yang utuh. Spielberg memperlihatkan bagaimana proses interaksi mereka satu sama lain sehingga tumbuh suatu ikatan di antara kedua karakternya yang kuat. Penonton yang pada awalnya kesusahan untuk berkoneksi dengan karakternya, menjadi sangat mudah untuk ikut dalam petualangan karakter Sophie dan BFG melawan para raksasa yang lain.

Kepiawaian Steven Spielberg tak hanya berhenti di situ, bagaimana Spielberg mempunyai visi yang luar biasa berpengaruh di dalam film arahannya. Problematika yang sangat sederhana dan dengan durasi yang panjang, Steven Spielberg memberikan petualangan yang penuh dengan kemagisan. Sehingga, penonton sama sekali tak merasakan rasa bosan saat mengikuti petualangan Sophie dan BFG. Memberikan cita rasa klasik yang mungkin sudah lama sekali absen di film-film dengan genre sejenis. Dan itulah yang menjadi keunggulan dari The BFG sebagai sebuah film keluarga.

Banyak adegan-adegan yang dibuat begitu spektakuler dengan visualisasi yang cantik. Dan tak lupa sentuhan-sentuhan emosi yang dapat membuat penontonnya terenyuh, merasakan betapa hangatnya cerita yang ditampilkan oleh Steven Spielberg di dalam The BFG. Sehingga, plot yang terasa begitu sederhana itu dapat dikemas dan didaur ulang dengan kemasan yang lebih menarik. Meski sekali lagi, Spielberg mengalami kebingungan dalam mengakhiri plot utama film ini yang mungkin terkesan tak terlalu muncul ke permukaan. 


Penawaran penyelesaian konflik yang ada di dalam The BFG mungkin terasa sangat ringan dan memberikan penekanan bahwa film ini diperuntukkan bagi keluarga yang sedang ingin melakukan vakansi instan. Dan juga menjadi poin minus lagi untuk The BFG bagi penonton yang menginginkan penyelesaian yang lebih fantastis lagi. Tetapi, kekurangan itu juga lagi-lagi ditutup dengan epilog yang benar-benar menghangatkan hati penontonnya.

Akan terasa sangat disayangkan bagi penonton yang melewatkan The BFG arahan Steven Spielberg ini untuk disaksikan di layar lebar. Karena The BFG menawarkan sebuah vakansi instan bagi penontonnya ke dunia raksasa yang indah lewat visualisasi yang megah. Pun, dengan cerita-cerita keluarga sederhana yang mungkin akan bermain dengan fantasi penontonnya. Meski perjalanan The BFG dalam menceritakan beberapa karakternya juga masih terlihat buru-buru, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa The BFG masih menyisakan kesan hangat dan penuh petualangan menyenangkan saat film ini telah berakhir.

 

Film ini dirilis dalam format IMAX 3D. Berikut rekapan format IMAX 3D untuk film The BFG arahan Steven Spielberg.
DEPTH



The BFG memiliki kedalaman yang cukup bagus dengan visualisasi dunia raksasa yang setidaknya dapat menambah poin jika disaksikan dalam format IMAX 3D
POP OUT 
 
The BFG tak memiliki efek Pop Out yang mencolok mata penontonnya. Sehingga, mungkin format 3D atau IMAX 3D ini akan mengecewakan penontonnya yang menantikan format ini. 
Mungkin, The BFG akan terasa wajib untuk ditonton dalam format IMAX 3D, karena format ini memaksimalkan visualisasi dunia yang diarahkan oleh Steven Spielberg. Hanya saja, ketika menantikan efek Pop Out, tentu format ini akan mengecewakan penontonnya. Sehingga, menontonnya dalam format ini mungkin akan menjadi pilihan tergantung selera.

Senin, 05 September 2016

NERVE (2016) REVIEW : Kontemplasi Kehidupan Era Digital Yang Menyenangkan


Era digital terkadang membuat orang berpindah medium untuk saling berkomunikasi dengan satu sama lain. Bahkan, sebuah tujuan hidup yang utama pun terkikis akan suatu ilusi popularitas semu yang ditawarkan oleh Dunia Maya yang digunakan oleh banyak orang. Sosial Media tak bisa dipungkiri menawarkan suatu kelebihan luar biasa dalam membuat ruang publik baru bagi masyarakat. Pun, keberadaannya juga menjadi sebuah polemik yang luar biasa besar.
 
Dan itulah, premis dasar yang berusaha diangkat oleh ‘Nerve’ buku karya Jeanne Ryan yang siap diadaptasi ke dalam format layar lebar. Duo sutradara Henry Joost dan Ariel Schulman siap mengarahkan buku tersebut di bawah naungan Lionsgate. Dibintangi oleh Emma Roberts dan Dave Franco, film Nervemenjadi sebuah film young-adult baru yang mengangkat tema dengan relevansi yang besar bagi para remaja masa kini.

Problematika tentang dunia maya ataupun media sosial, mungkin akan relevan dengan rentang usia yang universal. Tetapi, Nerve memiliki poin sendiri dalam dasar ceritanya yang membuat film ini sebagai sebuah film Young-adult. Di sanalah poinnya, segmentasi film ini jelas ditujukan kepada remaja yang sedang mengalami transisi akan sifatnya menuju ke sebuah kedewasaan. Pun, remaja mayoritas adalah pengguna media sosial aktif. Film ini akan menjadi sebuah tamparan keras bagi remaja di luar sana yang sangat menggandrungi apa yang mereka konsumsi di media sosial. 


Bukan hanya itu, Nerve juga menjadi sebuah gambaran tentang media sosial yang ingin mengonstruksi identitas atau jati diri seseorang. Apa yang mereka perlihatkan dalam media sosial adalah pilihan kalimat atau kata yang menjadi sebuah bahasa dengan maksud sebagai penyampai pesan bagi orang lainnya. Di dalam film ini, Nerve berusaha untuk melemparkan realitas tersebut kepada penontonnya lewat karakter yang ada di dalam filmnya.

Begitupun karakter yang ada di dalam film Nerve yang berusaha menentukan dirinya sebagai ‘Player’ atau ‘Watcher’. Pilihan tersebut menjadi sebuah bahasa yang dapat sebagai sebuah representasi atas diri mereka dalam media sosial. Sehingga, pengguna media sosial dapat menentukan identitas mereka di dalam ruang publik berbasis koneksi internet tersebut. Ruang publik baru tersebut digunakan sebagai sebagai orang-orang yang tak punya kesempatan untuk mendapatkan ruang bicaranya di dunia nyata. Seperti yang dialami oleh salah satu karater di dalamnya bernama Venus. 

 
Venus (Emma Roberts) adalah sosok yang pendiam atas segala masalahnya, bahkan dia tidak berani bicara kepada Ibunya, bahwa dia diterima di perguruan tinggi seni yang dia idamkan. Sosoknya yang tertutup pun mempengaruhi kehidupan asmaranya. Venus diam-diam mengagumi sosok JP (Brian Marc). Sydney (Emily Meade), teman Venus berusaha untuk mengenalkannya dengan JP dan ternyata malah membuatnya sakit hati dengan Sydney maupun JP.

Venus kesal dan ingin melakukan sesuatu yang berbeda dan mengambil langkah berani di dalam hidupnya. Nerve, permainan yang berbasis media sosial  yang pernah dikenalkan oleh Sydney,  merebut perhatian Venus. Maka, masuklah Venus menjadi pemain di dalam permainan tersebut dan mendapatkan setiap tantangan dari permainan itu. Dan bertemulah dia dengan Ian (Dave Franco), yang juga pemain di dalam Nerve. Mereka berdua menjalani misi bersama tetapi mereka semakin lama semakin terjebak dengan permainan itu dan menjadi ‘tawanan’. 


Ada sebuah representasi karakter yang disematkan kepada sosok Venus. Bagaimana media sosial dapat membentuk sebuah bahasa dari seseorang yang bisa sangat berbeda dengan kepribadian orang tersebut di kehidupan nyata. Venus memilih untuk menggunakan bahasa 'player' untuk memperlihatkan identitasnya di dalam permainan 'Nerve'. Hal akan relevan dengan banyak orang yang berusaha membentuk identitas-identitas lain di media sosial mereka. Dan bisa saja, di setiap sosial media mereka berusaha untuk memiliki identitas mereka yang berbeda. Tergantung pilihan bahasa mana yang mereka gunakan.

Sebagai sebuah film thriller dan suspense, Nerve menawarkan sebuah problematika yang baru untuk disaksikan oleh penontonnya. Henry Joost dan Ariel Schulman memiliki rasa remaja masa kini yang dikemas di dalam film ini sehingga pas untuk segmentasinya. Berkat sentuhan-sentuhannya itu, film ini terlihat begitu memiliki gaya yang menarik untuk diikuti. Menonjolkan benar bahwa setiap karakternya telah berada di dalam era digital yang tak dapat dipisahkan dari manusia.

Mulai dari adegan pembuka yang memperlihatkan layar PC milik Venus beserta dunia-dunia sosial medianya untuk saling berkomunikasi, bahkan dengan teman dekatnya sendiri yaitu Sydney. Bagaimana di era digital benar-benar mengubah cara berkomunikasi antar manusia berpindah ruang dengan budaya-budaya cyber-nya yang baru. Berkomunikasi dengan terpisah jarak pun bukan hanya dipuaskan lewat suara yang ada di telepon, tetapi lewat audio visual seperti yang dilakukan Sydney dan Venus. 


Nerve tak berusaha terlihat ambisius dengan dasar ceritanya yang benar-benar thought-provoking. Henry Joost dan Ariel Schulman berusaha keras untuk menumpulkan pesan-pesan dominan tersebut dengan sajian yang ringan. Dalam 96 menit, Nerve sangat padat cerita bahkan memiliki banyak sekali keseruan-keseruan yang dapat dinikmati di menit-menit berikutnya. Sayangnya menuju bagian ketiga film, Nerve mungkin seperti kelelahan dan berusaha mengakhiri filmnya dengan mudah. 

Selama 70 menit berlangsung, Henry Joost dan Ariel Schulman terlihat keasyikan untuk memperlihatkan setiap tantangan yang diberikan oleh Nerve kepada karakter Venus dan Ian. Tetapi, ketika menuju sebuah konklusi, atmosfir film berubah menjadi sesuatu yang lain dari apa yang berusaha ditawarkan semenjak awal film. Pun, muncul sebuah kemudahan-kemudahan yang lainnya agar Nervebisa mengakhiri filmnya dan menjadi kelemahan di dalam filmnya. 


Tetapi, hal tersebut bukan menjadi masalah di dalam film Nerve. Minor-minor kecil itu tak menyurutkan segala keasyikan dan keseruan yang ditawarkan oleh Henry Joost dan Ariel Schulman sejak awal filmnya berlangsung. Pun, naskah dari Jessica Sharzer berhasil mengadaptasi karya Jeanne Ryan itu menjadi sebuah sajian film yang nampak Stylish. Pun, Nerve mempunyai pesan-pesan yang juga sangat dalam bagi penontonnya yang sedang hidup dalam dunia digitalnya. Lantas, film ini dapat menjadi sebuah kontemplasi dengan cara yang menyenangkan bagi penontonnya yang masih saja berkutat dengan media sosial beserta likes, views, atau followersmereka. Nerve akan menampar keras problematika tersebut dengan caranya sendiri. 
 

ANANTA (2018) REVIEW : Kisah Manis Yang Tak Biasa

  Setelah terus-terusan menjadi ratu drama dari Screenplay Films, Michelle Ziudith akhirnya memiliki kesempatan untuk mengeksplor dirinya di...