Kamis, 23 Februari 2017

BUKA’AN 8 (2017) REVIEW : Kapsul Waktu Penuh Kritik Sosial


Di setiap tahunnya, Angga Dwimas Sasongko akan selalu melahirkan sebuah film dengan kemasan yang berbeda. Kekuatan Angga Dwimas Sasongko dalam mengarahkan film-filmnya adalah ketika dia berhasil membuat karakternya sangat terkoneksi dengan penontonnya. Mulai dari Hari Untuk Amanda hingga Surat Dari Praha, Angga Dwimas Sasongko berhasil memberikan intimasi yang membuat penonton memiliki kedekatan dan simpati kepada karakter-karakter dan problematika yang ada di dalam filmnya.

Di tahun 2017 ini, Angga Dwimas Sasongko kembali menyuguhkan karya terbarunya. Proyek film besutannya kali ini bekerjasama dengan Salman Aristo sebagai penulis naskah. Film terbarunya ini dibintangi oleh Chicco Jerikho dan aktris pendatang baru, Lala Karmela. Angga Dwimas Sasongko mendedikasikan film ini sebagai bentuk kapsul waktu anak pertamanya. Kali ini, Angga Dwimas Sasong bermain dalam genre drama komedi lewat Buka’an 8.

Sebuah kapsul waktu untuk anak dari Angga Dwimas Sasongko, jelas membuat film terbarunya ini akan terasa sangat personal. Akan banyak referensi dan pengalaman pribadi dari sang sutradara yang mempengaruhi kemasan dari Buka’an 8. Meski film ini punya tujuan personal, tetapi Angga Dwimas Sasongko membuat Buka’an 8 dengan mudah dinikmati secara universal. Buka’an 8 bukan sekedar sebuah drama komedi yang dapat membuat penontonnya terhibur, tetapi juga penuh akan komedi satir yang emosional karena dibuat dengan hati yang besar.


Ada banyak isu yang berusaha disampaikan oleh Angga Dwimas Sasongko saat mengarahkan Buka’an 8. Lewat film ini, sang sutradara berusaha memberikan informasi dan pengertian tentang isu menjadi orang tua yang penuh dengan tanggung jawab. Belum lagi isu-isu sosial dan politik lainnya yang disematkan oleh setiap karakternya. Film Buka’an 8 memang akan terasa penuh akan tujuan-tujuan yang pretensius, tetapi Salman Aristo sebagai penulis naskah berhasil memberikan porsi yang baik sehingga semua isu itu terasa seimbang.

Buka’an 8 bertumpu pada cerita tentang satu titik kejadian yang terjadi pada karakternya, bukan berusaha mengenalkan siapa Alam dan Mia secara runtut dari awal hingga akhir. Berangkat akan satu premis yang sederhana dan satu titik kejadian dalam hidup mereka, Angga Dwimas Sasongko sangat berhasil membuat konflik dan setiap karakternya begitu kaya. Penonton pun dengan mudah menaruh simpati kepada Alam dan Mia dan problematikanya menantikan anak pertama. 


Problematika film ini sederhana, menceritakan bagaimana Alam (Chicco Jerikho) dan Mia (Lala Karmela) yang sedang menantikan kelahiran anak pertamanya. Tetapi, proses adminitrasi di rumah sakit tak semudah dan baik-baik saja seperti yang dikira oleh Alam. Kendala ada pada biaya administrasi Rumah Sakit yang kurang. Alam pun memutar otak untuk mencari sisa uang agar Mia dapat melahirkan dengan perawatan yang layak.

Konflik ini sudah terjadi di berbagai kalangan, tetapi yang menjadi berbeda adalah sosok Alam yang unik. Dia adalah selebtwit yang memiliki banyak followers di sosial media. Tak berhenti di sana, Alam sering melakukan perang opini di sosial terbuka yang membuat dirinya semakin mendapat masalah dengan opininya. Inilah yang membuat proses menantikan kelahiran anak pertama keluarga Alam dan Mia menjadi berbeda. 


Dengan menekankan pada konflik keluarga yang rumit ini, akan terasa terlalu berat apabila Buka’an 8 malah dikemas terlalu serius. Angga Dwimas Sasongko menyiasatinya dengan mengemas Buka’an 8 menjadi film komedi. Film ini penuh akan misi untuk memberikan kritik sosial yang ada di sekitar masyarakat. Buka’an 8membangun relevansi antara karakter fiksi dengan realita sosial yang ada. Sehingga, sang sutradara mengajak penontonnya untuk bersama-sama menertawakan problematika sosial yang sebenarnya mereka jalani.

Angga Dwimas Sasongko tahu benar atas segala konflik di dalam Buka’an 8 dan berhasil diterjemahkan lewat naskah yang disusun begitu rapi dan detil oleh Salman Aristo. Keduanya berhasil memberikan sebuah kolaborasi yang pintar. Penonton akan tahu bahwa film ini sangat personal yang didasari pengalaman pembuatnya. Bila dapat diibaratkan, Buka’an 8 adalah anak dari Angga Dwimas Sasongko yang dirawat penuh dengan kasih dan penuh tanggung jawab.

Dengan problematika dan kritikan sosial yang pretensius itu, Angga Dwimas Sasongko tak menyampaikannya dengan menggebu-gebu. Angga Dwimas Sasongko menuturkan setiap konflik ceritanya dengan begitu lembut. Sang sutradara berusaha untuk memberikan romantisasi atas konfliknya yang sudah terlalu berat ini. Dengan begitu, penonton akan dengan mudah menangkap maksud dan tujuan di dalam Buka’an 8. Film ini tak akan menjadi personal bagi pembuatnya, tetapi juga bagi siapa saja yang menontonnya.  


Buka’an 8 sebenarnya sebuah surat cinta kepada masyarakat yang menganggap bahwa menikah adalah jawaban atas segala masalah kehidupan satu individu yang bertambah berat. Buka’an 8 membuka fakta bahwa sebenarnya menikah pun akan membuat tanggung jawab akan semakin besar. Keluarga bukan tentang satu individu dengan problematikanya, tetapi tentang sekelompok individu yang memiliki masalah masing-masing. Butuh kepala dingin agar dapat mendapatkan solusi atas setiap masalah yang akan mereka hadapi.

Nilai tentang Tanggung jawab inilah yang berusaha ditekankan di dalam film Buka’an 8. Mulai dari tanggung jawab menjadi kepala keluarga, hingga bertanggung jawab dalam opini yang disampaikan. Entah opini tersebut dilayangkan secara verbal atau pun di ruang publik yang berpindah ke sosial media. Poin ini dilekatkan pada karakter Alam yang meskipun tak perlu kilas balik latar belakang ceritanya, akan terasa bagaimana tranformasi Alam dalam mengemban tanggung jawabnya.

Tak hanya kolaborasi Angga Dwimas Sasongko dan Salman Aristo saja yang bersinergi, tetapi juga performa dari Chicco Jerikho dan Lala Karmela. Mereka dapat menumbuhkan ikatan kuat yang meyakinkan penontonnya. Mereka bisa memperkuat setiap adegan demi adegan dan ketika mencapai pada adegan kunci, penonton bisa merasakan emosinya. Belum lagi Dayu Wijanto dan Sarah Sechan sebagai pemeran pembantu juga bisa mengiringi tanpa perlu mendominasi peran mereka. Semua pemainnya bersinergi dengan iringan musik yang tahu tempat. 


Maka dari itu, Buka’an 8bukan hanya karya personal dari Angga Dwimas Sasongko tetapi juga mampu membuat karyanya ini terasa personal bagi siapa saja yang menontonnya. Meskipun personal, film ini mampu memberikan kritik sosial yang bersinergi dengan baik. Buka’an 8 penuh akan misi tentang banyak hal pretensius yang bagusnya bisa berjalan seimbang dan tak menggebu-gebu. Ada penuturan yang lembut layaknya seorang ayah yang menasihati anaknya di dalam film. Dengan penulisan naskah Salman Aristo yang detil dan pengarahan Angga Dwimas Sasongko yang kuat,  Buka’an 8 adalah sebuah opini dari Angga Dwimas Sasongko tentang tanggung jawab dalam setiap aspek kehidupan. Sebuah kapsul waktu yang didedikasikan kepada para buah hati yang sangat emosional. Luar biasa!

LION (2016) REVIEW : Perjalanan Menemukan Arti Rumah

Berbicara tentang perjalanan kembali menuju rumah di dalam sebuah film akan dengan mudah merebut hati penontonnya. Bahkan kritikus dan ajang penghargaan akan dengan mudah mengapresiasi film-film seperti ini. Tahun 2016 lalu, sebuah film bertema perjalanan kembali menuju rumah mendapatkan sebuah sorotan dan pujian oleh kritikus dan beberapa ajang penghargaan. Film tersebut adalah Lion yang disutradarai oleh Garth Davis dan berdasarkan sebuah kisah nyata.

Lion diangkat dari kisah asli dari Saroo yang telah ditulis dalam sebuah novel. ‘A Long Way Home’ adalah buku yang mendasari Garth Davis untuk mengarahkan filmnya. Naskah adaptasinya diserahkan kepada Luke Davies untuk menentukan struktur ceritanya. Dev Patel dipercaya untuk menggambarkan sosok asli dari Saroo dewasa. Ada pula Sunny Pawar yang memerankan Saroo di fase masih kecil. Film ini pun dibintangi oleh beberapa nama lain seperti Nicole Kidman dan Rooney Mara.

Tema-tema tentang menemukan kembali rumah memang sudah biasa dan sering hadir di berbagai film sebelumnya. Tetapi, tak ada salahnya apabila tema-tema seperti ini kembali diangkat ditambah dengan pengarahan yang begitu kuat dan memiliki dampak kepada penontonnya. Lion milik Garth Davis ini kembali hadir mengusung tema yang generik ini dan dikemas ulang menjadi sesuatu yang segar. Hal itu dikarenakan bagaimana Garth Davis punya sensitivitas yang berhasil membuat Lion begitu hidup dan emosional. 


Orang akan menganggap film-film dengan tema yang diangkat oleh film Lion bukanlah sesuatu yang baru dan mendapat apresiasi. Benar, memang tak ada yang baru dari plot cerita di dalam film Lion. Segala ceritanya berjalan linear dan penuturannya memang memiliki linimasa cerita yang runtut seperti babak kehidupan nyatanya. Tetapi, Lion memiliki sesuatu yang berbeda di hal lain yaitu bagaimana Garth Davis menceritakan setiap babak kehidupan dari Saroo.

Garth Davis tahu bahwa film-film bertema seperti ini tak memiliki gaya penuturan cerita yang baru. Semuanya akan jatuh menjadi film yang generik dengan film-film sebelumnya. Tetapi, Garth Davis mampu memberi sesuatu yang kaya dan akan membuat penontonnya sangat menikmati Lion di durasinya yang mencapai 118 menit. Poinnya adalah bukan dari bagaimana film Lion bisa memberikan sesuatu yang baru di dalamnya. Layaknya Saroo yang punya keinginan teguh mencari rumahnya, Garth Davis juga ingin membuat penonton merasakan setiap proses penuturannya lewat Lion. 


Ini adalah sebuah kisah tentang Saroo kecil (Sunny Pawar) yang kala itu ingin ikut sang kakak, Guddu (Abhishek Bharate) mencari nafkah untuk membantu Ibunya. Di sebuah stasiun saat malam hari, Guddu menyuruh Saroo untuk diam di sebuah bangku stasiun agar tak hilang selagi Guddu mencari sesuatu.  Merasa bosan, Saroo pun terlelap tidur dan ketika dia bangun Guddu masih belum kembali. Di tengah dia mencari Guddu, dia masuk ke dalam sebuah kereta dan tak sengaja terlelap lagi di dalam kereta itu.

Kereta itu ternyata membawanya ke Calcutta, tempat yang sangat jauh dari rumahnya. Perjuangan Saroo bertahan hidup pun susah, hingga akhirnya Saroo dibawa ke sebuah penampungan anak-anak.  Saat berada lama di tempat penampungan karena tak ada yang mencarinya, Saroo diadopsi oleh Sue (Nicole Kidman) dan John Brierley (David Wenham) yang berasal dari Australia. Setelah tinggal lama, Saroo yang sudah beranjak dewasa (Dev Patel) merindukan kembali rumahnya yang dulu. 


Menonton Lion memang tak perlu berusaha terlalu keras mencocokkannya dengan berbagai bidang keilmuan. Cukup menontonnya dengan tenang, maka Lion akan sangat mudah dinikmati oleh berbagai kalangan. Cerita Lion harus diakui memang sangat linear dan itu membuat penontonnya akan dengan mudah menebak bagaimana kelanjutan setiap ceritanya. Tetapi, sekali lagi, sajian Lion sebagai sebuah film bukan sekedar menunjukkan sebuah superioritas, melainkan tentang merasakan setiap adegannya.

Proses penyampaian di dalam film Lion lah yang perlu dirasakan oleh penontonnya. Garth Davis berhasil menampilkan berbagai adegan emosional. Garth Davis tahu detil cerita mana yang akan membuat penontonnya terenyuh, merasakan sebuah pahit manisnya perjalanan proses kehidupan Saroo mulai kecil hingga tumbuh dewasa. Garth Davis punya sensitivitas itu dalam mengarahkan Lion sehingga di setiap detil kecil filmnya memiliki emosi tanpa perlu menggebu-gebu.

Memang, tak berarti Lion adalah sebuah film yang sempurna. Penyampaian dari Garth Davis memang beberapa kali terasa lepas dari ritme apalagi di awal film. Penonton akan berusaha meraba siapa Saroo dan keluarganya agar dapat terkoneksi. Meskipun ketika sudah memiliki ritmenya, poinnya maka bukan siapa Saroo dalam film Lion, tetapi seperti apa Saroo dalam film Lion yang semakin bertambah durasi karakter ini juga akan semakin berkembang. 


Teringat sebuah adegan di mana Saroo dan Sue yang diperankan oleh Sunny Pawar dan Nicole Kidman di sebuah kamar mandi. Sue sedang menatap Saroo yang sedang membersihkan diri, memperlihatkan bagaimana seseorang merindukan sesuatu di dalam hidupnya. Meski adegannya begitu tenang, Garth Davis mampu mengarahkan Nicole Kidman agar dapat dirasakan oleh penontonnya. Itulah Lion yang berusaha menonjolkan pesan tentang Rumah adalah tempat yang nyaman untuk beristirahat.

Setiap karakter di dalam film Lion memiliki representasi atas pesan yang berusaha ditampilkan oleh Garth Davis. Di durasinya selama 118 menit, Lion berisikan tentang orang-orang yang sedang rindu akan ‘Rumah’, tempat yang tenang dan sejenak melupakan kehidupan yang berat. Saroo yang merindukan Guddu, Sue yang merindukan kehadiran anak di dalam keluarganya. Gambaran setiap karakter ini mengingatkan penontonnya bahwa Rumah bukan hanya sekedar sebuah bangunan, melainkan memiliki arti yang menenangkan, ketika mengingatnya saja hati sudah terasa tentram.

Penuturan dan pesannya tentang rumah yang tentram dan nyaman diperkuat dengan tata sinematografi oleh Greig Fraser yang lembut dan mendayu. Pas dengan bagaimana alur dan ritme film ini melaju. Belum lagi denting piano yang cantik sebagai scoring yang mengiringi setiap adegan di film ini. Dibuat begitu sederhana oleh Dustin O’Halloran dan Hauschka untuk memperkuat sensitivitas pengarahan dari Garth Davis ini sendiri. 


Maka, inilah Lion yang mengingatkan penontonnya akan rasa rindu akan rumah. Mengingatkan penontonnya akan Rumah yang tak hanya diartikan secara harfiah sebagai sebuah bangunan yang menampung satu keluarga. Tetapi arti Rumah yang menekankan pada tempat istirahat yang nyaman dan tenang. Garth Davis berusaha melekatkan makna itu pada setiap karakter-karakter di Film Lion. Dengan kemasannya yang sederhana dan linear, Garth Davis mampu memberikan emosi yang kaya di setiap adegannya. Mengarungi setiap babak demi babak proses kehidupan Saroo yang berkembang hingga menjadi sebuah individu yang kuat. Dan ketika judul ‘Lion’ muncul sebagai penutup adegannya, maka penonton akhirnya dapat merasakan bahwa inilah Rumah yang dirindukan.
 

Rabu, 22 Februari 2017

LONDON LOVE STORY 2 (2017) REVIEW : Realisasi Mimpi Tentang Cinta Yang Hiperbolis


Kedatangan Screenplay Filmsdi perfilman Indonesia memang memiliki warna baru. Film-filmnya sejak Magic Hour selalu mendatangkan penonton dan itu cukup mengagetkan banyak pihak. Sehingga, dengan kedigdayaannya di perfilman Indonesia membuat rumah produksi satu ini selalu hadir dengan karya terbaru setiap tahunnya karena tahu potensinya menggaet penonton. Screenplay Films pun semakin lama semakin melebarkan sayapnsya dengan berasosiasi bersama Legacy Pictures.

Setelah Magic Hour, film kedua Screenplay Films pun laris manis. London Love Story, yang dirilis pada tahun 2016 ini memasang nama-nama familiar di mata penonton yaitu Michelle Ziudith dan Dimas Anggara dan berhasil menggaet 1 juta penonton. Dengan prestasi raihan penonton yang di luar ekspektasi itu, Screenplay Films kembali menghadirkan kisah cinta Caramel dan Dave di seri berikutnya. Asep Kusdinar tetap -bahkan selalu -kembali menyutradari film-film Screenplay Films lewat London Love Story 2.

Film-film Screenplay Filmsmemang memiliki segmentasi penontonnya sendiri dan film-film mereka akan selalu dinantikan. Kesuksesan London Love Storyseri pertama secara kuantitas ini akan menjadi senjata utama dari Screenplay Films untuk merilis filmnya yang kedua. Formula cerita yang digunakan di London Love Story pertama ini penuh akan poin-poin klise dan kata-kata buaian tentang cinta. Tak perlu kaget, apabila London Love Story 2 ini juga akan kembali menggunakan formula yang sama. 


Kesalahan London Love Storysebelumnya adalah kemasannya yang belum sinematik. Screenplay Films yang berangkat dari rumah produksi untuk televisi memiliki problematika dalam membungkus kemasannya. Penonton tak diberi satu diferensiasi antara film televisi yang biasa mereka saksikan secara gratis dengan film yang mereka khususkan sebagai film bioskop. Begitu pula dengan dialog-dialognya yang tak memiliki kedewasaan serta penuh akan kiasan hiperbola tentang cinta.

Perubahan memang berubah secara bertahap, London Love Story 2 memang tak sepenuhnya berubah menjadi sebuah film dengan konten yang berbeda dan dewasa. Setidaknya, London Love Story 2 memperbaiki tata teknis filmnya yang jauh lebih sinematik. Meski begitu, London Love Story 2 tetap dipenuhi dengan dialog-dialog ajaib dan penuturan yang beda tipis dengan London Love Storysebelumnya. Meski dasar cerita dalam London Love Story 2 adalah tentang tahapan yang lebih matang dalam sebuah hubungan, tetapi kemasannya tetap kekanak-kanakan. 


Kisahnya tetap tentang Dave (Dimas Anggara) dan Caramel (Michelle Ziudith) yang sudah kembali bersama dan menjalani hubungan yang bahagia. Mereka pun berusaha untuk serius satu sama lain dan ingin lanjut ke hubungan yang lebih dewasa. Tetapi, perjalanan hubungan tak semulus yang mereka bayangkan. Dave mengajak Caramel pergi ke Swiss dengan tujuan liburan, tetapi perjalanan liburan mereka malah menjadi sebuah bencana bagi hubungan mereka.

Di tengah liburannya, Caramel yang sedang menikmati makanan di suatu restoran atas rekomendasi Sam (Ramzi), dikejutkan dengan hadirnya masa lalu Caramel saat SMA. Gilang (Rizky Nasar), Chef restoran itu adalah masa lalu dari Caramel yang pernah mengisi ruang hatinya. Sam yang sudah akrab dengan Gilang, mengenalkannya pada Dave. Dan mereka berempat pun liburan bersama-sama dan membuat Caramel was-was akan kehadiran Gilang di tengah hubungannya dengan Dave yang sudah bahagia. 


Tak salah apabila di sebuah film remaja masih menggunakan formula yang itu-itu saja, begitu pula yang terjadi di London Love Story 2. Film ini hanya mengulang, sulam dan tambal cerita-cerita usang agar menjadi sesuatu yang  baru. Pengarahan Asep Kusdinar pun masih berusaha untuk berkembang, meskipun tak terasa begitu signifikan. Penuturan kisah cinta klise di dalam London Love Story 2 sudah lebih berkembang ketimbang film pertamanya.

Setiap konflik yang ada di film ini setidaknya menemukan ritme yang lebih baik untuk diarahkan lebih runtut dibanding karya-karya Asep Kusdinar di Screenplay Films sebelumnya. London Love Story 2 pun berkembang menjadi sesuatu yang setidaknya masih bisa dinikmati dan tak membuat penonton bingung karena lantaran susunan plotnya minim kekacauan. Tetapi, bukan berarti London Love Story 2 akhirnya menjadi karya sempurna dan menjadi lonjakan dari film-film Screenplay Films sebelumnya.

London Love Story 2 dipenuhi dengan plot cerita yang membuat dahi berkerut karena banyak sekali keajaiban yang terjadi di dalam ceritanya. Kisah cinta segitiga yang penuh akan pengorbanan dihiasi dengan elemen-elemen kematian dan ditinggalkan dengan atas nama romantisasi. Belum lagi naskah yang diramu berdua oleh Sukhdev Singh dan Tisa TS masih memiliki rangkaian kata penuh majas hiperbola yang terasa dibuat-buat. 


Inilah yang selalu menjadi poin minus dari Screenplay Films di segala karyanya yang sebenarnya sudah memiliki perkembangan secara teknis. Naskah di London Love Story 2 inilah yang menjadi masalah karena tak diatur dengan baik. Terasa bagaimana London Love Story 2tak memiliki struktur cerita yang kuat, sehingga berdampak pula pada pengarahan Asep Kusdinar yang belum terlalu kuat. Dasar struktur dalam London Love Story 2 yang tak kuat ini akan membuat penontonnya bingung dan meraba apa yang terjadi oleh karakter-karakternya.

London Love Story 2 sibuk memberikan sorotan lebih kepada karakter sampingannya, sehingga Asep Kusdinar lupa untuk memberikan pengarahan lebih kepada plot utamanya. Sehingga, ketika masuk ke dalam konfliknya penonton akan berusaha sendiri mencari jawaban atas lubang cerita yang ada di dalam London Love Story 2. Belum lagi dialog-dialog hiperbola yang selalu mewarnai film-film Screenplay Films yang seakan-akan sudah menjadi signature.

Dialognya penuh akan romantisasi hiperbola yang tak begitu sanggup untuk didengar. London Love Story 2penuh akan dialog yang berusaha keras untuk diromantisasi dan hasilnya malah terdengar begitu hiperbolis. Terlalu manis untuk diucapkan setiap karakternya yang membuat film ini hanyalah sebuah hasil realisasi mimpi yang tak kunjung ditemukan oleh penulisnya. London Love Story 2 bukan malah menimbulkan efek romantis, yang ada malah menekankan bahwa film ini terasa dongeng yang fiktif. 


Dengan begitu, London Love Story 2 tak serta merta menjadi karya terbaik dari film-film Screenplay Films. Persepsi yang keluar adalah London Love Story 2 setidaknya memiliki babak yang lebih runtut dan lebih mending dibanding film-film sebelumnya. Sisi teknis sinematik di London Love Story 2 setidaknya sudah berkembang dan pengarahan yang sedikit berkembang. Tetapi, London Love Story 2 masih memiliki kelemahan-kelemahan film Screenplay Films sebelumnya. Struktur cerita yang tak terlalu kuat diiringi dengan dialog-dialog ajaib yang membuat penonton tak bisa menahan tawa. Meski digadang sebagai sebuah film romantis, London Love Story 2 hanya sebuah realisasi mimpi yang tak terwujud dengan kemasan yang hiperbolis. 

Minggu, 19 Februari 2017

ARRIVAL (2016) REVIEW : Proses Negosiasi dalam Menyepakati Sebuah Bahasa


Science Fiction adalah sebuah genre yang bisa dibilang tak bisa disukai banyak orang. Tetapi di beberapa tahun terakhir, genre ini selalu memiliki satu film dengan presentasi yang memukau. Di tahun 2016 lalu, Denis Villenueve kembali menghadirkan sebuah film science-fiction yang diharapkan dapat bersanding dengan film-film seperti Gravity, Interstellar, atau The Martian yang mendapat banyak pujian di berbagai ajang penghargaan dan para kritikus film.

Denis Villenueve mengarahkan sebuah cerita yang diangkat dari buku kumpulan cerita pendek ‘Story of Your Life’ yang ditulis oleh Ted Chiang. Bersama dengan Eric Heisserer sebagai penulis naskah, Denis Villenueve berkolaborasi untuk menghasilkan karya terbaiknya. Arrival, karya terbaru dari sutradara yang mengarahkan film Prisoners, Enemy, dan Sicario ini  dibintangi oleh peraih nominasi Academy Awards, Amy Adams dan Forest Whitaker. Serta ada pula Jeremy Renner yang ikut serta meramaikan film ini.

Arrival memang terlihat sebagai sebuah film dengan premis invasi alien yang sudah pernah ada di film-film sebelumnya. Tetapi, Denis Villenueve dan Eric Heisserer berbicara jauh lebih dalam ketimbang tentang sebuah invasi alien. Arrival menceritakan tentang sebuah proses komunikasi untuk memahami sebuah realita tertentu. Membahas tentang bagaimana seseorang berinteraksi,  menyepakati simbol-simbol baru yang dapat dipahami sesuai referensi dan pengalaman setiap individu yang bisa mewakili penyebutan fenomena itu. 


Kekuatan dari Arrival bukan berada visual efek megah, tetapi pada proses bercerita yang kaya sekaligus unik. Penonton awam mungkin akan kesusahan dengan bagaimana Denis Villenueve merangkai ceritanya. Denis Villenueve menitikberatkan kepada proses yang terjadi di dalam pengembangan ceritanya. Dengan durasi yang mencapai 116 menit, Arrival memang memiliki penuturan cerita yang lambat dan perlu keaktifan penontonnya untuk memahami setiap detil cerita.

Denis Villenueve ingin menunjukkan sebuah proses dalam memahami sesuatu. Bagaimana setiap individu berusaha keras merepresentasikan fenomena yang mereka lihat dengan suatu bahasa. Penekanan tentang bahasa itulah yang ingin dijadikan sebuah problematika di dalam film ini. Proses menyepakati bahasa visual yang ada di dalam Arrivalinilah yang membuat filmnya akan tersegmentasi. Tak semua orang bisa menyepakati bahasa visual yang dibuat oleh Denis Villenueve.  Sehingga, tak semua penonton bisa untuk menerima setiap rangkaian cerita dalam Arrival


Bagaimana Denis Villenueve ingin menceritakan tentang seorang ahli linguistik bernama Louise Banks (Amy Adams) yang mengajar di suatu universitas tertentu. Kala itu, kehidupannya berubah ketika fenomena alam muncul di hadapannya. Sebuah benda asing masuk ke bumi yang dipercayai bahwa benda tersebut adalah sebuah pesawat luar angkasa. Benda itu membawa alien-alien yang masih belum diketahui motifnya.

Louise Banks pun dipercaya oleh CIA untuk mengetahui apa maksud dan tujuan alien tersebut datang ke bumi. Louise Banks pun berusaha keras untuk mengetahui bahasa yang ingin mereka tampilkan. Memahami pola-pola yang dikeluarkan oleh Alien tersebut sehingga pola tersebut bisa dibentuk menjadi susunan bahasa manusia yang dapat diketahui artinya. Dengan begitu, manusia tahu apa tujuan makhluk luar angkasa itu datang ke bumi.


Alien adalah makhluk asing di luar ekosistem bumi yang telah dikenal oleh manusia. Di dalam film Arrival, Alien digunakan sebagai sebuah metafora tentang bagaimana setiap manusia memahami apa yang ada di sekitarnya. Alien di dalam film-film bertema sama selalu digunakan sebagai sosok yang menganggu susunan sistem yang ada di bumi karena ketidaktahuan manusia untuk memahami sesuatu yang berbeda di luar referensinya. Begitu pula yang terjadi di Arrival, bedanya sosok Alien di sini hanya sebagai sosok yang statis dan perlu keaktifan manusia untuk menyepakati setiap simbol yang diberikan oleh sang Alien untuk mengetahui tujuannya di Bumi.

Arrival adalah sebuah film yang membahas tentang bahasa dan kegunaannya di kehidupan manusia. Bahasa adalah perwakilan dari realita yang disaksikan oleh manusia, bagaimana seseorang dapat mengartikulasikan apa yang mereka lihat juga dengan bahasa itu. Begitu pula apa yang berusaha Denis Villenueve lakukan lewat Arrival dan direpresentasikan lewat karakter Louise Banks. Bagaimana karakter ini mencari tahu pola-pola simbol yang disampaikan oleh sang Alien kepada manusia dan pola itu ditranslasikan sebagai sebuah bahasa manusia yang dapat dipahami. 


Arrival memperlihatkan bagaimana arti kata ‘Alienasi’ dengan penggambaran secara harfiah, meskipun penyampaiannya pun berbeda. Menggunakan Alien sebagai pion cerita untuk memahami terbentuknya sebuah bahasa adalah sesuatu yang unik. Begitu pula dengan penyusunan cerita di dalam film ini. Penonton akan menyusun babak demi babak, adegan demi adegan, yang terjadi di film ini sehingga penonton sepakat dengan bahasa visual yang berusaha disampaikan oleh Denis Villenueve. Dan penonton yang cocok dan sepakat dengan bahasa visual di dalam Arrival akan beruntung dapat menyaksikan sebuah penuturan cerita yang luar biasa hebat dari Denis Villenueve.

Penuturan Denis Villenueve yang unik ini tak lupa disokong dengan tata teknis yang memperkuat keindahan kekuatan bahasa visual milik Arrival. Bradford Young sebagai tata sinematografi ini tahu tujuan Denis Villenueve yang membuat Arrival memiliki pengalaman sinematis yang puitis. Serta tata musik Jóhann Jóhannsson yang menguatkan sisi puitisnya yang sudah muncul lewat pengarahan dari Denis Villenueve itu sendiri. Sehingga, rasa puitis itu tak terasa manipulatif atau dibuat-buat. 


Memang, Arrival bukan sebuah film yang dapat diterima oleh semua orang, bukan karena genre-nya saja tetapi juga cara Denis Villenueve menuturkan setiap adegannya. Arrival adalah film yang perlu keaktifan penontonnya untuk merangkai setiap filmnya agar menjadi film yang utuh. Arrival adalah sebuah film mengenai bahasa, bagaimana setiap orang memerlukan bahasa untuk mewakili realita yang mereka lihat. Denis Villenueve menunjukkan bahwa filmnya lebih condong kepada proses pembuatan bahasa dan negosiasi agar penonton sepakat dengan bahasa visual yang ditampilkan. Sehingga penonton yang sepakat dengan bahasa visual di dalam Arrivalakan mendapatkan dampak yang luar biasa. Berdasarkan dengan referensi yang ditampilkan lewat Arrival itulah penonton bisa tahu bahwa penuturan Denis Villenueve lewat Arrival itu jenius! 

ISTIRAHATLAH KATA-KATA (2017) REVIEW : Keterbatasan Interpretasi Menimbulkan Perbedaan Persepsi


Film adalah sebuah medium untuk menyampaikan pesan. Hal ini dapat digunakan oleh banyak pihak untuk mencapai tujuan mereka masing-masing. Salah satunya adalah menggunakan film untuk menunjukkan suara-suara yang terpendam di tengah kebisingan suara masyarakat yang sama setiap harinya. Menunjukkan realita lain yang perlu diangkat dan ditunjukkan kepada banyak orang di tengah realita yang itu-itu saja.

Mungkin tujuan inilah yang berusaha ingin disampaikan oleh Yosep Anggi Noen saat ini. Menggunakan film sebagai medium menyuarakan pendapat, menyuarakan orang yang telah lama hilang untuk ‘dihidupkan kembali’. Lewat film terbarunya, ‘Istirahatlah Kata-Kata’, Yosep Anggi Noen ingin mengingatkan sosok penting di tengah era orde baru. Wiji Thukul, salah satu simbol perlawanan orde baru yang hilang saat membela hak asasinya.

Mengenalkan kepada banyak orang tentang Wiji Thukul –mungkin –adalah tujuan utama dari Yosep Anggi Noen. Lewat ‘Istirahatlah Kata-Kata’, Yosep Anggi Noen ingin menumbuhkan, setidaknya awareness terhadap sosok tersebut. Wiji Thukul tentu adalah sosok yang unik, menyuarakan pendapatnya adalah nafas baru bagi perfilman Indonesia dalam genre film biografi. Keunikan sosok Wiji Thukul pun diarahkan dengan pendekatan yang ‘unik’ pula oleh Yosep Anggi Noen. 


Yosep Anggi Noen memang tak memiliki rekam jejak film dengan pendekatan yang populer. Sehingga, keunikan dari sosok Wiji Thukul ini memang menjadi kekuatan sendiri bagi Yosep Anggi Noen dalam merangkai ‘Istirahatlah Kata-Kata’. Muncul banyak ketenangan yang digambarkan lewat adegan-adegan statis yang digadang sebagai sebuah puisi visual layaknya Wiji Thukul yang memiliki keterampilan menulis puisi.

Di saat sosok Wiji Thukul adalah satu titik balik penting dari pemerintahan Indonesia dan sosoknya yang dekat dengan masyarakat, pengarahan milik Yosep Anggi Noen tak sengaja memberi jarak antara karakter tersebut dengan penontonnya. Sosok yang perlu mendapat sorotan dan didekatkan kepada penontonnya ini terasa memiliki eksklusivitas. Hal itu tak hanya muncul lewat cara penyampaian dari Anggi Noen tetapi juga bagaimana dia menggambarkannya. 


Wiji Thukul (Gunawan Maryanto) adalah sosok pahlawan kata-kata yang sedang menjadi buronan di negaranya sendiri. Dia adalah salah satu orang yang melawan tatanan negara orde baru lewat puisi-puisi yang dibuatnya. Dia pun berkelana jauh, pergi dari pulau Jawa tempat tinggalnya ke pulau-pulau lain hanya untuk menyelamatkan dirinya agar tak tertangkap oleh polisi dan antek-antek orde baru lainnya.

Di tengah perjuangan Wiji Thukul menjauhkan diri dari para antek-antek orde baru yang berusaha menangkapnya, sisi lainnya Istri Wiji Thukul, Sipon (Marissa Anita) pun hidupnya ikut tak tenang. Sipon gelisah atas keadaan Wiji Thukul, juga gelisah karena hidupnya selalu diawasi oleh Polisi-polisi yang ingin menangkap Wiji Thukul. Sipon dipaksa untuk memberitahu di mana Wiji Thukul berada dan itu membuatnya tersiksa. 


Istirahatlah Kata-Katasebagai sebuah film harusnya memberikan informasi tentang sosok Wiji Thukul yang telah dibungkam berpuluh tahun lamanya. Tujuan Yosep Anggi Noen sebenernya  mulia untuk menghidupkan kembali suara-suara yang telah hilang. Lewat Istirahatlah Kata-Kata, Yosep Anggi Noen ‘menghidupkan lagi’ sosok Wiji Thukul yang memberikan dampak besar terhadap tatanan orde baru yang otoriter kala itu. Orang-orang perlu tahu siapa Wiji Thukul yang selama ini hanya diketahui oleh orang-orang tertentu.

Dalam menyampaikan informasi tersebut, ‘Istirahatlah Kata-Kata’ tak dapat menuntaskan misinya dengan baik. Sosok Wiji Thukul yang dikenal di segmentasi tertentu itu pun tak dapat dikenal secara universal. Hal itu, dikarenakan keunikan Yosep Anggi Noen dalam menuturkan ceritanya yang terkadang tak sepenuhnya berisikan informasi itu. Puisi yang dilantunkan Gunawan Maryanto sebagai pengiring adegan-adegannya itu belum bisa ditransalasikan dengan pintar. Ada kesempitan ruang bergerak dalam menyampaikan informasinya dikarenakan idealisme sang sutradara.

Wiji Thukul adalah simbol atas perlawanan tatanan orde baru yang otoriter. Lewat ‘Istirahatlah Kata-Kata’, sang sutradara berhasil mengingatkan kembali kepada banyak orang tentang hak asasi manusia yang dilanggar di orde baru. Tetapi, lagi-lagi Yosep Anggi Noen tak bisa mengembangkan idenya yang luar biasa dengan visualisasi yang pintar. Menggambarkan perlawanan dalam sebuah narasi film seharusnya tak melulu harus menggunakan kata-kata tak beretika seperti ‘tahi’ atau ‘asu’ yang dalam bahasa Indonesia berarti anjing. Juga, menggunakan atribut minuman keras sebagai simbol perlawanan itu. 

 
Dengan kata-kata yang tak sepantasnya diucapkan itu memang memberikan penekanan bahwa memang seperti inilah realita yang ada di masyarakat. Menunjukkan bagaimana masyarakat kelas bawah berinteraksi satu sama lain tanpa ada dramatisasi. Kesalahan itu malah membuat film ini tak memiliki elegansi dan menunjukkan bahwa sang sutradara tak terlalu berpandangan luas dalam memberikan interpretasi. Padahal, ada satu adegan dalam ‘Istirahatlah Kata-Kata’ yang memberikan satu penggambaran ironi yang pintar saat sedang bervisualisasi.

Terjadi pula alienasi yang terjadi antara sosok Wiji Thukul dan penonton yang seharusnya memiliki intimasi karena sosok ini seharusnya memiliki atribut yang setara dengan masyarakat biasa pada umumnya. Tetapi, penggunaan narasi berbahasa inggris di awal dan di akhir film membuat ‘Istirahatlah Kata-Kata’ memiliki jarak dengan penontonnya. Dan hal itu, berbanding terbalik dengan bagaimana dialog atau naskah di dalam film ini yang dibuat begitu kasar dengan dalih menunjukkan realita yang sebenarnya.

Pun, terjadi penggambaran yang malah salah tentang sosok Wiji Thukul di dalam ‘Istirahatlah Kata-Kata’ ini. Bagaimana Yosep Anggi Noen melakukan pendekatan yang unik ini dan tak begitu hati-hati memperhatikan informasi yang berusaha disampaikan, maka akan terjadi kesalahan persepsi. Penonton akan menanyakan apa yang telah dilakukan oleh Wiji Thukul? Apa yang membedakan Wiji Thukul dengan pemberontak lainnya? Lantas, apa yang membuat Wiji Thukul PERLUuntuk disuarakan kembali kepada masyarakat luas?  Hal itu tak begitu dapat terjawab hingga akhir film ini.


Istirahatlah Kata-Kata memang tak menunjukkan perjalanan sosok Wiji Thukul dengan linimasa waktu yang runtut. Poin yang berusaha digambarkan oleh Yosep Anggi Noen memang ketika Wiji Thukul sedang menyelamatkan nyawanya. Tetapi, lantas tak ada visual apapun yang menyokong betapa pentingnya Wiji Thukul untuk bersembunyi dari kejaran orde baru. Malah, setiap visualisasi dan atribut pemberontakan klise ini memberikan pandangan bahwa sosok ini tak memiliki urgensi apapun untuk dikenalkan kepada masyarakat luas dan ini adalah kesalahan. 

Sebagai sebuah tontonan alternatif, ‘Istirahatlah Kata-Kata’ memang dapat menjadi salah satu referensi. Di dalam film ini, ada keunikan yang biasa dilakukan oleh Yosep Anggi Noen di film-film sebelumnya, apalagi sosok yang berusaha diangkat oleh Yosep Anggi Noen di dalam film ini juga mewakili keunikannya dalam bertutur. Sayangnya, keunikan dalam bertutur tak begitu matang sehingga mempengaruhi performa ‘Istirahatlah Kata-Kata’ sebagai film utuh. Kurangnya penuturan yang hati-hati oleh Yosep Anggi Noen menyebabkan beberapa bagian malah menimbulkan kesalahan persepsi. Begitu pula, menunjukkan bahwa Yosep Anggi Noen memiliki keterbatasan dalam berinterpretasi. 

Kamis, 16 Februari 2017

LA LA LAND (2016) REVIEW : Sepucuk Surat Cinta tentang Mimpi dan Harapan


Mungkin, orang-orang baru saja mengenal karya-karya dari Damien Chazelle lewat Whiplash, sebuah film drama suspense dengan musik sebagai dasar ceritanya. Itu pun bukan kali pertama Damien Chazelle memberikan sebuah film dengan musik sebagai poin pentingnya. Ada Guy and Madeline on A Park Bench dan meskipun tak mengarahkan langsung, ada Grand Piano,  di mana Damien Chazelle juga ikut berpartisipasi dalam menuliskan naskahnya.

Tahun 2016 lalu, Damien Chazelle menghadirkan kembali sebuah film dengan tema musik. Berbeda dengan Whiplash atau Grand Piano, kali ini Damien Chazelle menghadirkan sebuah drama romantis musikal lewat La La Land. Dengan adanya Emma Stone dan Ryan Gosling di deretan pemainnya, film ini akan menumbuhkan antisipasi yang besar dari penontonnya. Apalagi, Whiplash berhasil menyabet beberapa penghargaan di ajang Academy Awards.

Jazz adalah kekuatan dari Damien Chazelle untuk mendasari setiap film-filmnya, begitu pula yang terjadi di La La Land. Damien Chazelle berusaha mengajak penontonnya berbicara secara intim tentang dua bidang yang sedang dia nikmati, musik dan film. La La Land dijadikan sebagai medium romantisasi atas surat cinta yang ingin disampaikan oleh Damien Chazelle terhadap industri hiburan yang melambungkan namanya. 


Sebuah film musikal memang memiliki segmentasi yang berbeda, begitu pula dengan bagaimana cara mengemasnya. Harus memiliki kehati-hatian dan memberikan pengalaman sinematik yang berbeda pula kepada penontonnya. Di dalam La La Land, Damien Chazelle tahu benar memberikan pengalaman sinematik musikal yang  berdampak kepada penontonnya. Memang secara visual, sekuens musikal di dalam La La Land tak terlalu besar. Hanya saja, kesederhanaan dalam kemasan visual itu memberikan kekayaan di aspek emosi yang dimainkan oleh sang sutradara.

Ada intimasi yang muncul di dalam penuturan film La La Land dengan penontonnya. Damien Chazelle memperlakukan penonton sebagai teman bincang-bincang di sebuah bar di malam hari, membicarakan tentang mimpi-mimpinya di industri hiburan. Sesekali membahas kisah romantis yang pernah dialami agar tak melulu serius dan kisah romantis itu juga menjadi sebuah histori perjalanannya dalam meraih mimpinya. 


Dan inilah cerita tentang perjalanannya dalam meraih mimpi yang direpresentasikan kepada Mia Dolan (Emma Stone), seorang kasir di sebuah kafe di Hollywood. Dia bermimpi ingin menjadi seorang aktris terkenal. Segala audisi dengan berbagai peran berusaha dilakoni agar dapat meraih cita-citanya sejak kecil. Meski tetap saja, audisi yang Mia lakukan tak pernah berhasil. Serta, ada Sebastian (Ryan Gosling), seorang musisi Jazz idealis yang sedang bermimpi memiliki bar sendiri dan menjadi musisi Jazz yang bisa dikenal banyak orang.

Mereka tak sengaja bertemu di sebuah bar dan pertemuan awal mereka memang tak terlalu baik. Tetapi mereka adalah pemimpi yang sama-sama ingin mewujudkan mimpinya. Dengan alasan yang sama itu, mereka semakin lama semakin akrab. Mereka membicarakan mimpi-mimpinya yang berada di  bidang yang berbeda. Dan pada akhirnya, mereka berdua pun bersama-bersama berusaha untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu. 


Topik tentang mimpi ini menjadi salah satu cara agar La La Land memiliki kedekatan dengan penontonnnya. Meski visual drama musikalnya terasa berbeda dengan realita yang ada, tetapi Damien Chazelle memiliki niat agar penontonnya bisa ikut merasakan kedekatan problematika dengan kedua karakternya. Damien Chazelle seakan mengingatkan kembali penontonnya tentang mimpi mereka, karena setiap orang tentu memiliki mimpinya masing-masing.

Mengemas sebuah surat cinta tentu perlu adanya romantisasi, menggunakan kedua karakter yang sedang mabuk kepayang adalah cara agar Damien Chazelle berhasil menyampaikan pesan dengan tepat lewat La La Land. Tentu, La La Landtak hanya sebuah cerita cinta kacangan, ini adalah simbol cinta dengan penuh kedewasaan. Memberikan gambaran tentang hubungan laki-laki dan perempuan tak hanya behenti pada kiasan ‘dunia milik berdua’ dan lantas bisa bahagia. Tetapi juga ada aspek lain yang perlu diperhatikan agar kata ‘bahagia’ itu bisa terjadi secara harfiah.

Permasalahan tentang mimpi memang perkara lama dan disitulah Damien Chazelle begitu pintar dalam menggambarkan tentang problematika lintas zaman ini. Setting waktu La La Land ini hanya berkutat pada pergantian musim, bukan pada angka tahun yang konkrit. Referensi dalam lagu, gambar, dan tata produksi lainnya yang ada dalam La La Land akan mengingatkan penontonnya dengan film-film di era sebelum 2000-an. Tetapi, bagaimana setiap karakternya menggunakan alat elektronik yang begitu moderen membiaskan setting waktu dan menguatkan bahwa persoalan tentang meraih mimpi akan selalu relevan di setiap zaman. 


Surat cinta di dalam La La Landtak hanya ditujukan kepada setiap orang yang memiliki mimpi. Tetapi juga kepada film-film musikal lama yang pernah ada. Beberapa adegan di dalam film ini adalah sebuah tribut terhadap film-film musikal seperti ‘Singin In The Rain’, ‘West Side Story’, ‘Grease’, yang pernah mahsyur di zamannya. Hal tersebut memperlihatkan bahwa Damien Chazelle memang memiliki minat di bidang musik dan film secara bersamaan.

Belum lagi performa luar biasa yang diperankan oleh Emma Stone. Bisa dibilang ini adalah performa terbaiknya di sepanjang karir. Memerankan orang yang sedang berkembang dan berevolusi di setiap pergantian musimnya ini terasa begitu nyata. Pun, pergantian suasana hati Mia Dolan yang sedang memerankan sebuah peran dalam audisi dan kembali ke sosok Mia Dolan sesungguhnya ini perlu diperankan dengan detil. Bagusnya, Emma Stone berhasil memerankan karakter Mia Dolan dengan sangat luar biasa. 

 
Mengemas musik dan sinema perlu kehati-hatian agar dua hal yang sedang berkombinasi itu bisa menjadi mahakarya. Damien Chazelle memperhatikan hal itu dalam mengarahkan naskah yang juga ditulis sendiri olehnya dengan sangat baik dan luar biasa. Jadilah, La La Landyang menjadi sebuah mahakarya lintas zaman yang problematika juga begitu universal. La La Land menjadi sebuah surat cinta kepada semua pemimpi yang berani mewujudkannya. La La Land adalah sebuah surat cinta kepada industri hiburan yang juga berhasil membuat mimpi-mimpi baru untuk diidamkan kepada konsumennya. La La Land adalah surat cinta lintas zaman yang akan selalu dikenang dengan segala manis dan pahitnya. 

ANANTA (2018) REVIEW : Kisah Manis Yang Tak Biasa

  Setelah terus-terusan menjadi ratu drama dari Screenplay Films, Michelle Ziudith akhirnya memiliki kesempatan untuk mengeksplor dirinya di...