Jumat, 27 Januari 2017

CEK TOKO SEBELAH (2016) REVIEW : Komedi Dengan Misi Mulia yang Belum Maksimal


Kesuksesan Ngenest The Movie, membuat Ernest Prakasa dipercaya oleh Starvision untuk membuat karya. Kesuksesannya pun tak sekedar dalam meraih angka penonton, tetapi secara kualitas pun Ngenest The Movie bisa melampaui ekspektasi penontonnya. Tak hanya dipercaya oleh rumah produksi, karya-karya Ernest Prakasa akan dinantikan oleh penikmatnya. Di tahun 2016 lalu, Ernest Prakasa kembali menghadirkan sebuah film komedi dengan misi yang sangat besar untuk disajikan kepada penontonnya.
 
Lewat ‘Cek Toko Sebelah’, Ernest Prakasa berusaha untuk kembali membuktikan kemampuannya dalam mengarahkan sebuah film. Genre komedi ini sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Ernest Prakasa tetapi ada keseriusan yang lebih diperhatikan di film keduanya. Adanya Dion Wiyoko, Adinia Wirasti, Chew Kin Wah, dan mengambil keputusan berani mendatangkan wajah baru seperti Gisela, menunjukkan bahwa Ernest Prakasa di film keduanya ini sudah tak main-main.

Cek Toko Sebelah lagi-lagi mengangkat tema ras Tionghoa yang memang dekat dengan pribadi Ernest Prakasa. Tetapi, poin utama dari film Cek Toko Sebelah bukan lah tentang Tionghoa sebagai minoritas di Indonesia. Poin utama dari Cek Toko Sebelah adalah tentang keluarga, pesan yang begitu universal bagi siapapun. Maka dari itu, Cek Toko Sebelah memiliki misi yang sangat besar sebagai sebuah film komedi karena misinya untuk menyampaikan pesan yang serius itu dengan kemasan ringan. 


Misinya mulia, pesannya pun hangat, tetapi Cek Toko Sebelah yang berusaha keras untuk meminimalisir filmnya agar tak terlalu berat ini menjadi bumerang di keseluruhan film. Sebagai sebuah film komedi, tak dapat dipungkiri bahwa Cek Toko Sebelah berhasil menghibur penontonnya. Tetapi, hal tersebut bukan berarti menjadi kabar baik. Cek Toko Sebelah memiliki kekurangan-kekurangan yang harusnya bisa diperbaiki di karya-karya Ernest Prakasa selanjutnya.

Problematika domestik yang dibawa oleh Ernest Prakasa ini memang berusaha agar dapat diterima oleh banyak orang, tak hanya dikhususkan kepada kaum Tionghoa yang direpresentasikan di film ini. Ernest tahu bahwa tujuan dari Cek Toko Sebelah ini adalah untuk menumbuhkan relevansi problematika kaum minoritas Indonesia. Menunjukkan bahwa problematika yang terlihat tersegmentasi ini sebenarnya adalah realita sosial yang ada di setiap orang. 


Gambaran realita sosial itu tergambar lewat dari plot Cek Toko Sebelah yang menceritakan tentang bisnis toko kelontong milik Koh Afuk (Chew Kin Wah). Dia merasa bahwa dirinya semakin tua untuk mengurus toko kelontongnya, apalagi setelah ditinggal oleh istrinya (Dayu Wijayanto). Koh Afuk pun memutuskan untuk mewariskan tokonya ke Erwin (Ernest Prakasa). Mendengarkan keputusan koh Afuk, Yohan (Dion Wiyoko) sebagai anak sulung pun tak terima bila toko tersebut diberikan kepada Erwin sebagai anak bungsu.

Erwin pun tak senang mengetahui bahwa dirinya akan mewarisi toko tersebut, karena karir Erwin sedang naik-naiknya. Tetapi, Koh Afuk berusaha untuk meyakinkan Erwin agar mau melanjutkan toko kelontong milik keluarga ini. Akhirnya, Erwin diberi masa percobaan untuk mengurus toko kelontong tersebut selama sebulan. Tetapi, masalah-masalah di toko kelontong ini tak hanya datang dari internal keluarga, tetapi juga oknum-oknum lain yang berusaha membeli toko kelontong koh Afuk untuk kepentingan yang lain. 

 
Menuliskan permasalahan dengan ranah domestik atau pribadi tetapi berusaha memberikan dampak secara luas dan untuk semua kalangan ini dibutuhkan ketelitian. Naskah yang ditulis oleh Ernest Prakasa dan juga mendapat pengembangan cerita dari sang Istri, Meira Anastasia, ini memiliki kehati-hatian itu. Problematika di dalam plot cerita ini memiliki banyak kekayaan bila dirasakan lewat naskahnya, tetapi hasilnya di layar tak dapat dirasakan sepenuhnya.

Dengan durasi mencapai 104 menit, Cek Toko Sebelah terlihat memiliki keterbatasan dalam memperlihatkan kekayaan naskahnya. Yang menyebabkan hal tersebut adalah bagaimana Ernest yang sibuk berusaha menumpulkan isu sosialnya yang berat dengan kemasan komedi yang terlalu banyak. Sekuens-sekuens komedi itu memang cara jitu untuk sesekali digunakan sebagai pelarian diri dari plot yang terlalu serius. Tetapi, sekuens komedi ini tak bisa membaur menjadi satu dengan penuturan plot utamanya dan jadinya informasi yang diterima akan terpisah-pisah.

Cek Toko Sebelah pun tak bisa menjadi sebuah film yang utuh, perkembangan karakternya pun tak bisa terasa maksimal. Ada rasa Ernest ingin mendekatkan penonton dengan setiap karakternya, apalagi problematika seperti ini memang dekat dengan kehidupan sosial yang ada. Hanya saja, penuturannya terbata-bata, sehingga tujuan Ernest untuk mendekatkan itu kurang bisa tersampaikan. Ketika penonton sudah berusaha ingin menyatu dengan setiap karakter dan konfliknya, sekuens komedinya malah mendistraksi intimasi dengan karakternya. 


Kekuatan dari Cek Toko Sebelah adalah nilai produksi yang dibuat dengan teliti. Parodi brand produk yang ada di dalam film ini adalah bentuk salah satu ketelitian Ernest saat mengarahkan film ini. Selain dalam hal teknis, poin penting yang patut mendapat apresiasi adalah penampilan Dion Wiyoko dan Adinia Wirasti. Dion Wiyoko berhasil menerjemahkan kegelisahan Yohan yang merasa bahwa hirarkinya terganggu, diimbangi dengan permainan persona yang teduh dari Adinia Wirasti sebagai ayu. Sehingga, keduanya berhasil menjadi sorotan utama bagi film Cek Toko Sebelah ini.

Cek Toko Sebelah sebenarnya adalah sebuah film yang dibuat dengan teliti dan hati-hati. Hal itu terasa di dalam naskahnya yang ditulis begitu kaya. Hanya saja, dalam translasi menjadi sebuah film, Cek Toko Sebelah tak dapat menjadi sebuah film yang utuh. Hal itu dikarenakan distraksi sekuens komedi yang pada akhirnya menghambat perkembangan konfliknya, sehingga kekayaan naskahnya dalam menggambarkan isu-isu sosial itu tak dapat muncul dengan maksimal. Tetapi, detil nilai produksi dan performa Dion Wiyoko serta Adinia Wirasti ini menunjukkan bahwa Ernest Prakasa sebagai sutradara sebenarnya memiliki misi yang kuat dan mulia. Cek Toko Sebelah harusnya punya performa yang jauh lebih bagus dari ini. 

Selasa, 03 Januari 2017

HANGOUT (2016) REVIEW : Zona Baru Raditya Dika dengan Cara Lama


Nama Raditya Dika yang sudah menjadi sebuah brand tersendiri di Indonesia, lantas membuat para rumah produksi sudah mulai percaya dengan kinerjanya. Setelah proyek Koala Kumal bersama Starvision Plus, di tahun ini pula Raditya Dika bekerja sama dengan Rapi Films untuk merilis sebuah karya baru yang ditulis dan juga diarahkan oleh dirinya sendiri. Proyeknya kali ini berusaha berbeda dengan apa yang sudah dikerjakan sebelumnya.

Raditya Dika berusaha keluar dari zona nyamannya yang sudah terbiasa mengarahkan sebuah drama komedi cinta patah hati di setiap filmnya. Raditya Dika tetap bermain di wilayah komedi yang sudah menjadi kebiasannya tetapi digabungkan dengan genre thrilleratau mungkin lebih kepada misteri. Rapi Films menaungi film eksperimen Raditya Dika ini dengan judul Hangout. Di sinilah sebenarnya Raditya Dika berusaha untuk menunjukkan bahwa dirinya bisa diperhitungkan untuk menjadi sutradara yang lebih berbeda.

Setelah kematangan Raditya Dika lewat ‘Single’ ataupun ‘Koala Kumal’, tentu membuat adanya kepercayaan tersendiri lewat film Hangout. Meskipun, ada pula rasa khawatir yang tetap hadir karena apa yang dikerjakan ini masih baru di tangan Raditya Dika. Yang terjadi, sebenarnya ‘Hangout’ masih memiliki kematangan bertutur milik Raditya Dika. Hanya saja, beberapa poin di dalam film ‘Hangout’ ini membuat intensitas filmnya menurun dan masih terasa terburu-buru dalam pembuatannya. 


Kali ini, cerita dari Raditya Dika di dalam film Hangout mengisahkan tentang 9 artis yang memerankan dirinya sendiri. Mereka adalah Raditya Dika, Surya Saputra, Prilly Latuconsia, Mathias Muchus, Dinda Kanya Dewi, Bayu Skak, Gading Marten, Soleh Solihun, dan Titi Kamal. Mereka adalah artis-artis dengan sifat-sifatnya yang berbeda dan sedang diundang oleh Tonni P. Sacalu untuk acara off-air di sebuah pulau terpencil. Mereka mau datang ke acara tersebut karena mereka mendapatkan masing-masing 50 juta sebagai bayaran mereka.

Mereka masih tak tahu acara seperti apa yang akan mereka lakukan di pulau tersebut. Tetapi, hal tragis menimpa mereka ketika mereka tahu mereka sedang dijebak di pulau tersebut. Satu persatu dari mereka dibunuh dan tak tahu pelaku siapa. Mereka berusaha keluar dari pulau tersebut dan mereka menyadari bahwa salah satu dari mereka adalah pembunuhnya. Orang-orang yang tersisa di pulau itu berusaha mencari siapa pembunuhnya. 


Konsep yang dimiliki oleh Raditya Dika di dalam film Hangout ini sangat menarik. Poin pertama yang membuat film Hangout ini menarik adalah ketika 9 karakter ini memerankan diri mereka sendiri. Mengingatkan penontonnya dengan film-film meta seperti This Is The End. Poin kedua adalah bagaimana penonton akhirnya diberikan pilihan dari karya-karya Raditya Dika untuk mencoba hal baru. Di dalam film Hangout ini, Raditya Dika menawarkan unsur misteri yang belum pernah dia gunakan sebelumnya, apalagi ditambahi dengan unsur komedi yang notabene masih baru di perfilman Indonesia.

Bisa dikatakan, misteri-misteri yang berusaha disebarkan kepada penonton di dalam film Hangout ini masih enak untuk diikuti. Raditya Dika berusaha menuturkan setiap kejadian-kejadian di dalam film ini dengan baik. Di durasinya yang mencapai 100 menit, bisa dibilang Raditya Dika masih bertutur dengan tetap menyembunyikan misteri. Cukup mengagetkan pula, dengan jejak rekam Raditya Dika yang belum pernah menangani film seperti ini, film Hangout ini berhasil memiliki momen-momen yang berhasil membuat penontonnya ikut tegang.

Sehingga, ada potensi dari dalam diri Raditya Dika untuk menunjukkan sisi lain di dalam dirinya di karya-karya selanjutnya. Tetapi, film ini pun masih minim akan eksplorasi yang seharusnya bisa memiliki kemasan jauh lebih baik lagi. Bila dibandingkan dengan kematangan yang ada di dalam film-film Raditya Dika sebelumnya, Hangout bisa dibilang penurunan dibandingkan keduanya. Ada rasa sedikit terburu-buru ketika menggarap proyeknya ini. Raditya Dika seperti hanya menawarkan kematangan dalam pemilihan genre, bukan kedewasaan yang berusaha muncul seperti dua film sebelumnya. 


Masih ada rasa ketakutan Raditya Dika yang masih tercermin di dalam film Hangout karena ini adalah sesuatu yang baru darinya. Terlihat bagaimana Raditya Dika masih terlihat bermain aman dalam menjalankan setiap ceritanya. Sehingga di beberapa bagian, Raditya Dika masih juga berkutat dengan hal-hal itu saja. Meski harus diakui, Raditya Dika masih pintar menggunakan referensi-referensi kehidupan bisnis hiburan sebagai set up komedinya. Tetapi, sayangnya hal itu juga minim eksplorasi.

Jadilah bagaimana Hangout penuh akan toilet jokesyang terkadang lebih kepada menganggu daripada menghibur. Guyonannya tak jauh-jauh dari alat vital, toilet, dan organ-organ tubuh lain yang masih terasa menjijikkan untuk diekspos. Dengan kematangan yang sudah ditawarkan lewat Single dan Koala Kumal dari segi referensi komedi, rasanya Hangout adalah titik di mana Raditya Dika ternyata kembali menjadi film komedi yang terasa mentah dan kasar. Meskipun, harus diakui usaha keras Raditya Dika membangun banyak sekali punchlinekomedi di setiap menit agar tetap menjaga intensitas komedinya perlu mendapat apresiasi. 


Bagaimana Raditya Dika terlihat bermain aman terlihat ketika film ini sebagai sebuah misteri, ternyata hanya sekedar sampai menunjukkan bahwa misteri itu perlu dijawab. Tetapi, setelah itu penonton tak diberi berbagai macam alasan yang jauh lebih kuat dari itu untuk lebih yakin tentang motif yang dilakukan karakernya hingga harus melakukan hal seberani itu. Dan alih-alih menjawab, Raditya Dika malah memberikan sebuah nilai moral dari film misterinya dan memberikan turn over character yang juga sangat lemah.

Karena berusaha bermain aman itulah yang membuat daya tarik dan kekuatan dari film Hangout berhasil keluar secara utuh. Hangout akhirnya berakhir seperti itu-itu saja, padahal film ini sudah memiliki banyak sekali pemain-pemain bagus yang dapat mendukung film ini secara keseluruhan. Tetapi, patut diacungi jempol bahwa Dinda Kanya Dewi adalah poin utama yang membantu performa Hangout untuk bisa mendapatkan poin komedinya yang efektif.


Sebagai sebuah film yang berusaha keluar dari zona aman, Hangout sebenarnya masih kurang akan eksplorasi dari Raditya Dika dan malah membuat filmnya masih berada di zona aman miliknya. Tetapi, lewat film inilah terlihat bagaimana Raditya Dika sebenarnya memiliki banyak sekali konsep yang sangat pintar. Memberikan meta film yang berhasil membiaskan sesekali penontonnya bahwa ini adalah film fiksi, bukan realita yang terjadi di kehidupan bisnis hiburan Indonesia. Tetapi, setelah bagaimana kematangan dalam menulis skenario lewat Single dan Koala Kumal, film Hangout jelas terasa memiliki segi kematangan menulis yang menurun. Pemilihan komedi yang lebih kasar ketimbang satir, motif karakter yang lemah, dan penuturannya yang harusnya lebih rapat adalah konsekuensi dari ketidakmatangan itu. Hangout harusnya bisa jauh lebih baik lagi!

ANANTA (2018) REVIEW : Kisah Manis Yang Tak Biasa

  Setelah terus-terusan menjadi ratu drama dari Screenplay Films, Michelle Ziudith akhirnya memiliki kesempatan untuk mengeksplor dirinya di...