Rabu, 12 Oktober 2016

A MONSTER CALLS (2016) REVIEW : Film Fantasi Penuh Emosi

 

Jika sudah pernah membaca A Monster Calls milik Patrick Ness, tentu kalian akan menantikan bagaimana film adaptasi dari buku yang menang penghargaan. Ya, A Monster Calls mendapatkan kesempatan untuk akhirnya menjadi sebuah perjalanan visual adaptasi. Jika sudah pernah membaca dan bermimpi akan diadaptasi menjadi film, mungkin akan terpikirkan nama Guilermo Del Toro yang mumpuni dalam menyampaikan pesan tersebut ke dalam sebuah gambar bergerak.

Sayangnya, Guilermo Del Toro tak menjadi sutradara dari A Monster Calls. Proyek ini ternyata berada di tangan J.A. Bayona yang sudah pernah menangani film-film serupa. Sebut saja The Orphanage dan The Impossible, rasanya dua karya miliknya sudah cukup menjadi referensi atas kapabilitas J.A. Bayona sebagai sutradara. Sehingga, A Monster Calls diarahkan oleh J.A. Bayona rasanya sudah cukup berpengaruh besar dalam gaya penuturan film adaptasinya.

Beruntungnya lagi, A Monster Calls masih menggunakan Patrick Ness sebagai penulis naskahnya. Harapan film A Monster Calls sebagai sebuah film adaptasi yang mencuri perhatian seakan-akan semakin besar. Bagi pembaca mau pun non pembaca, boleh saja berharap baik akan performa A Monster Calls  karena J.A. Bayona dan Patrick Ness mempunyai visi yang sama dalam mengarahkan proyek adaptasi ini. A Monster Calls bukan hanya sekedar sebuah film fantasi dengan nuansa gelap yang sekedar bersenang-senang. Ada pelajaran tentang arti kehidupan dan nilai-nilai lainnya yang bermain sangat kuat. 


A Monster Calls bisa dibilang adalah sebuah film tentang transisi fase usia yang dialami oleh anak-anak menuju remaja. Problematika yang dilematis saat mengalami transisi tersebut ini yang berusaha digali di dalam A Monster Calls, baik dalam buku maupun film adaptasinya. Faktor pembeda adalah pemilihan pendekatan yang dilakukan A Monster Calls yang lebih condong ke arah fantasi. Hal ini mungkin dipilih agar audiens sebagai komunikan mencari makna yang lebih dalam lagi terhadap pesan yang disampaikan di dalam A Monster Calls.

J.A. Bayona berhasil menangkap segala semangat yang sudah ditulis oleh Patrick Ness di dalam A Monster Calls. Sehingga, penonton akan mendapatkan dampak yang luar biasa kuat setelah menonton A Monster Calls. Meski dengan pemilihannya sebagai film Fantasi, A Monster Calls punya cara untuk menyampaikan pesannya dengan emosional. Tujuannya adalah A Monster Calls tak hanya sebuah film fantasi yang mewah tetapi juga hangat dan tak terasa air mata akan jatuh ke pipi saat adegan kunci di dalam film ini. 


Menceritakan bagaimana Conor (Lewis MacDougall) yang sehari-harinya berusaha hidup mandiri. Dia tinggal bersama dengan Sang Ibu (Felicity Jones) yang sedang mengidap penyakit. Conor memiliki kehidupan yang bahkan jauh dari kata menyenangkan, yang mana membuatnya lebih suka untuk membangun dunianya sendiri lewat gambar-gambar yang ia buat. Suatu hari, dia melihat pohon disudut lain rumahnya dan tepat pada jam tertentu pohon tersebut berubah menjadi Monster yang mendatangi Conor.

Sang monster (Liam Neeson) berusaha untuk menanyai Conor tentang banyak hal terutama dengan mimpinya belakangan yang sering membangunkannya. Namun, Conor enggan menceritakan detil cerita tentang mimpi yang dialaminya. Tetapi, Monster tersebut memaksa Conor untuk menceritakan segala hal tentang mimpinya setelah Monster tersebut selesai menceritakan tiga cerita kepadanya. Jika tidak, Conor akan mendapatkan balasan yang setimpal. 


Keanggunan J.A. Bayona dalam mempresentasikan adaptasi A Monster Calls inilah yang menjadi kekuatan. Pengarahan J.A. Bayona berhasil menumbuhkan simpati kepada penontonnya terhadap karakter-karakter rekaan A Monster Calls. Sehingga, A Monster Calls punya kemasan yang berbeda dengan pemilihan genre-nya. J.A. Bayona perlahan-lahan membangun relevansi dari karakter ke penonton, sehingga karakternya punya kesempatan untuk mengembangkan dirinya atau menjadi multidimensional.

A Monster Calls mengusung bagaimana dilema kehidupan Conor yang sedang mengalami transisi. Mengenalkan bagaimana problematika sosial tentang ruang opini pribadi seseorang yang berhak mendapatkan porsi yang sama. Conor yang menuju remaja, berusaha untuk mendapatkan atensi dari berbagai pihak, apalagi keluarganya. Bagaimana Conor sudah mendapatkan wewenang untuk memutuskan sendiri apa yang dia inginkan dalam hidupnya.

Juga, A Monster Calls menceritakan tentang bagaimana menyayangi orang yang benar-benar dekat dengan kita. Mencintai yang tak membebani, dan juga berusaha agar orang yang dekat tersebut juga bahagia dengan kita. J.A. Bayona menancapkan nilai-nilai kehidupan itu kepada kehidupan Conor dengan dramatisasi yang sangat pas. Sehingga, A Monster Calls mempunyai titik puncak yang benar-benar tak bisa ditahan oleh penontonnya untuk tergugah hatinya bahkan menitihkan air matanya dengan sukarela. 


Jangan lupakan juga bagaimana setiap aktor dan aktrisnya yang mampu bermain seirama dan semakin memperkuat semangat A Monster Calls sebagai sebuah film yang kuat. Lewis MacDougall sebagai pendatang baru berhasil membuat karakter Conor sangat hidup dan dekat dengan penontonnya. Ikatan emosinya juga begitu nyata dengan Felicity Jones yang berperan sebagai Ibu. Perannya dengan screen time yang minimalis berhasil mematahkan hati penontonnya.

Dengan segala alternatif dan pengemasan di dalamnya, A Monster Calls adalah sebuah film transisi fase kehidupan anak-anak ke remaja dengan kemasan fantasi bernuansa kelam. J.A. Bayona berhasil mengarahkan sebuah adaptasi dari buku Patrick Ness dengan bangunan emosi yang sangat kuat. Pun, A Monster Calls punya banyak nilai-nilai dan pesan-pesan sosial yang tertangkap di dalamnya. Karakter-karakternya yang multidimensional akan mempermudah penontonnya untuk menaruh simpati dan pada adegan kunci di dalam film A Monster Calls penontonnya akan sukarela menitihkan air mata. Dan sekali lagi, J.A. Bayona berhasil bermain dengan emosi penontonnya dengan dramtisasi yang pas. Bagus!

ATHIRAH (2016) REVIEW : Urgensi, Relevansi, dan Intimasi dalam Film Biografi


Urgensi, kata yang tepat dan selalu menjadi poin menarik di setiap film-film tentang seseorang atau biografi. Menilik tujuan seperti apa yang ingin diwujudkan lewat beberapa sineas setelah menyelesaikan proyek film biografi. Beberapa poin ini memang terkadang masih terkesan bias, karena masih ada kepentingan politik yang berusaha ingin disampaikan. Memang, film sejatinya bisa digunakan sebagai alternatif penyampaian pesan, film memiliki misi dari pembuatnya. Sehingga, metode ini kerap digunakan sebagai medium untuk membangun atau mengembalikan sebuah citra.

Juga ada Relevansi, kata yang tepat setelah menonton sebuah film biografi. Apa yang berusaha dibangun dan ingin disampaikan oleh menonton akan berdampak pada bagaimana seseorang memiliki paradigma dengan sosok tersebut. Dua poin itu juga yang membuat Riri Riza ingin mengabadikan secara visual tentang sosok Ibu Jusuf Kalla bernama Athirah. Memoir tentang Athirah telah pertama kali dituliskan ke dalam bentuk buku oleh Albethiene Endah. Sehingga, ‘Athirah’ versi film ini adalah adaptasi dari buku dengan judul sama.

Delusi adalah hal yang terkadang mewarnai sebuah film biografi yang sedang membangun citra kembali. Maka, alih-alih sebagai sebuah cerita dari orangnya asli, semuanya nampak seperti sebuah cerita fiksi. Sehingga, orang-orang terkadang mempertanyakan sebuah verifikasi dalam sebuah kisah dalam filmnya sebagai komunikator. Lantas, hal tersebut sepertinya membuat Riri Riza berhati-hati dalam menyampaikan pesan dalam film ‘Athirah’. Kekuatannya ada pada narasi dari naskah adaptasi yang ditulis secara kooperatif oleh Riri Riza dan Salman Aristo serta pengarahannya yang detil. 


Athirah (Cut Mini) dan Puang Haji Kalla (Arman Dewarti) membangun sebuah keluarga kecil yang bahagia dan serba berkecukupan. Puang Haji Kalla menjadi sosok yang dihormati di berbagai kalangan orang Makassar. Tetapi, akan sesuatu hal, cengkrama antar Puang Haji Kalla dan Athirah mengendur tiba-tiba. Nyatanya, Puang Haji Kalla telah memikat hati wanita lain dan Athirah merasakan sebuah pengkhianatan pernikahan yang amat dahsyat.

Tak lama setelah itu, Athirah harus bangkit dan meninggalkan segala jenis sakit hatinya agar dapat terus bertahan hidup. Menghidupi anak-anaknya terutama Ucu (Christoffer Nelwan), yang selalu senantiasa mendampingi transisi kehidupan Ibundanya. Athirah sedikit demi sedikit menguatkan hatinya agar tak biasa bergantung dengan Puang Haji Kalla. Tetapi, problematika yang muncul di kehidupan Athirah semakin dilematis. Puang Haji Kalla kembali ke Athirah dan membuatnya mengingat akan puing-puing masa lalunya. 


Inspiratif tanpa perlu membuatnya seperti memberikan dakwah adalah tujuan Riri Riza dalam mengemas Athirah. Alih-alih menekankan Athirah sebagai sebuah film Inspiratif, nyatanya Riri Riza ingin membangun adanya relevansi di benak penonton. Muncul sebuah kesan, bahwa Athirah adalah sosok yang perlu diberi sorotan lebih, apalagi, sosoknya sebagai perempuan. Tak perlu sebuah peristiwa hidup yang megah sebagai titik balik, hanya sebagai seorang perempuan biasa yang dapat bertahan hidup sendiri menjadi kekuatan dari sosok Athirah ini.

Terlepas dari Athirah adalah sebuah film yang sedang menceritakan tentang seseorang di balik sosok mahsyur negeri ini, Riri Riza memanfaatkannya sebagai medium berbicara tentang perempuan. Riri Riza merangkum segala pesan tentang kesetaraan gender dengan penuh elegansi dalam bertutur, bukan sekedar menunjukkan superioritas ilmu tentang feminisme secara bar bar. Permainan narasi  dalam film Athirah adalah kunci utama dari film ini. Tanpa perlu bicara banyak dengan dialog yang menggurui, Athirah akan berdampak besar kepada penontonnya dengan visual kuat yang dimiliki.

Athirah adalah gambaran seseorang perempuan lintas zaman yang masih memiliki relevansi dengan problematika masa kini. Bagaimana Athirah sebagai seorang perempuan dapat menjadi tolak ukur dengan berbagai atribut yang tak jauh dari kehidupan sosial masyarakat di sekitarnya. Terutama sosial masyarakat di Indonesia yang masih menganut segala pendekatan budaya timur dalam menjalin interaksi. Menunjukkan bahwa Athirah yang mewakili perempuan Indonesia juga masih memiliki keterbatasan dalam menyampaikan opini dan haknya sebagai perempuan dan manusia.


Di sinilah Riri Riza bermain dengan medium yang dia miliki. Film ‘Athirah’ bukan hanya sebagai film tentang seseorang, tetapi juga bermain dalam wilayah suara untuk perempuan Indonesia. Sehingga, tak ada eksklusivitas yang terjadi dalam sosok Athirah dan tak menimbulkan efek alienasi antara karakter dan penontonnya. Penonton yang minim ilmu feminisme dan gender pun masih bisa mengambil sebuah kesimpulan besar tentang kekuatan seorang wanita di dalam lingkungan sosial masyarakat.

Intimasi, poin yang ingin dibangun lagi oleh Riri Riza lewat bagaimana karakter-karakter menampakkan diri di kamera. Dilema Athirah sebagai seorang karakter di dalam film, --bahkan sosok penting di dunia nyata --ini berusaha membangun relasi dengan penontonnya. Cara Riri Riza dalam membangun intimasi itu adalah dengan memperlihatkan raut mukanya lewat pencahayaan dan pengambilan gambar yang tepat. Maka, penonton akan dapat mengidentifikasi tujuan dari Riri Riza di dalam film ‘Athirah’ mengenai sosok Athirah itu sendiri. Penonton berusaha berkoneksi dengan Athirah yang sedang berusaha membicarakan posisinya di bumi ini.


Riri Riza berusaha membangun pesan non verbal yang masih mempunyai sisi naratif yang luar biasa unik, berbeda dengan beberapa film yang berusaha penuh metafora lainnya. Athirah memang tak menyampaikan pesannya terlalu gamblang, tetapi masih punya cara dan Riri Riza tahu akan kewajibannya untuk menuntun penontonnya mendapatkan pesan tersebut. Masih ada sebuah plot linear yang ada di dalam Athirah sehingga penonton merasakan sebuah transisi yang terjadi di dalam para karakternya.

Tak perlu dialog yang berakumulasi, nyatanya film Athirah mampu memberikan sebuah permainan emosi yang Indah sebagai sebuah film biografi. Film Athirah bermain secara visual dengan transisi seperlunya yang dapat menimbulkan sebuah kontemplasi yang tak manipulatif. Penyampaian pesan yang dapat diterima secara luas adalah prinsip yang masih dipegang teguh oleh Riri Riza, sehingga film Athirah tak melupakan kewajibannya sebagai pembuat pesan dibalik idealisme miliknya saat mengemas pesan ini sendiri. 


Riri Riza tak perlu berusaha keras menjadikan filmnya sebuah film biografi inspiratif, tetapi tujuannya adalah untuk membangun ‘Athirah’ mendapat atensi secara visual. Tak perlu terlalu bar bar menunjukkan superioritas akan berbagai ilmu dan teori, ‘Athirah’ adalah sebuah pesan universal untuk mempertanyakan posisi perempuan Indonesia masa kini saat menyampaikan sebuah opini. Meski ‘Athirah’ minim akan  pesannya secara verbal, ini adalah kekuatan dari filnya sendiri. Masih ada kewajiban Riri Riza untuk menyampaikan pesan kepada penontonnya dengan caranya sendiri. Bukan hanya sekedar kontemplasi yang manipulatif atau terkesan seperti cerita fiksi, tetapi ada cara sendiri lewat personifikasi yang tampil penuh akan urgensi, relevansi, dan intimasi yang hadir memikat penontonnya.  
 

Senin, 03 Oktober 2016

WARKOP DKI REBORN : JANGKRIK BOSS PART 1 (2016) REVIEW : Semangat Nostalgia Atas Nama Komersialisasi


Siapa yang tak kenal dengan trio komedian Dono, Kasino, dan Indro? Nama mereka menjadi salah satu sosok legendaris yang dikagumi oleh banyak orang yang pernah mengikuti zaman kejayaan mereka. Mereka menyebut diri mereka ‘Warkop DKI’ yang sudah memiliki banyak sekali film-film dan serial televisi. Dono dan Kasino yang telah wafat, membuat grup komedian ini sudah absen selama beberapa tahun. Beberapa pihak ingin sekali ‘menghidupkan kembali’ sebuah ikon komedi legendaris di Indonesia ini.
 
Maka, Falcon Pictures yang sudah sering bekerjasama dengan Indro Warkop akhirnya melahirkan kembali trio komedian ini dengan sosok baru. Bersama dengan Anggy Umbara, Falcon Pictures berinisiatif untuk membuat Warkop DKI Reborn yang tetap mengangkat nama Dono, Kasino, dan Indro tetapi dengan wajah yang berbeda. Abimana Aryasatya, Vino G. Bastian, dan Tora Sudiro dipercaya untuk melakonkan sosok legendaris ini ke dalam sebuah film berjudul Jangkrik Boss yang dibagi menjadi dua bagian.

Jelas, proyek ini mendapatkan sorotan yang sangat besar dari calon penonton karena rasa penasaran mereka terhadap kapabilitas ketiga aktornya. Word of Mouth dari film ini pun semakin besar dan mendapatkan antusiasme yang cukup tinggi. Bagusnya, Ketiga aktor tersebut, secara performa, sangat berhasil menangkap semangat dari Warkop DKI lama. Hanya saja, problematika muncul dari bagaimana Anggy Umbara mengarahkan filmnya dan naskah dengan treatment komersialisasi.


30 menit awal terlihat benar bagaimana tingkah laku Abimana Aryasatya, Tora Sudiro, dan Vino G. Bastian yang berusaha keras meyakinkan penonton bahwa mereka sangat kompeten untuk melahirkan kembali komedian legendaris tersebut. Muncul banyak sekali sketsa-sketsa komedi yang menggambarkan dan memiliki semangat Warkop DKI kala itu. Komedi-komedi slapstick yang dikemas ulang dengan isu-isu masa kini sehingga penonton akan terasa sedikit relevan.

Sehingga ketika sketsa-sketsa penuh tribute itu berhenti dan kewajiban Anggy Umbara untuk memberikan jalan cerita dari Jangkrik Boss Part 1 ini malah menjadi sebuah perjalanan tensi yang menurun. Plot cerita di dalam Jangkrik Boss Part 1 menjadi sebuah problematika utama yang seharusnya perlu ditinjau ulang agar Warkop DKI Reborn tetap menjaga excitement yang sudah terlanjur muncul di awal film. Sehingga, penonton mungkin akan merasa kecewa dengan perjalanan cerita yang belum tuntas tersebut.


Tingkah laku Dono (Abimana Aryasatya), Kasino (Vino G. Bastian), dan Indro (Tora Sudiro) sebagai CHIPS yang seharusnya membantu menertibkan keadaan ternyata malah membuat banyak sekali kekacauan. Sehingga, mereka perlu untuk membereskan banyak sekali hal yang menjadi tanggung jawab mereka. Mereka pun diberi hukuman untuk membayar denda sebanyak  8 Milyar. Atas ulahnya tersebut mereka mencari cara agar mendapatkan uang itu.

Mulai dari meminjam uang dari saudara Dono hingga menjual barang-barang yang dimilikinya. Hingga suatu ketika, mereka menemukan sebuah peta harta karun dari kantong milik seseorang yang tergeletak di tengah jalan. Akhirnya, Dono, Kasino, dan Indro berusaha untuk menemukan harta karun tersebut yang ternyata membawa mereka ke negeri Jiran, Malaysia. Tetapi, ketika sampai, Peta tersebut terbawa oleh seorang wanita berbaju merah yang memiliki tas yang sama dengan mereka. 


Di sinilah problematika dari Warkop DKI Reborn : Jangkrik Boss Part 1. Keseluruhan film mungkin sudah dirangkum ke dalam sebuah sinopsis pendek di atas. Bagian kedua film Jangkrik Boss nanti, mungkin Anggy Umbara akan lebih berusaha untuk menyampaikan ceritanya. Mungkin banyak yang mengatakan bahwa sejak kapan film-film Warkop DKI mementingkan plot di dalamnya, tetapi yang perlu ditekankan di sini  adalah bagaimana Anggy Umbara memberhentikan ceritanya yang baru jalan 30 menit.

Di dalam Jangkrik Boss Part 1, Anggy Umbara lebih memaksa penonton untuk menerima nostalgia akan segala bentuk sketsa komedi milik Warkop DKI lama di beberapa adegan awal. Segala sketsa komedi itu dengan sukses menyampaikan segala keinginan Anggy Umbara untuk menyelesaikan misi tersebut. Tetapi, keambisiusan dalam menyelesaikan misi itu ternyata berlangsung terlalu lama sehingga berdampak dalam bagaimana Anggy Umbara menyampaikan pesan lain dalam sebuah plot.

Plot dalam cerita menjadi bias di antara sketsa-sketsa komedi yang berada di dalam filmnya. Sudah ada i'tikad baik dari Anggy Umbara yang berusaha untuk memberikan briefing tentang konflik dalam Jangkrik Boss Part 1. Terdistraksi dalam menjalankan plot utama dikarenakan oleh subplot yang bertebaran mungkin akan wajar, tetapi Anggy Umbara terlalu lama bercengkrama dengan segala gangguan tersebut. Sehingga, Jangkrik Boss Part 1 tak menjalankan pion ceritanya secara utuh sehingga itu menjadi poin yang harus diperbaiki lagi.


Perjalanan dan pengenalan kembali karakter Dono, Kasino, dan Indro di dalam Jangkrik Boss Part 1 sudah terasa cukup. Butuhnya keefektifan dari Sutradara film inlah poin yang perlu diperhatikan, yang mana seharusnya sudah dapat diprediksikan sebelumnya tanpa memotong plot cerita --yang bahkan terasa kasar.  Jangkrik Boss Part 1 terasa sibuk menumpulkan pemikiran penontonnya dengan berbagai terpaan sketsa komedi di dalamnya sehingga membentuk sebuah realita baru yang melupakan hak penonton dalam mendapatkan sebuah pesan yang utuh.

Plot cerita yang belum tuntas bila diiringi dengan problematika penuh kompleksitas dalam penuturannya mungkin masih mendapat kewajaran dari penonton. Tetapi, plot dalam Warkop DKI Reborn : Jangkrik Boss Part 1 ini pun tak memiliki kompleksitas yang rumit dan membaginya menjadi dua bagian akan menimbulkan respon setelah menonton yang membuat penontonnya berkubu. Ada yang menantikan film selanjutnya, atau mungkin jera untuk mengikuti film-film selanjutnya.

Atas nama komersialisasi, Warkop DKI Reborn : Jangkrik Boss membagi diri menjadi dua bagian dengan jumlah penonton yang sudah mencapai 6 juta. Tetapi, sekali lagi, penonton pun perlu mendapatkan sebuah pesan yang utuh dalam sebuah film. Kontinuitas yang dibangun oleh sutradara atau pun rumah produksi dalam komersialisasi sebuah produk mereka mungkin sudah tak bisa dihindari lagi. Hanya saja, perlu treatment bagaimana mereka mengemas sebuah kontinuitas produk mereka tanpa melupakan hak penontonnya untuk mendapatkan sebuah pesan yang utuh. 


Maka dari itu, Warkop DKI Reborn : Jangkrik Boss Part 1 ini memiliki banyak sekali potensi untuk menjadi sebuah sajian universal  penonton Indonesia. Pun, aktor-aktornya berhasil mengembalikan semangat-semangat Warkop DKI lama sehingga akan menimbulkan efek nostalgia. Tetapi, bagaimana Anggy Umbara lupa melaksanakan kewajibannya untuk menyampaikan sebuah pesan atau cerita secara utuh ini perlu diperhatikan lagi. Membagi Jangkrik Boss ke dalam sebuah dua bagian mungkin tak salah atas nama komersialisasi, tetapi tambahkan saja beberapa poin yang pada akhirnya dapat membuat penonton mengerti bahwa memang Jangkrik Boss ini memiliki urgensi menggunakan template ini.

ANANTA (2018) REVIEW : Kisah Manis Yang Tak Biasa

  Setelah terus-terusan menjadi ratu drama dari Screenplay Films, Michelle Ziudith akhirnya memiliki kesempatan untuk mengeksplor dirinya di...